Mohon tunggu...
sitti sarifa kartika kinasih
sitti sarifa kartika kinasih Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

ibu rumah tangga yang ingin belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Well Done, Kate!

17 Desember 2023   14:45 Diperbarui: 18 Desember 2023   21:56 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja belumlah benar-benar datang, tetapi kabut debu telah sangat pekat menyajikan suasana gelap yang mencekam. Duo kembar Emma dan Kate Bellwyn sedang duduk tepekur memandangi padang rumput mereka yang kini telah berubah menjadi gurun.

“Kita pulang sekarang, Emma?” ragu Kate menoleh pada saudaranya yang mulai mengusap bulir-bulir bening yang sedari tadi jatuh dari matanya. Emma mengangguk. “Wait a minute,” Dia bergegas berdiri dan mengelap wajahnya memakai ujung kerah dress-nya yang manis bercorak bunga lily putih. Kate merangkul saudarinya itu. Emma memaksakan diri tersenyum, lalu dia menggandeng tangan Kate. Mereka lantas berjalan cepat menuju rumah yang jauhnya sekitar 1 kilometer.

Mom, they’re coming!” teriak seorang anak laki-laki berumur 7 tahunan yang nampaknya adik Emma dan Kate. Tergopoh-gopoh seorang ibu berambut pirang keluar dari rumah sambil menggendong bayinya di punggung. Secepat kilat dia memeluk kedua putrinya itu dengan mata berkaca-kaca. “Ayah kalian pergi ke peternakan...maafkan dia Emma, pasti tak sengaja tangannya tadi. Kami menyesal, tiga tahun ini ujian sangat berat bagi kami...”

“Bukan ujian kalian saja Mom, tapi ujian kita berenam, kan?” sela Kate tegas sembari memandang mata ibunya penuh haru. “...bahkan ujian banyak orang di New South Wales ini,” Ibunya memeluknya lagi dengan lebih erat. Namun bayinya tiba-tiba menangis sehingga mereka pun bergegas masuk ke rumah.

Ibunya terduduk lemah di ruang makan sembari berusaha menghibur bayinya agar tak menangis lagi. Emma dan Kate duduk mengitarinya, sedangkan Frank duduk terdiam di hadapan mereka. Sesaat kemudian Emma yang berumur 10 tahun itu memecah keheningan. “Mom, please... can you just tell us everything that you and Dad feel right now?” 

Ibunya tak kuat lagi menahan isak. “Emma, dalam 3 tahun ini kita tidak bisa mendapatkan air, sapi kita tinggal 40 ekor padahal dulu pernah sampai 500 ekor. Hutang ayahmu menggunung. Dulu para peternak terbiasa ke sini untuk mempelajari sapi-sapi muda kita yang gemuk. Mereka bertanya tentang pekarangan rumput penghasil jerami yang subur. Pemakaian benih dan pupuk pilihan ayah kalian seperti apa... Ayah kalian sangat rajin bekerja sedari jam 5 pagi untuk memulai pemerahan pertamanya setiap hari.” Emma merasakan bahwa iba dan sayang ibunya kepada ayah merekalah yang lebih membuat ibunya berduka.

Sumber: abc.net.au
Sumber: abc.net.au

“Yang terjadi saat ini... kita tetap harus membayar jatah air kita, tetapi kita tak dapat menggunakannya setetes pun karena sumber air kita telah dijanjikan kepada terlalu banyak pihak. Kepada Kota Adelaide, peternakan-peternakan raksasa milik korporasi, dan lahan-lahan basah yang dillindungi. Padahal ayah kalian sebetulnya punya ijin untuk menyedot 1.000-an megaliter air per tahun dari sistem Sungai Murray-Darling.” ibunya menambahkan kisahnya lagi. Ketiga anaknya menyimak dengan murung.

“Mom, adakah yang bisa menjelaskan pada kita, penyebab bencana kekeringan ini?” tanya Kate. “aku sering mendengar dari guru kami bahwa kekeringan selama 7 tahun ini adalah yang paling mengenaskan dalam sejarah negeri kita selama 117 tahun. Akan tetapi beliau tidak memberitahu kami alasan terjadinya...”

“Pertanyaan bagus Kate, barangkali kita bisa mencoba menanyakannya pada ayah kalian nanti...”

***

Malam telah sangat larut ketika ayah mereka pulang. Tak ada seorang pun yang berani mengajaknya bicara. Pada akhirnya semuanya hanya bisa bergegas masuk ke kamar dan segera tidur.

Keesokan paginya, setelah ayah mereka baru kembali dari ladang ternaknya dan duduk di kursi tamu sambil memejamkan matanya, sang istri mendekatinya dengan perlahan sambil mengelus punggungnya dengan lembut. Dia bertanya, “Honey, your children wanna ask you something...they are clever and kind enough right now... I hope you can allow them, please...”

Sungguh beruntung akhirnya, anak-anak itu bisa duduk bersama ayahnya. Mereka ingin mendengar apa saja yang ayahnya tahu tentang bencana kekeringan ini.

Mike, ayah mereka itu mulai bercerita, “Dari yang ayah pernah dengar dari beberapa orang pejabat lokal, dahulunya orang-orang Eropa yang menempati lembah Sungai Murray-Darling terlena oleh serangkaian tahun basah di pertengahan abad 19. Para pemukim menebangi sekitar 15 miliar batang pohon tanpa menyadari bahwa pencabutan akar yang bagus adaptasinya di kondisi gersang hampir pasti di kemudian hari mengganggu siklus air.”

Anak-anaknya serempak mengeluh dan ibu mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Sang ayah melanjutkan ceritanya, “Yah begitulah kemudian mereka mendatangkan domba, sapi, dan tanaman pangan rakus air yang semuanya asing terhadap ekosistem gurun. Sungai Murray menjadi penyelamat. Kita dahulu termasuk yang menikmati semua kemajuan itu kan... Namun di saat krisis air muncul, barulah kita tahu, bahwa Australia perlu waktu untuk menyadari kesalahannya.”

Semuanya termenung menyadari kesalahan juga ada pada mereka.

***

Beberapa hari kemudian, beberapa puluh kilometer dari rumah Mike, di sebuah rumah peternakan sederhana di Pearl Hill, seorang aparat penyuluh keuangan desa duduk di ruang dapur. Dia sedang berusaha menasihati seorang petani paruh baya dan istrinya agar mereka menyatakan diri bangkrut sebab nilai utangnya telah melebihi sisa asetnya. Sang petani berujar pelan, “Setiap malam ketika rebah di pembaringan, aku tak sanggup mendengarkan ternak kami melenguh kelaparan.”

Sambil menggandeng tangan istrinya dan air mata berlinang, si petani terbata-bata menyampaikan beberapa kata, “Aku sama sekali tidak punya apapun untuk melanjutkan ini semua.” Si istri menambahkan bahwa setiap beberapa jam sekali dia harus memeriksa agar bisa memastikan bahwa suaminya tidak tergeletak di kebun dengan luka tembakan sendiri di kepala. Ketika rapat berakhir, John si penyuluh mencatat nama keduanya dalam daftar pengawasan bunuh diri.

John yang juga mengenal Mike dengan sangat baik, menceritakan kisah ini padanya. Mike terhenyak. Namun dia tak bisa berkomentar apa-apa kepada si penyuluh. Mike yang dahulunya nyaris selalu dapat dia andalkan, kali ini dia tak mendapatkan apapun dari Mike.

Mike akhirnya mengisahkan cerita tersebut pada keluarganya. Mata istrinya berkaca-kaca sewaktu mendengarnya, tetapi dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Emma berujar pelan, “Dad, can we help them?”

Ayahnya menggeleng lemah. Sejurus kemudian tiba-tiba Kate berdiri.

“Dad, bukankah Daddy punya saudara yang kuliah di University of Adelaide?”

“Iya, kenapa?”

“Tidak bisakah dia membantu kita mencari tahu apa yang mungkin masih dapat dilakukan untuk memperbaiki semua kesalahan dan mengurangi dampak kekeringan?” 

“Nak, apa sih yang bisa dilakukan seorang mahasiswa bachelor?!” sahut ayahnya skeptis.

“.... Ummm... Barangkali dia bisa menanyakannya kepada siapa saja yang dia kenal di sana Dad... seperti Daddy kenal baik dengan Mr. John...”

Suara Kate menggantung di udara, dia sendiri ragu untuk meneruskannya. Namun ayahnya seakan menemukan cahaya, matanya membesar oleh harapan.

***

Aneka kegiatan digelar untuk mendorong semangat para petani dan peternak. Mike ikut hadir dalam acara-acara tersebut. Tema-tema membahagiakan diberikan, seperti “Mengatasi Masa Sulit” atau “Hari Rekreasi Lelaki” bahkan “Hari Pemanjaan”. Persis saat ini, sejumlah perempuan tani mendapatkan pijat, pedikur, dan penataan rambut secara gratis.

Seorang pegawai negeri bidang penanggulangan kekeringan menyuguhi mereka teh dan mendorong mereka untuk membicarakan hal-hal yang ada di pikiran masing-masing. Henry memiliki pribadi yang ramah, sehingga hampir semua orang pada akhirnya menjadi sangat mudah untuk saling membagi kisah. “Keluarga kami terpaksa menjual hampir semua hewan-hewan cantik kami, domba-domba yang telah 22 tahun membersamai hidup kami.” ujar seseorang.

“Aku merasa terpojok dan tidak dapat melindungi keluargaku,” keluh seorang laki-laki berbadan kekar.

Pegawai tersebut akhirnya gantian menceritakan banyak hal kepada mereka. Seakan sedang mendongeng. “Terdapat sebuah Garis Goyder di Australia Selatan ini dimana merupakan batas yang menandai ujung wilayah berkecukupan curah hujan bagi tanaman pangan. Garis ini dibuat oleh seorang penyigi tahun 1865. Namun garis itu kemudian terlampaui oleh orang-orang, beberapa dekade kemudian. Pada akhirnya Sungai Murray menyusut dan salinitas tak terhindarkan. Tahun 1995, Komisi Lembah Sungai Murray-Darling menerbitkan pembatasan jumlah air yang boleh dipompa dari sungai di tiap negara bagian.”

Henry meneruskan dengan mendesah pelan. “Namun aturan itu dilanggar. Para petani yang memiliki hak atas air tetapi tak pernah memanfaatkannya, mulai menjual ‘lisensi tidur’ itu. Para industrialis ditawari insentif pajak dalam menciptakan perkebunan super besar, kebun zaitun dan almond di lembah sungai. Pemerintah New South Wales dan Queensland masih terus memberikan ijin.” 

Suara-suara gumaman terdengar, semakin lama semakin ramai. Henry sedikit meninggikan suaranya. “Adakah usul solusi dari rekan-rekan? Mike dan saudaranya mengusulkan pada kami untuk mengadakan diskusi publik. Sungguh ide yang bagus, ide ini akan kuusulkan pada pejabat wilayah. Jika ada yang memiliki saran, sampaikan pada kami segera. Kita takkan tahu, solusi terbaik apa yang akan bisa diambil. Terima kasih.”

***

Sitti Sarifa Kartika K.

Seorang ibu yang ingin belajar menulis (menyukai cerita fiksi, pemerhati wilayah, kota, dan lingkungan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun