Mohon tunggu...
SITI RINJANI 2021
SITI RINJANI 2021 Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobi: Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Permulaan Sastra Indonesia Modern

16 Juni 2022   12:08 Diperbarui: 16 Juni 2022   12:23 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam sastra Indonesia modern, kata modern tidak digunakan dalam kata-kata klasik. Sebenarnya, tidak ada yang namanya sastra Indonesia klasik atau sastra Indonesia modern, istilah "modern" hanya digunakan untuk menekankan sejauh mana budaya barat mempengaruhi pertumbuhan dan vitalitas sastra pada saat itu. 

Kita sudah mengenal sastra Melayu lama/klasik sebelum lahirnya sastra Melayu modern di Malaysia, sehingga kita dapat mengidentifikasinya dari sastra Melayu modern. 

Pengertian Sastra Indonesia Ada bermacam-macam sudut pandang tentang apa yang disebut dengan sastra Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa suatu karya sastra dapat diklasifikasikan sebagai sastra Indonesia jika ditulis dalam bahasa Indonesia untuk pertama kalinya, persyaratannya pun terbatas pada bahasa. 

Secara umum, bahwa yang dimaksud dengan sastra Indonesia adalah sastra yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia yang mencerminkan sikap dan watak bangsa Indonesia.

Di Indonesia, sastra yang diterbitkan dalam bahasa daerah disebut sastra daerah atau sastra Nusantara. Jika sesuatu disebut sastra di Indonesia, itu bisa mengacu pada sastra Indonesia dan sastra Nusantara. 

Akibatnya, definisi sastra Indonesia, sastra Indonesia adaptasi, sastra Indonesia terjemahan, sastra asing, sastra Nusantara, dan sastra di Indonesia menjadi lebih jelas. Asal usul sastra Indonesia modern, seperti halnya makna sastra Indonesia, menjadi topik yang mengundang berbagai tanggapan. Secara umum, ada empat jenis opini:

1.  Dalam artikel berjudul "Di Mana Perkembangan Puisi Indonesia?" Slametmuljana (1953: 17) berpendapat bahwa sastra Indonesia resmi harus dimulai pada tahun 1945. 

Konsep sastra Indonesia terkait erat dengan negara Indonesia. Bahasa Indonesia diproklamasikan sebagai bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dimasukkan dalam UUD 1945 hanya setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. 

Slametmuljana menegaskan bahwa berbicara tentang Indonesia sebagai negara saat ini tidak dapat dipisahkan dari masalah politik. Pemilihan nama Indonesia sebagai nama negara murni politis. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia sebagai nama negara ada hubungannya dengan politik. Sastra Indonesia berkaitan dengan nama negara, Indonesia. 

Akibatnya, batas waktu 1945 juga berlaku untuk pembagian sastra. Lebih jauh, harus diakui bahwa gerakan Pujangga Baru menjadi cikal bakal sastra Indonesia. Hal seperti ini penting karena Pujangga Baru memang menuju arah Indonesia merdeka ." (1953:17)

Karena itu, Slametmuljana berpendapat bahwa setiap karya sastra yang ditulis sebelum tahun 1945 harus dianggap sebagai sastra daerah. Novel "Sitti Nurbaya, Salah Asuhan", kumpulan puisi "Taburan Permenungan", drama berima "Bebasari", dan bahkan karya sastra Pujangga Baru semuanya merupakan contoh sastra Melayu. 

Banyak pihak yang mengeluh, menurut Slametmuljana, karena sastra tidak selalu identik dengan politik. Peristiwa negara mungkin tidak selalu sesuai dengan peristiwa nasional, dan sebaliknya. Sastra suatu negara tidak harus dimulai ketika negara tersebut memproklamasikan kemerdekaannya. 

Selanjutnya, Slametmuljana menyatukan makna bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, kemudian menghubungkan keduanya dengan kehidupan sastra Indonesia dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Sebenarnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sudah ada sebelum negara diproklamasikan.

2. Dalam karangannya "Syarat dan Waktu Sastra Melayu dan Sastra Indonesia" yang diterbitkan dalam jurnal Sains Medan 1/3 Juli 1960, Umar Junus mengklaim bahwa sastra Indonesia pertama kali berkembang sekitar tanggal 28 Oktober 1928, saat diambilnya Sumpah Tiga Pemuda, Umar Junus seorang ahli bahasa, merasa bahwa sastra dan bahasa memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. 

Tidak akan ada sastra jika tidak ada bahasa. Oleh karena itu, penamaan sebuah karya sastra sebagian besar harus didasarkan pada media kebahasaan yang digunakan.

Pertumbuhan sastra Indonesia dimulai dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Menurut teori ini bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa nasional sejak tahun 1928, menurut Umar Junus, pertumbuhan sastra Indonesia harus dimulai pada tahun 1928, meski bisa maju atau mundur asalkan disertai tanggung jawab. 

Jika kita berangkat sebelum tahun 1928, kita akan dihadapkan pada hasil sastra Balai Pustaka yang menurutnya tidak boleh digolongkan sebagai karya sastra Indonesia karena tidak memiliki komponen nasional. Sebaliknya, jika kita kembali ke masa sebelum tahun 1928, kita akan menjumpai karya sastra Pujangga Baru. 

Menurut Umar Junus, Sastra Pujangga Baru telah tegas membawa suara Indonesia, sampai-sampai tidak akan ada hasilnya jika sastra zaman itu dianggap sastra Indonesia. Ia sampai pada kesimpulan bahwa sastra Indonesia baru berkembang sekitar tahun 1928, dan khususnya pada tahun 1930-an, berdasarkan fakta-fakta di atas.

Ada banyak pendapat mengenai pendapat Umar Junus, antara lain sebagai berikut:

 a. Pada kenyataannya, tidak selalu ada hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara sastra dan bahasa. Banyak karya sastra dari berbagai negara ditulis dalam bahasa yang sama, seperti sastra Amerika dalam bahasa Inggris, sastra Australia dalam bahasa Inggris, dan sebagainya.

b. Sebelum tahun 1928, perkembangan sastra tidak terbatas pada kegiatan dan hasil Balai Pustaka. Saat itu, beberapa penulis di luar Balai Pustaka menerbitkan karya, termasuk Moh. Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, dan lain-lain.

c. Jika Balai Pustaka adalah satu-satunya organisasi yang terlibat dalam pengembangan sastra pada saat itu, kami mengangkat isu-isu berikut:

(1) Apakah ada karya Balai Pustaka bercorak nasional yang masih dipentaskan atau samar-samar? Kami memiliki keraguan tentang kesimpulan tersebut di atas setelah membaca novel Abdul Moeis "Salah Asuhan." "Meskipun dia sudah tiada, kami telah meninggalkan pelajaran agama kami," kata ibu Hanafi di akhir novel. Benar, Hanafi diasuh lebih dulu oleh ibunya karena tidak mendapat pelajaran agama. Dia telah melepaskan diri dari penderitaan negaranya sejak dia masih kecil."

(2) Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenal sebagai "Bapak Pujangga Baru", adalah seorang penulis terkenal yang aktif dalam kegiatan Balai Pustaka. Ia pernah menulis untuk Panji Pustaka, sebuah penerbitan Balai Pustaka. Lantas, bagaimana dengan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana sebelum tahun 1928, seperti "Tidak Putus dengan Malang"?

 3. Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan berpendapat bahwa membahas sastra Indonesia tidak berarti membahas bahasa Indonesia, melainkan sastra Nasional Indonesia. Akibatnya, prinsip nasionalisme menjadi sentral dalam sastra Indonesia. Kapan kesadaran nasional bangsa Indonesia mulai bangkit? 

