Sedangkan secara istilah Naskh dapat diartikan : mengangkat (mengahapus) hukum syara’ dengan dalil/khithab syara’ yang lain”. Maksud mengangkat hukum syara’ adalah terutusnya kaitab hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf.
Kata naskh merupakan maṣdar dari kata nasakha, yang secara harfiyah berarti: menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah. Dari kata nasakha terbentuk kata nāsikh dan mansūkh. Secara etimologi, nāsikh berarti yang menghapus, yang mengganti atau yang mengubah.Sedangkan mansūkh berarti yang dihapus, yang digantikan atau yang diubah.2
Adapun pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Jelasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum.
Berdasar dari pengertian tersebut di atas ada beberapa kesimpulan yakni :
- Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh
- Naskh harus turun belakangan dari Mansukh
- Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-ayat kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama sedangkan syarat kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek, waktu dan lain-lain.
- Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat yang menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang diangkat atau dihapus.
Dari definisi tersebut di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada naskh harus ada Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam naskh diperlukan syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara’, dalil pengahpusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang kemudian dari kitab yang dimansukh, dan kitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
Berpedoman dari keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan langsung dengan hal-hal mengalami Naskh, sehingga dalam hal ini akan dijelaskan beberapa hal yang mengalami Naskh. Naskh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan, selama tidak terhubung dengan akidah zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, pada rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat.
Al-Zarqani berpendapat tentang “Definisi Naskh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Yang memberi kesan bahwa Naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui Naskh. Adapun yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita-berita mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi naskh padanya”.
2. Syarat Berlakunya Nasikh
Adapun Al-Zarqāni dalam kitab Manahilu al 'Irfan fi Ulumi al Qur'an menjelaskan syarat berlakunya
nasikh mansukh adalah sebagai berikut:
- Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang berlaku abadi, seperti hukum aqidah;
- Dalil yang menasakh (menghapus) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli (akal);
- Dalil yang menasakh (menghapus) datang setelah dalil hukum yang dihapus (tidak datang secara bersamaan);
- Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus) terdapat pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.