A. PENDAHULUAN
    Dalam dunia keuangan dan ekonomi, transaksi merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari manusia. Namun, dalam konteks Islam, setiap transaksi memiliki panduan etika dan hukum tersendiri yang disebut sebagai qowaid fiqhiyah atau prinsip-prinsip fiqih. Salah satu aspek krusial dari qowaid fiqhiyah yang menjadi fokus perhatian adalah transaksi keuangan, yang melibatkan aspek Riba, suatu praktik yang diharamkan dalam Islam. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab jahiliyah, atau zaman pra-Islam, telah terbiasa dengan praktik-praktik keuangan yang mencakup konsep Riba. Riba, yang secara harfiah berarti "bertambah" atau "tumbuh," digunakan untuk menyebutkan suatu bentuk keuntungan tambahan yang dikenakan pada hutang yang dipinjamkan. Praktik ini bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan sosial yang signifikan. Sementara itu, dalam konteks transaksi jual beli, terdapat fenomena yang oleh sebagian ulama disebut sebagai riba kredit. Riba kredit merujuk pada praktik menetapkan tambahan biaya atau bunga pada pembayaran yang ditangguhkan, yang sebenarnya melanggar prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih lanjut tentang kaidah-kaidah riba dalam transaksi hutang pada zaman pra-Islam dan juga menggali pandangan beberapa ulama yang mengidentifikasi riba kredit sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip fiqih. Melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap qowaid fiqhiyah, kita dapat mengevaluasi transaksi keuangan modern agar sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mendasari keadilan dan kesetaraan.
B. PEMBAHASAN
Kaidah pertama: riba pra- Islam tunduk pada masalah ini
Kaidah ini telah dibuktikan secara tegas oleh Sunnah shahih, dan telah dibuktikan pula makna serta hukumnya dengan Al- Qur'an, Sunnah, lisan dan praktis, serta konsensus umat. Dalam riwayat lain dari Abu Dawud dan hadis lain dari Sulaiman bin Amr dari ayahnya, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW pada saat Haji Wadak bersabda: "Semua riba pra -Zaman Islam dihapuskan. Anda punya modal, Anda tidak berbuat salah atau dianiaya."
Contoh dari kaidah yang ada dalam realitas yang kita jalani dan praktikkan:
1. Bunga deposito bank merupakan bagian dari riba pra Islam, yang haram dan wajib dibatalkan dan dikembalikan.
2. Semua jenis sertifikat investasi yang diketahui merupakan riba pra- Islam dan harus dibatalkan dan menggantinya dengan alternatif yang sesuai dengan legitimasi.
3. Bunga dana tabungan haram dan harus dikembalikan serta dibatalkan.
4. Bunga yang timbul dari pembukaan kredit, pinjaman obligasi, dan sejenisnya dianggap sebagai salah satu Riba pra- Islam dilarang dan harus dihapuskan dan dihapuskan, dan sistem ini harus dihapuskan dan diganti. Dengan alternatif yang sah.
5. Syarat riba dalam kartu kredit tidak sah dan ditolak.
Â
Kaidah kedua: Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba
Kalimat Al- Qur'an ini, "Allah swt menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba," muncul sebagai respon terhadap masyarakat pra- Islam yang mencampuradukkan perdagangan dan riba, dan mengorganisasikan riba dan penjualan ke dalam satu kategori. Karena mendatangkan keuntungan, maka mereka menghalalkannya dan mereka tidak berhenti mencampurkan jual beli dengan riba.
Contoh dari kaidah ini adalah sebagai berikut:
1. Dibolehkan menjual, termasuk menjual dengan syarat yang ditangguhkan dengan kenaikan harga sebagai imbalan atas jangka waktu yang ditangguhkan tersebut, dan itu dalam segala hal. Salinannya, baik harganya dicicil maupun ditangguhkan seluruhnya.
2. Larangan riba, termasuk bentuk- bentuk yang termasuk didalamnya, padahal riba itu datangnya dalam satu bentuk. Menjual secara mencicil, atau dengan pembayaran yang ditangguhkan, dengan kenaikan harga sebagai ganti jangka waktu yang ditangguhkan.
Kaidah ketiga: Setiap penambahan utang yang bersyarat sesuai dengan jangka waktunya adalah riba
Imam bin Qudamah r.a. Â berkata:
Setiap pinjaman yang dipersyaratkan untuk ditambah, haram hukumnya tanpa perselisihan. Ibnu al- Mundhir berkata, "Mereka sepakat bahwa jika pemberi pinjaman menetapkan bahwa dalam memberi pinjaman harus membayar sejumlah tambahan dan dia meminjamkan atas dasar itu, maka mengambil tambahannya adalah riba."
Contoh dari kaidah ini adalah peningkatan hutang imbalan atas penundaannya.
Kaidah keempat: Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba, atau setiap pinjaman yang manfaatnya ditentukan terlebih dahulu adalah riba
Di antara bentuk manfaat tersebut adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah, yang mengatakan: "Dan jika dia menetapkan bahwa dia menyewakan rumahnya kepadanya dengan harga lebih murah dari harga sewanya, atau bahwa dia menyewakan rumah pemberi pinjaman lebih dari harga sewanya, atau pada Memberinya hadiah atau melakukan sesuatu untuknya lebih haram.
Contoh dari kaidah ini adalah meminjamkan uang tunai dan lain- lain dengan syarat mendatangkan manfaat bagi yang meminjamkan.
Kaidah kelima: Tidak ada dua penjualan dalam satu penjualan Â
Dasar aturan ini adalah hadits Abu Hurairah ra, beliau bersabda: "Rasulullah melarang dua penjualan dalam satu penjualan, dan juga atas wewenang Abu Hurairah, sebuah risalah. : "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan, ia berhak atas satu atau dua bagian atau riba."
Contoh dari kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Dua jualan dalam satu jualan, dan tidak melihat perbedaannya kecuali pada keberagaman perbedaan, mengingat bentuk- bentuk dua jualan dalam jualan ganda
2. Menjual sesuatu dengan syarat dia membeli sesuatu yang lain darinya dengan berkata, "Aku menjualnya tunai seribu dan dua ribu untuk setahun, maka ambillah mana yang kamu mau dan aku mau. "
3. Dua kali penjualan dalam satu kali penjualan (jual beli 'inah), yaitu dia menjual suatu barang dengan harga yang ditangguhkan dengan syarat dia membelinya darinya dengan harga spot yang lebih rendah dari harga pertamanya.
4. Dia menyerahkan suatu barang dagangan untuk suatu jangka waktu, dan ketika jangka waktu itu tiba, dia menjual kepadanya untuk jangka waktu berikutnya dengan kenaikan. Ini adalah penjualan kedua yang termasuk dalam penjualan pertama, maka dikembalikan pada penjualan pertama, jika tidak maka dikenakan riba.
Â
C. PENUTUP
    Secara keseluruhan, penerapan kaidah fiqhiyah dalam transaksi keuangan menyoroti komitmen Islam terhadap keadilan, kesetaraan, dan keberkahan dalam aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ini, terutama terkait dengan larangan riba, memandu umat Islam untuk menghindari praktik-praktik yang merugikan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Dengan mengevaluasi kaidah-kaidah seperti larangan riba pra-Islam, penghalalan perdagangan, dan penilaian terhadap penambahan utang atau pinjaman yang mendatangkan manfaat, masyarakat dapat memahami dan mengadaptasi transaksi keuangan modern agar sesuai dengan ajaran Islam. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam terhadap qowaid fiqiyyah memberikan landasan untuk memastikan bahwa setiap transaksi mencerminkan integritas, keadilan, dan keberkahan, sehingga mengarah pada kesuksesan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
D. REFERENSI
QAWAID FIQHIYAH 13-14 Kaidah Riba n Gharar.pptx _ Materi Dosen Lukman Hakim Handoko SEI.M.Ec
Nama    : Siti Ratna Sari
Prodi    : Akuntasi Syariah
Kampus : STEI SEBI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H