Sejak tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, setiap kegiatan bangsa Indonesia dijiwai oleh cita-cita kebangsaan. Sebagai budaya negara Indonesia, seharusnya sastra Indonesia juga memancarkan unsur kebangsaan itu. Akibatnya, sastra Indonesia berkembang sebagai sastra Nasional Indonesia sejak awal abad ke-20.

Ada satu argumen kontra terhadap sudut pandang Nugroho Notosusanto. Meskipun logikanya masuk akal, kesimpulannya tidak didukung oleh bukti dari literatur. Kami belum dapat menampilkan esai yang dapat dianggap sebagai hasil sastra yang layak atau memiliki karakter nasional sejak pergantian abad kedua puluh. 

Hipotesis yang dikemukakan Nugroho Notosusanto tentang televisi tidak sesuai dengan periodisasinya. Dalam periodisasi sastranya, Nugroho Notosusanto memulai pembentukan sastra Indonesia kontemporer pada tahun 1920-an, bukan pada pergantian abad.

4. Menurut pendapat terakhir, sastra Indonesia modern mulai muncul pada tahun 1920-an. Fachruddin Ambo Enre, Ajip Rosidi, H. B. Jassin, dan A. Teeuw termasuk di antara mereka yang berpandangan demikian. Alasan yang mereka berikan tidak semuanya sama, tetapi semuanya bermuara pada dua hal:

a. Bahasa Media Terlepas dari kenyataan bahwa bahasa Indonesia pada awalnya diakui sebagai bahasa tunggal pada tahun 1928, bahasa tersebut telah berkembang secara signifikan selama bertahun-tahun. Tahun 1928 hanyalah tahun kelahirannya sebagai bahasa nasional, atau tahun peresmiannya. 

Kita harus kembali beberapa tahun untuk menemukan bukti keberadaannya. Jika kita melihat buku-buku yang ditulis oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an, seperti novel "Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya", serta puisi-puisi yang ditulis oleh Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi dan dimuat di majalah Yong Sumatra dan majalah Timbul, kita dapat melihat bahwa bahasa yang digunakan dalam karangan-karangan ini tidak jauh berbeda dengan bahasa yang kemudian diformalkan sebagai bahasa Indonesia.

b. Tata Letak Isi Di Dalam Isi karya sastra sudah mencerminkan sikap karakter bangsa Indonesia yang mengandung unsur nasionalisme. Dikatakan di bagian sebelumnya bahwa karya-karya sastra dari tahun 1920-an sudah tidak memiliki kebangsaan. 

Tidak jelas apa yang lebih unggul jika kita melihat hasil sastra di luar Balai Pustaka. "The Motherland", kumpulan puisi karya Moh Yamin, terinspirasi dari kecintaannya pada puisi untuk tempat kelahirannya dan masyarakat yang hidup di bawah kolonialisme saat itu. 

Dalam pengertian geografis saat ini, negara yang dinyanyikan oleh para pemuda Yamin dalam puisi-puisinya belumlah menjadi tanah air Indonesia. 

Tapi dia akan memainkan peran kunci di masa depan, enam tahun kemudian, dia akan dipuji karena memelopori identifikasi bahasa, negara, dan bangsa Indonesia sebagai dasar persatuan nasional Indonesia. " Yamin yang belum meliputi Indonesia Raya bisa kita sampaikan, melainkan hanya Sumatera, Andalas, Pulau Perca, Tanah Melayu, dan ide-ide kejawen lainnya yang kini digulirkan sebagai pelopor kebangkitan kesadaran nasional Indonesia". (Rosidi, 1964).

Kesadaran kebangsaan Yamin yang masih sebatas Pulau Andalas dalam "Tanah Air" (1922), tumbuh, dan dalam "Indonesia Tumpah Bloodku" (1928), kesadaran kebangsaan ini meluas hingga mencakup seluruh Indonesia Raya. Kita dapat menyimpulkan bahwa sastra Indonesia modern mulai muncul sekitar tahun 1920-an berdasarkan dua faktor tersebut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun