Anak sulung-ku. Anak lelaki. Kulitnya seputih kulitku. Matanya sesipit mataku. Senyumnya, adalah senyumku. Semakin besar ia sekarang. Melihatnya sekarang, terbayang saat ia masih dalam dekapan lima tahun yang lalu. Kadang aku bercanda begini pada Pay:
"Ibu bisa mengenali suara Pay lho di sekolah play group, diantara banyak temanmu yang berceloteh, Ibu tau yang mana suaramu."
Dan itu so true, dengan insting seorang Ibu yang dikaruniakan oleh Tuhan kepadaku, aku bisa mengenali frekuensi suara tangisan bayi-ku meskipun ada delapan bayi menangis pada saat yang bersamaan di ruang bayi yang terpisah dari tempat tidurku di hari-hari setelah aku melahirkannya di sebuah rumah bersalin.
Siang bolong di hari minggu. Tablet layar sentuh berkoneksi internet di hadapanku. Yang kulakukan adalah membalas email-email dari rekanan kantor yang tidak sempat kulakukan di kantor. Duduk di ruang tengah sambil sesekali mengawasi dua buah hatiku adalah surga tersendiri. Secangkir capuccino hangat mengepul. Apalagi angin bertiup sejuk di luar sana. Hujan baru saja reda.
Dari ekor mataku, aku perhatikan Pay, panggilan sayangku untuk Si Sulung. Berjalan menuju rak buku dengan gayanya yang khas. Cara berjalannya yang kukagumi: riang dan ringan. Tangan mungilnya mendarat di sebuah buku berukuran A3. Kakinya berjinjit maksimal saat meraihnya.
Kubiarkan ia berusahaa sendiri tanpa bantuan. Karena suatu saat kelak, Nak, kau harus bisa mengerjakan semuanya sendiri, tanpa pertolongan orang tuamu. Hanya doa dari kami yang mengiringimu setulus-tulusnya.
Setelah berhasil mengambil buku yang ternyata adalah buku gambar, Pay berjalan meletakkan buku gambar itu di lantai. Lalu ia beranjak lagi. Kali ini menuju meja kerja di sudut ruangan. Saat itu, adiknya yang berusia dua tahun, Paras baru keluar kamar dengan mata mengerjap-kerjap. Paras menghambur padaku. Memelukku seperti yang biasa dilakukan 'gadis' berusia 2 tahun ini setiap bangun tidur.
Aku kembali ke layar sentuh di depanku. Menekan tombol powernya sebentar. Menangkupkan covernya, dan meletakkan di sebelahku. Perhatianku tertuju pada mereka berdua. Kali ini kulihat, Pay meraih tas sekolahnya yang berwarna biru cerah. Di belakangnya, tampak mengekor Paras. Gadis kecil itu rupanya menuju tas punggungnya juga.
Saat Pay mengeluarkan sekotak pensil warna, Paras pun memasukkan tangan mungilnya ke dalam tas berwarna pink bergambar Rapunzel itu. Dan hup! Sekotak krayon berhasil dia keluarkan dari tas kesayangannya itu. Saat Pay menuju buku gambar A3 nya yang sudah ada di lantai, Paras mengikutinya dari belakang.
Selanjutnya, Pay nampak asyik menggoreskan pensil dan pensil warna diatas salah satu lembaran buku gambar. Laut dan air! Adalah obyek kesukaan Pay. Dia sangat bersemangat hingga seperti sedang memasuki sebuah dunia yang orang lain tak boleh memasukinya. Haha, kubayangkan, bahkan mengetuk pintu dunianya pun aku dilarangnya.
Sedangkan adiknya, menyadari bahwa dia hanya punya krayon saja, bangkit dan berjalan menuju mesin printer kami. Dia raih beberapa lembar kertas A4 kosong dengan hati-hati (meskipun demikian, sisanya tetap saja berantakan).
Namun aku melihatnya dengan senyuman. Biarkan saja. Toh, 'kekacauan' itu nanti bisa kurapikan. Jangan sampai aku 'mengacaukan' mood gadis kecilku.
Sejenak kulihat merek berdua asyik di lantai dengan kegiatan menggambarnya. Aku melanjutkan aktivitasku. Memeriksa buku agendaku, membaca kembali pending job untuk project-ku baik untuk aktivitas rumah maupun kantor. Mencatat lagi ini-itu yang perlu aku lakukan.
Tak lama kulihat Pay berdiri. Kali ini menuju kulkas. Meraih susu UHT kegemarannya. Dan kembali ke tempatnya menggambar. Lucunya, Paras tak mau ketinggalan. Gadisku pun menuju kulkas, dan mengambil susu kotak rasa strawberry. Kulihat raut muka Pay agak sedikit berubah. Dialog kecil terjadi diantara mereka berdua.Â
Pay ke toilet. Adiknya ngikutin.
Pay ke deskphone menelpon Oom-nya. Adiknya ngikutin, dan minta ikutan ngomong.
Pay ke dapur meminta Si Mbak untuk menggoreng sosis ayam kegemarannya. Adiknya pun ikut beranjak menuju ke belakang. Alih-alih meminta sosis, Si Adik maunya dua. Sosis ayam dan nugget ayam.Â
Setelah itu mereka asyik lagi melanjutkan aktivitas di lantai. Aku bangkit dan memeriksa tanaman hijau indoor di ruang tamu, ruang makan, dan ruang tengah ini. Kuperiksa satu-satu termasuk tanaman Sirih Gading yang minggu lalu kupropagasi dalam gelas-gelas dan botol-botol berisi air. Akar-akar mungil dari batang-batang Sirih Garing mulai bermunculan. Lega dan bahagia melihatnya. Setelahnya aku kembali duduk di sofa.
Tiba-tiba, Pay bangkit, dan menuju ke tempatku. Menghambur ke pangkuanku, dan berbisik,
 "Ibuuu... aku pusing......."
Ia memeluk leherku erat. Aku cium keningnya dan kutanya,
"Kenapa, Sayang?"
Jawabnya,
"Karena, adik selalu mengikuti semua yang aku lakukan........", katanya dengan wajah cemberut. Dan sedikit memelas.
"Itu karena adik sayang sama Pay...", kataku menenangkannya.
"Tapi adik begitu setiap hari, Ibu ...."
Aku meraih tangannya. Menggenggamnya. Kataku padanya,
"Berarti Pay kakak yang hebat. Yang bisa menjadi contoh buat adiknya, bukan?"
Aku memberikan penekanan pada kata hebat dengan memberikan dua jempolku untuknya.
Pay memandangku tanpa berkedip. Aku menatap dalam-dalam ke bola matanya dan mengangguk meyakinkannya.
***
Pekan berikutnya. Di sebuah tempat wisata air di wilayah Bogor. Keluarga kecil kami sungguh bergembira dengan segala kehebohan yang menyebabkan basah, hingga suatu saat, Pay berlari ke arahku dan memelukku.
Katanya,
"Ooooh...... aku pusiiiiing, Ibuuuuu...... adik ngikutin aku mulu....."
Aku tergelak mendengar keluhannya. Kulihat air matanya meleleh di pipi. Aku tahu, Pay berusaha menahan amarahnya setiap kali Paras mengikuti gerak-geriknya. Padahal Pay ingin sekali membentak adiknya itu. Aku mengelus punggungnya.
"Udah, nggak papa. Kakak yang hebat itu, yang bisa beri contoh buat adiknya"
Pay mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia masih sesenggukan. Beberapa saat setelah kuberi air minum, ia menghambur menuju kerumunan para keponakan yang sedang bermain di tepi kolam. Udara Bogor sedang sejuk. Setidaknya lebih sejuk dari Jakarta.
Anak-anak itu rupanya dapat mainan baru. Pay yang berinisiatif membuat perahu kertas. Mereka berlomba-lomba membuatnya. Dan mereka berlomba-lomba menghanyutkannya di sebuah selokan kecil berair jernih yang berada di sisi Utara kolam. Masing-masing anak meniup perahunya sendiri-sendiri. Beranjak, berjalan, berlari, mengikuti jalan Si Perahu Kertas. Terus begitu hingga sampai di sebuah titik yang mereka tandai menjadi garis finish. Ada 10 anak kecil di perlombaan itu. Masing-masing membuat kelompok berdua-dua. Tujuh diantaranya adalah anakku dan anak-anak adikku dan sepupuku. Tiga orang lagi adalah anak kecil yang baru mereka kenal di tempat wisata ini. Mereka riang gembira.
Sorak-sorainya kudengar dari tempatku duduk bersama adik dan sepupuku. Di akhir pertandingan, mereka berteriak dan berloncat-loncatan kegirangan. Rupanya Pay dan adiknya memenangkan pertandingan berregu. Â
Pay berlari-lari menjelangku.
"Ibuuuuu...... !" Teriaknya.
Ia lari sekuat tenaga. Hingga saat tubuhnya tiba di posisi dudukku di kursi malas bambu, dan menubrukku, rasanya masih ada sisa energi yang bila aku tak cukup ambil ancang-ancang, bakal luruh jatuh kami berdua dari tempat dudukku. Hmmm.. anak lelaki sekuat ini tenaganya.
Aku memeluknya dan menciumi rambutnya yang basah berkeringat.
Kali ini Pay berbisik padaku,
"Ibu, Pay emang kakak yang hebat buat adik....."
O la la.
Ibu sayang kamu, Pay.
Â
Kramat Pela, 31 Maret 2019.
(Daur ulang kisah nyata seorang sahabat, sekian tahun yang lalu.)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI