"Itu karena adik sayang sama Pay...", kataku menenangkannya.
"Tapi adik begitu setiap hari, Ibu ...."
Aku meraih tangannya. Menggenggamnya. Kataku padanya,
"Berarti Pay kakak yang hebat. Yang bisa menjadi contoh buat adiknya, bukan?"
Aku memberikan penekanan pada kata hebat dengan memberikan dua jempolku untuknya.
Pay memandangku tanpa berkedip. Aku menatap dalam-dalam ke bola matanya dan mengangguk meyakinkannya.
***
Pekan berikutnya. Di sebuah tempat wisata air di wilayah Bogor. Keluarga kecil kami sungguh bergembira dengan segala kehebohan yang menyebabkan basah, hingga suatu saat, Pay berlari ke arahku dan memelukku.
Katanya,
"Ooooh...... aku pusiiiiing, Ibuuuuu...... adik ngikutin aku mulu....."
Aku tergelak mendengar keluhannya. Kulihat air matanya meleleh di pipi. Aku tahu, Pay berusaha menahan amarahnya setiap kali Paras mengikuti gerak-geriknya. Padahal Pay ingin sekali membentak adiknya itu. Aku mengelus punggungnya.
"Udah, nggak papa. Kakak yang hebat itu, yang bisa beri contoh buat adiknya"
Pay mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia masih sesenggukan. Beberapa saat setelah kuberi air minum, ia menghambur menuju kerumunan para keponakan yang sedang bermain di tepi kolam. Udara Bogor sedang sejuk. Setidaknya lebih sejuk dari Jakarta.
Anak-anak itu rupanya dapat mainan baru. Pay yang berinisiatif membuat perahu kertas. Mereka berlomba-lomba membuatnya. Dan mereka berlomba-lomba menghanyutkannya di sebuah selokan kecil berair jernih yang berada di sisi Utara kolam. Masing-masing anak meniup perahunya sendiri-sendiri. Beranjak, berjalan, berlari, mengikuti jalan Si Perahu Kertas. Terus begitu hingga sampai di sebuah titik yang mereka tandai menjadi garis finish. Ada 10 anak kecil di perlombaan itu. Masing-masing membuat kelompok berdua-dua. Tujuh diantaranya adalah anakku dan anak-anak adikku dan sepupuku. Tiga orang lagi adalah anak kecil yang baru mereka kenal di tempat wisata ini. Mereka riang gembira.