Mohon tunggu...
Siti Silvi Wasilah
Siti Silvi Wasilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mengamati suatu peristiwa dan menyebarkannya kembali dalam bentuk tulisan adalah warisan terbaik yang pernah saya lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketimpangan Gender dan Relasi Kuasa pada Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi Universitas Sriwijaya Palembang

17 Desember 2022   14:49 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:11 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hidup di masyarakat sebagai perempuan bukanlah suatu hal yang mudah. Pemaknaan mengenai nilai dan kodrat perempuan yang terus menerus dikonstruksi oleh masyarakat dapat melahirkan stereotip yang negatif. Apabila perempuan ingin membuat perubahan atau mendekonstruktif nilai-nilai yang bersifat mutlak pada dirinya, tidak semua masyarakat dapat menerima hal itu dikarenakan ketidaksesuaian dengan ketentuan nilai yang melekat pada budaya yang mereka punya. Hal ini pula yang membuat ruang lingkup perempuan untuk bergerak masih dipersulit, perempuan terus-menerus dianggap makhluk yang lemah tetapi masyarakat itu sendiri yang enggan membuka jalan kepada perempuan untuk dapat lebih membuka suara karena ketetapan nilai budaya yang sudah mereka punya di masyarakat. 

Maka tidak mengherankan pula bahwa masih banyak terjadi kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Dalam buku Social Theory, The Multicultural and Classic Readings yang dituliskan oleh (Lemert, C. 2004) seperti yang dikatakan oleh Nandita Gandhi and Nandita Shah (1992) berdasarkan penelitiannya mengenai kekerasan di lingkup domestik pada perempuan ia menemukan permasalahan bahwa, hidup sebagai perempuan berarti hidup dalam ketakutan akan penganiayaan, pemerkosaan, dan stigma sosial yang ada di hampir seluruh tindakan yang dilakukan sebagai perempuan. 

Kehidupan sebagai seorang perempuan dapat terus dihantui oleh ketakutan jika tidak memberanikan diri untuk lebih bersuara. Stigma yang dikonstruksi oleh masyarakat pada mengenai perbedaan perempuan dan laki-laki yang membuat mereka lebih mendapatkan kekuasaannya dengan skala yang lebih dominan. Meskipun demikian segala sesuatu termasuk gender yang memiliki kekuasaan dominan tidak dibenarkan jika menyalahgunakannya dengan pihak yang minim akan hak bahkan kekuasaan. 

  • RELASI KEKUASAAN DALAM LINGKUP KEKERASAN SEKSUAL

Lingkungan masyarakat sebagaimana tempat berbagai individu saling berinteraksi dan memperoleh kepentingannya masing-masing, berbagai upaya akan dilakukan agar proses pemenuhannya dapat tercapai salah satunya dengan jalan kekerasan. Tindakan kekerasan dalam artian konvensionalnya mengandung makna bahwa apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga hubungan jasmani dan mental-psikologis berada dibawah realisasi potensialnya (Windhu, 1992: 64).  Tindakan kekerasan dapat terjadi dimana saja tidak mengenal tempat dan waktu, demikian pula bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, verbal, maupun meliputi kekerasan yang terdapat dalam kasus pelecehan seksual. 

Dimana ada keinginan disitu pula terdapat tujuan hingga pada akhirnya secara tidak sadar otak kita merancang berbagai macam skenario atau motif untuk dapat memenuhi kepentingan yang akan dituju, hal ini dapat diperlancar pula jika seseorang mempunyai sebuah hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang salah satunya adalah kekuasaan. Dalam kajian ilmu sosiologi terdapat beberapa tokoh yang mengembangkan konsep kekuasaan, yakni seperti Michel Foucault dan Pierre Bourdieu.

Pemahaman mengenai kedua tokoh tersebut jelaslah berbeda, pada Bourdieu ia mengartikan kekuasaan sebagai kekuasaan simbolik, bahwa semua simbol dan praktik budaya, dari selera artistik, gaya berpakaian dan kebiasaan makan hingga agama, sains, dan filsafat bahkan bahasa itu sendiri dapat mewujudkan minat dan fungsi untuk meningkatkan perbedaan sosial (Scott, J. 2006) .10 Pemahaman kekuasaan yang dijelaskan oleh bourdieu bahwa dalam kekuasaan terjadi dalam seluruh kehidupan sosial individu, bentuk kekuasaan akan berhasil dilaksanakan jika dipengaruhi oleh legitimasi, kekerasan simbolik dan modal simbolik yang dibentuk oleh peran aktif individu di masyarakat dalam membentuk simbol-simbol sebagai sumber daya yang superior , sehingga struktur kekuasaan dapat terpelihara.

Berbeda dengan Bourdieu yang menitikberatkan konsep kekuasaannya pada modal dan kekerasan simbolik yang memerlukan peran aktif individu, Michel Foucault memaknai konsep kekuasaannya bahwa kekuasaan itu ada di mana-mana dan dimiliki oleh siapapun individu atau sekecil apapun suatu kelompok di masyarakat, termasuk perempuan, pasti memiliki kekuasaan (Rajab, B. 2009).11 Dilihat dari perspektif Foucault bahwa kekuasaan dapat terbentuk dimana saja serta dimiliki oleh siapapun. 

Menurut Foucault setiap individu di masyarakat termasuk kedalam bagian dari mekanisme jalannya kekuasaan. Masalahnya tidak semua individu di masyarakat menyadari bahwa mereka sebagai aktor di masyarakat memiliki peran dalam peta kekuasaan. Jika individu menyadarinya, kesadaran ini akan membentuk kesanggupan untuk menggunakan kekuasaan secara baik atau demi kepentingan orang lain. Namun kenyataannya lebih dominan terjadi ketidaksadaran yang, hal ini akan melahirkan berbagai bentuk tindakan dan seperti sistem yang menindas serta menyeragamkan. 

Foucault memfokuskan arti kekuasaan menurutnya terhadap dua hal, yakni kekuasaan dan pengetahuan yang terdapat relasi-relasi kekuasaan di dalamnya untuk menguasai, mengontrol dan menundukan tubuh manusia-manusia. Pengetahuan yang dimaksudnya adalah pengetahuan dan kekuasaan memiliki hubungan yang timbal balik, pada saat penyelenggara kekuasaan menciptakan pengetahuan, maka pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. 12 Pengetahuan yang dimaksud dalam relasi kekuasaan Foucault bahwa dalam sistem kekuasaan yang beroperasi melalui pengetahuan, ilmu dan lembaga-lembaga di masyarakat. Hal ini dapat bersifat dapat dinormalisasikan susunan-susunan dari yang dihasilkan oleh pengetahuan kepada masyarakat. 

Berpandangan dari pemikiran Foucault mengenai kekuasaan dengan kasus kekerasan seksual yang terus terjadi hingga ke dunia modern saat ini, Bahwa kekerasan yang terjadi di berbagai lapisan kehidupan sosial masyarakat saat ini dapat terus melanggengkan bentuknya karena adanya pula dominasi kekuasaan di antara pelaku dan korban. Individu sebagai aktor di lingkungan masyarakat memperoleh pengetahuan bukan semata-mata untuk kekayaan intelektual, namun dilakukan pula untuk dapat menciptakan kekuasaannya melalui regulasi-regulasi yang dibenarkan oleh masyarakat lewat pengetahuan. Dalam fenomena kekerasan seksual yang terjadi misalnya di lingkungan perguruan tinggi, 

Dosen sebagai Subjek memperoleh kekuasaannya dengan jalan pengetahuan yang mereka punya, hal ini membuat ia menjadi pihak yang dominan akan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan tersebut beroperasi dan meluas ke seluruh jaringan kesadaran masyarakat dan penyelenggara pengetahuan memproduksinya sebagai basis kekuasaan. Maka dari itu mengingat kejadian kekerasan seksual yang terjadi antara dosen dan mahasiswa, pelaku merasa memiliki kekuasaan yang dominan dikarenakan konstruksinya berdasarkan pengetahuan yang ia miliki, hal ini diwujudkan dengan wewenang dan berbagai regulasi yang ia buat, sehingga dalam kasus kekerasan seksual dosen sebagai pelaku menyalahgunakan kekuasaan nya dan merasa bahwa korban akan tunduk karena kekuasaan yang dimilikinya berdasarkan basis pengetahuan yang diproduksi untuk mempertahankan kekuasaanya. 

  • KEKERASAN SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF TEORI KEKUASAAN MICHEL FOUCAULT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun