(1) Apakah ada karya Balai Pustaka bercorak nasional yang masih dipentaskan atau samar-samar? Kami memiliki keraguan tentang kesimpulan tersebut di atas setelah membaca novel Abdul Moeis "Salah Asuhan." "Meskipun dia sudah tiada, kami telah meninggalkan pelajaran agama kami," kata ibu Hanafi di akhir novel. Benar, Hanafi diasuh lebih dulu oleh ibunya karena tidak mendapat pelajaran agama. Dia telah melepaskan diri dari penderitaan negaranya sejak dia masih kecil."
(2) Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenal sebagai "Bapak Pujangga Baru", adalah seorang penulis terkenal yang aktif dalam kegiatan Balai Pustaka. Ia pernah menulis untuk Panji Pustaka, sebuah penerbitan Balai Pustaka. Lantas, bagaimana dengan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana sebelum tahun 1928, seperti "Tidak Putus dengan Malang"?
 3. Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan berpendapat bahwa membahas sastra Indonesia tidak berarti membahas bahasa Indonesia, melainkan sastra Nasional Indonesia. Akibatnya, prinsip nasionalisme menjadi sentral dalam sastra Indonesia. Kapan kesadaran nasional bangsa Indonesia mulai bangkit?Â
Sejak tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, setiap kegiatan bangsa Indonesia dijiwai oleh cita-cita kebangsaan. Sebagai budaya negara Indonesia, seharusnya sastra Indonesia juga memancarkan unsur kebangsaan itu. Akibatnya, sastra Indonesia berkembang sebagai sastra Nasional Indonesia sejak awal abad ke-20.
Ada satu argumen kontra terhadap sudut pandang Nugroho Notosusanto. Meskipun logikanya masuk akal, kesimpulannya tidak didukung oleh bukti dari literatur. Kami belum dapat menampilkan esai yang dapat dianggap sebagai hasil sastra yang layak atau memiliki karakter nasional sejak pergantian abad kedua puluh.Â
Hipotesis yang dikemukakan Nugroho Notosusanto tentang televisi tidak sesuai dengan periodisasinya. Dalam periodisasi sastranya, Nugroho Notosusanto memulai pembentukan sastra Indonesia kontemporer pada tahun 1920-an, bukan pada pergantian abad.
4. Menurut pendapat terakhir, sastra Indonesia modern mulai muncul pada tahun 1920-an. Fachruddin Ambo Enre, Ajip Rosidi, H. B. Jassin, dan A. Teeuw termasuk di antara mereka yang berpandangan demikian. Alasan yang mereka berikan tidak semuanya sama, tetapi semuanya bermuara pada dua hal:
a. Bahasa Media Terlepas dari kenyataan bahwa bahasa Indonesia pada awalnya diakui sebagai bahasa tunggal pada tahun 1928, bahasa tersebut telah berkembang secara signifikan selama bertahun-tahun. Tahun 1928 hanyalah tahun kelahirannya sebagai bahasa nasional, atau tahun peresmiannya.Â
Kita harus kembali beberapa tahun untuk menemukan bukti keberadaannya. Jika kita melihat buku-buku yang ditulis oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an, seperti novel "Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya", serta puisi-puisi yang ditulis oleh Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi dan dimuat di majalah Yong Sumatra dan majalah Timbul, kita dapat melihat bahwa bahasa yang digunakan dalam karangan-karangan ini tidak jauh berbeda dengan bahasa yang kemudian diformalkan sebagai bahasa Indonesia.
b. Tata Letak Isi Di Dalam Isi karya sastra sudah mencerminkan sikap karakter bangsa Indonesia yang mengandung unsur nasionalisme. Dikatakan di bagian sebelumnya bahwa karya-karya sastra dari tahun 1920-an sudah tidak memiliki kebangsaan.Â
Tidak jelas apa yang lebih unggul jika kita melihat hasil sastra di luar Balai Pustaka. "The Motherland", kumpulan puisi karya Moh Yamin, terinspirasi dari kecintaannya pada puisi untuk tempat kelahirannya dan masyarakat yang hidup di bawah kolonialisme saat itu.Â