“Bapak sakit. Mbak harus pulang sekarang juga. Bapak hanya butuh Mbak.”
Begitulah isi pesan Arman untuk kakak perempuannya. Tangan Aisyah bergetar. Seolah sengatan listrik satu gardu menyerang setiap ujung jemarinya hingga menjalar ke ulu hati. Sakitnya luar biasa. Penyakit lamanya kambuh lagi. Ini kali kesekian Aisyah menerima pesan singkat dari desa tempat kelahirannya.
Siapa lagi, kalau bukan dari Arman.
Arman, satu-satunya orang di desa Sendangrejo yang punya ponsel. Itupun yang paling murah. Aisyah membelikannya atas perintah sang suami.
“Belikan saja yang harga tiga ratusan. Ponsel ‘Cina’ sudah terlihat keren bagi orang desa.” Bayu, suami Aisyah yang dikenal ketika melamar pekerjaan di sebuah kantor garmen Jakarta Selatan. Ia pewaris tahta tunggal dan satu-satunya pemilik sah tujuh cabang perusahan sejenis dan satu pabrik pengolahan kelapa sawit ditambah mini galeri seni di pusat kebudayaan kota.
Cinta tidak pernah mengenal kasta. Setiap hati tahu kepada siapa ia harus memilih. Coba lihat saja Bayu. Ia sama sekali tak pernah meminta keluarganya membuat hajat dengan orang desa. Apalagi pernikahan.
Tapi apa daya, Bayu sudah kadung jatuh cinta, dengan Aisyah. Gadis sederhana yang nama desa tempat tinggalnya saja tidak pernah ia ketahui. Kumpulan peta manapun tidak pernah memasukkan nama Sendangrejo di dalamnya. Tidak penting juga.
Miris bikin menangis.
Orang tua Bayu bahkan harus membuat acara diam-diam ketika melamarkan Aisyah untuk Bayu. Saat resepsi saja, butuh mengeluarkan banda khusus super fantastis untuk menyewa para ‘aktor dan aktris’ demi menggantikan sosok keluarga Aisyah ketika di pelaminan. Alasannya, pernikahan itu sakral. Apalagi untuk keluarga Parahardi. Jangan sampai IQ ‘jongkok’ orang-orang desa itu ikut-ikutan mengatur perhelatan akbar putra tunggal keluarga mereka. Keluarga Bayu tak mau ambil risiko. Papi dan Mami Bayu sangatlah paham, Bapak dan keluarga besar Aisyah pastilah tak tahu apa itu katering, dekorasi, pemotretan pre-wedding sampai para WO yang bertanggung jawab atas semuanya.
Hingga di tahun ke tiga pernikahannya, Aisyah tak pernah lagi pulang ke desa. Sibuk? Tidak, ia tak bekerja. Tidak ada kendaraan? Suaminya bahkan punya garasi khusus ‘mirip’ showroom mobil berdiri megah di selatan rumahnya. Muat menampung segala jenis mobil dari setir posisi kanan sampai kiri. Lantas, mengapa Aisyah harus tetap diam di rumah suaminya?
“Kau harus paham, Syah, siapa aku ini. Siapa keluargaku dan tentu saja kau. Apa kamu lupa dengan acara pernikahan kita? Keluargaku bahkan harus rela membayar puluhan juta mahasiswa seni peran demi menutupi jati diri Bapakmu yang KERE itu!”
“Cukup, Mas!”
Plak.. satu, dua, tiga, sepuluh atau hampir lima belas kali menurut perhitungan Aisyah, tamparan Bayu mendarat dengan mulus di pipi yang sama-sama mulusnya. Wajah Aisyah memanas. Sakitnya sembilu meluluhlantakkan kenangan saat pertama mereka bertemu. Jauh, jauh sekali.
Saat di balkon mini kantornya, Bayu melihat Aisyah yang sedang kebingungan mencari pintu masuk kantor. Cantik bak bidadari. Rambutnya hitam sehitam aspal baru jalanan. Wajah ayunya seolah mampu menghentikan waktu saat itu juga. Guguran bunga warna merah jambu pohon belimbing di samping kantor Bayu menambah euforia tersendiri bagi Bayu yang sedang jatuh cinta. Itulah masa di mana ia akhirnya merasakan jadi budak. Budak cinta.
Cinta itu datang dan berlabuh kepada anak seorang pembuat anglo dari desa antah brantah.
Lain dulu lain sekarang. Cinta rupanya punya efek samping. Aisyah tahu itu. Mungkin kata orang di desanya cinta Aisyah sebuah anugerah. Ia bisa menikah dan hidup satu atap dengan keluarga kaum ningrat. Tapi bagi keluarga Bayu.. ini sebuah kesalahan.
Bayu dipandang manusia terbodoh di keluarganya. Semua sepupu bahkan rekan sejawatnya tidak ada yang salah memilih hati. Mereka jatuh cinta dengan orang yang tepat dan ‘kantong’ yang tebal.
Tubuh Aisyah lemas. Kakinya serasa hilang, rasanya sama seperti ketika ia menjalani operasi melahirkan Amalia, putri pertamanya dengan Bayu. Ponsel metalik seharga satu unit motor itu hampir saja luput dari genggamannya. Belum ia tutup, pesan adiknya masih terbuka.
“Jadi ini,” Bayu merampas ponsel istrinya kasar. Ada suara ‘aw’ saat kuku panjang Bayu bersentuhan dengan kulit sawo matang Aisyah, “Syah, ini pasti gertakan adik kamu supaya kamu pulang. Berapa kali, sih, aku katakan ini untuk kamu, Arman bisa mengurus Bapakmu dengan baik. Aku akan perintahkan Joe untuk mengirim beberapa juta lagi untuk Bapakmu ke desa.” Ucapnya enteng.
Aisyah mendelik ketika mendengar Bayu mengatakan dengan jelas kata ‘bapakmu’ kepadanya. Suaminya itu seolah tidak mengakui bahwa Bapak istrinya Bapaknya juga. Tidak bisa dipungkiri, bagai langit dan bumi, Papi Bayu dan Bapak Aisyah memiliki jarak yang sangat amat jauh. Perbedaan kasta sangat mencolok antara mereka.
“Tapi Bapak memang butuh aku, Mas. Aku harus pulang.” Tangisnya makin kencang. Beberapa orang asisten rumah tangga yang berkumpul di dapur menguping sambil sesekali mengelus dada mereka bersamaan. Seorang tukang kebun malah ikut menangis melihat penderitaan majikannya itu.
Bayu mencoba memapah Aisyah kembali duduk di sofa. Menggenggam tangan wanita yang telah mengisi hari-harinya hampir tiga tahun itu. Rasa peduli coba ia tunjukkan dengan menggenggam tangan Aisyah. Berusaha menyalurkan apa yang sebenarnya ia lakukan untuk istrinya.
Sekali lagi ia coba menyadarkan diri, ia tidak salah jatuh cinta dengan Aisyah.
“Kekuasaanku memang segalanya. Aku punya orang tua. Begitupula kau. Sejatinya, kita sama-sama punya tanggung jawab untuk membahagiakan mereka, sampai kapanpun.”
Paduan suara “aaaaaww” terdengar lirih dari arah dapur. Kumpulan asisten rumah tangga tadi seketika terenyuh dengan perkataan ‘big boss’ mereka. Jarang sekali ada kalimat sinetron seperti itu yang mereka dengar keluar dari mulut Bayu, lebih spesifiknya ketika kedua majikannya bertengkar hebat karena masalah sms dari desa.
Perang dingin Bayu dan Aisyah perlahan mereda. Sosok pria pecinta beberapa tahun lalu kembali muncul, “selama ini, aku merasa sikapku salah, Aisyah.” Aisyah. Bayu menyebut lengkap namanya dengan jelas. Pertanda bahwa ini memang serius keluar dari lubuk hatinya. “Aku ingin selalu jadi anak yang patuh. Untuk orang tuaku. Sampai akhirnya, aku pun harus melawan mereka ketika aku.. bertemu denganmu.”
“Aku?” Aisyah tercengang. Mengapa ada dirinya di masalah intim antara suaminya dengan keluarga besarnya.
“Maaf. Tapi ini memang kenyataannya. Papi dan Mami sudah cukup malu menerima kau di keluarga ini. Mereka sudah berbesar hati dan melupakan siapa jati diri keluargamu sebenarnya. Aku sendiri tak masalah, kau anak seorang pembuat anglo atau pemulung sekalipun. Karena aku yakin, kamu istri yang tepat untuk aku dan anak-anakku kelak.”
Inilah Bayu Putra Parahardi yang sebenarnya. Sejak awal, Aisyah sudah paham dengan posisinya di keluarga ini. Menantu miskin yang hanya jadi benalu di keluarga suaminya.
“Aku diperbuda oleh seluruh ego orang tuaku untuk menguasai dirimu seutuhnya dengan hartaku. Aku kalah, Syah. Aku kalah memperjuangkan hakmu sebagai istri dan tulang punggung keluargamu. Maafkan aku, Aisyah. Maaf.”
Bentuk wajah menentukan seperti apa kepribadian orang tersebut. Seperti itu kalimat yang pernah Aisyah baca. Sempat tak percaya namun kini ia jadi saksi kebenaran riset itu, dari suaminya sendiri.
Garis-garis tegas menghiasi lekuk tulang pipinya yang sedikit tersembunyi. Pipinya sedikit tembam jika dibandingkan dengan para lelaki dewasa seumurannya. Kwalitas juga menentukan hasil. Perawatan wajah sederhana untuk pria rupanya memberikan efek maksimal untuk Bayu. Meski pekerjaannya membutuhkan waktu 25 jam sehari sekalipun, kerutan rupanya ‘ogah’ berkarya di wajah Bayu. Oh, dasar orang kaya.
Keduanya kini sama-sama menangis. Pria tegar dihadapan Aisyah itu kini sudah menggenggam secarik surat putih berkop nama perusahaan di Bandung.
“Aku akan pergi ke Bandung selama satu minggu untuk mengurus pameran karya seni di akhir bulan nanti. Dan selama Papi dan Mami berada di London, kamu bisa pergi ke rumah Bapak. Kamu habiskan waktu satu minggu itu dengan keluargamu di sana.” Roman muka Bayu mirip sekali dengan Bapak Aisyah. Ya, Bayu dan Bapak memang beda, sekilas Aisyah sering menemukan wajah Bapaknya ketika Bayu tersenyum. Itu salah satu alasan mengapa ia bisa jatuh cinta dengan suaminya sekarang.
“Tapi.. Papi dan Mami beberapa hari lagi mereka pulang. Aku takut mereka marah saat aku tak ada di rumah.”
Ada kekhawatiran di benar Aisyah. Ia tak mau kalau saja mertuanya itu datang dan tidak melihatnya di rumah, bisa-bisa ia harus berurusan dengan para algojo suruhan mertuanya. Aisyah tak mau mati konyol.
“Tenang, Papi dan Mami akan melanjutkan kunjungan bisnisnya ke Dublin. Jadi paling tidak saat kau pulangpun, mereka juga belum di Indonesia.. aku yang jamin. Mungkin ini saatnya aku memberikan apa yang seharusnya aku berikan untuk istriku.. dan Bapak mertuaku.”
Ya, hidayah bisa datang kapan saja. Ada kalanya, manusia harus sadar, hidupnya hanya numpang di dunia. Lewat sebentar terus kembali lagi. Dan Bayu kembali disadarkan dengan cinta.
****
Aisyah sudah menolak tawaran Bayu untuk mengantarkannya ke desa dengan mobil dan sopir pribadi mereka. Diberikan waktu untuk pulang saja rasanya seperti diberikan napas. Lega sekali.
Untuk menuju ke desa Sendangrejo, memang lumayan jauh. Tapi, medan yang harus ditempuh cukup melelahkan. Tidak ada angkutan umum yang lewat di desa itu. Pemerintah setempat mungkin merasa desa ini tidak begitu penting untuk dikunjungi. Listrik tidak merata, dan penduduknya itu... mayoritas tidak berpendidikan dan lebih parahnya lagi, banyak yang buta huruf. Mayoritas mata pencarian utama mereka adalah petani. Itu saja buruhnya. Tanah yang gersang membuat hasil panen mereka tak jauh dari palawija dan tanaman di tanah kering. Benar-benar miris dan bikin nangis.
Hiburan, hanya sebatas hiburan warga desa. Melihat TV di balai warga adalah salah satu hiburan mewah yang pernah mereka dapat. Si pengurus balai warga adalah ibu-ibu, acara TV yang mereka saksikanpun hanya sebatas infotainment dan sinetron saja. Betapa tidak majunya pemikiran mereka jika yang mereka tahu dari dunia luar hanya berisi artis tenar yang hobi kawin-cerai sampai sinetron yang menayangkan cerita anak-anak muda yang cantik dan ganteng disekolah-sekolah elit, seragam serba ‘aneh’ dengan rok mini dan rambut warna-warni.
Lebih parahnya lagi, saat warga desa Sendangrejo tahu ada salah satu warga mereka yang jadi mantu orang Jakarta, hebohnya setengah mati. Jakarta yang mereka tahu adalah kota besar tempatnya para artis. Kota yang jadi tempat siaran televisi dari manapun. Meski dalam sinetron tidak jarang menampilkan gambaran kerasnya hidup di Jakarta, bagi warga Sendangrejo tetap, Jakarta itu hebat. Karena sebelum mereka melihat kenyataan pahit hidup di Jakarta itu dari TV, mereka sudah terlebih dulu tersihir dengan keindahan dan kegagahan si kota metropolitan. Ya, mungkin benar juga istilah ‘IQ jongkok’ yang dimaksudkan oleh keluarga Parahardi.
Aisyah harus naik kereta. Turun di stasiun dan melanjutkan perjalanannya dengan naik bis menuju salah satu desa. Bukan desa Sendangrejo, tapi desa Kalimati. Hanya desa itu yang dilewati oleh angkutan umum seperti bis.
Dari desa Kalimati, ia masih harus naik becak ke perbatasan antara desa Kalimati dan desa Sendangrejo. Dan sesampainya diperbatasan itulah, Aisyah harus jalan kaki karena jalanan yang menanjak.
Rumah tua itu. Masih sama seperti dulu. Beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu. Satu hal yang saat itu juga ada dipikirannya, untuk apa saja uang yang dikirimkan suaminya untuk keluarga ini?
“Mbak?” seorang pemuda tujuh belas tahun keluar dengan celana tiga perempat yang kotor karena tanah. Noda merah tanah itu seperti sudah menyatu di bandannya. Terutama telapak tangan dan kaki yang menjadi semakin merah kecoklatan.
“Maafkan Mbak, Arman. Mbak nggak bisa melawan keluarga di sana.”
Pertemuan kakak beradik itupun menjadi momen mengharukan di siang itu. Bertahun-tahun Arman hanya bisa mendengar suara kakaknya saja. Tapi kini, kakak perempuan satu-satunya itu kini ada di hadapannya.
Aisyah sudah semakin berubah. Yang paling terlihat adalah penampilannya. Sejak dulu Arman memang melihat kakaknya itu lebih pantas jadi orang kaya. Wajahnya yang cantik dengan kulit bersih sama sekali tidak memperlihatkannya seperti orang desa yang miskin.
“Maafkan, Mbak. Mbak har..,”
“Sudah, Mbak. Aku ngerti. Aku paham dengan posisi Mbak di keluarga Mas Bayu. Yang penting sekarang Mbak sudah pulang dan.. bisa bertemu Bapak.”
Ya, Aisyah pulang untuk Bapak. Pria renta yang menangis saat terakhir kali ia tinggalkan untuk bekerja di kota.
“Pak..,” Aisyah melangkah menuju sebuah ruangan kecil minim ventilasi. Dinding anyaman bambunya tampak menghitam karena bekas pembakaran anglo, kompor tradisional dari tanah liat yang menjadi sumber penghasilan keluarga Bapaknya sejak dulu. Hanya ada satu jendela kecil di sana. Suasana yang panas membuat Bapak sendiri malas untuk membersihkan sarang laba-laba yang menggantung menghiasi sudut-sudut ruang kerjanya itu.
Bapak adalah generasi ke tiga sejak kakek dan kakek buyut Aisyah. Hingga kini dari kesekian banyak keluarga dari Bapak, hanya Bapak Aisyahlah yang masih bertahan menjadi pengerajin anglo.
“Sekarang orang kota lebih banyak pakai kompor minyak, Pak. Bahkan ada yang pakai tabung gas. Yang listrik juga ada. Tapi itu untuk orang kaya. Bapak buat yang lain saja. Takutnya sudah tidak laku.” Pinta Aisyah saat ia masih kecil.
Hanya dengan senyuman kecil, Bapak menjawab, “anglo ini tradisi keluarga. Indonesia dulu kenal kompor, ya, ini. Masakan tambah enak kalau masaknya pakai kompor tanah liat buatan Bapak. Nak, selagi Bapak masih mampu, Bapak akan berusaha membuatnya. Ini tanggung jawab Bapak.”
Keras kepala Bapak sejak dulu tidak bisa hilang. Sudah jadi watak yang dikenal oleh anak-anaknya. Tidak hanya urusan pekerjaan, kesehatannya sendiri sering dianggap enteng. Ia yakin masih kuat, ya sudah. Bapak yang bilang.
“Uang yang aku kirim kurang ya, Pak? Kok tempat kerja Bapak masih tidak ada jendela yang besar?” kata Aisyah mengawali. Ia sempat berpesan kepada Arman bahwa adiknya itu harus membangun kembali tempat kerja Bapaknya jadi lebih baik. Ia takut penyakit TBC Bapak semakin parah karena sering menghirup asap pembakaran anglo-anglonya yang dilakukan sendiri di ruangan itu.
Bapak melirik Aisyah sejenak, tersenyum lantas kembali bekerja kembali. Ia senang anak perempuannya itu kembali lagi.
“Warga lebih butuh uang kamu daripada Bapak. Bapak lebih nyaman seperti ini.” tangan rentanya masih terus memutar plat pembentuk anglonya. Sesekali tangannya dibasahi untuk memberi sudut lengkungan dan memotong area samping untuk membuat lubang. Cekatan sekali dan sudah sangat hapal.
“Tapi..”
“Nak, uang itu carinya mudah. Tapi kebahagiaan itu sulit didapat. Melihat orang-orang desa bahagia seperti menemukan air kelapa di tengah gurun. Kamu tahukan, bagaimana bahagianya?”
Sejak kakinya melangkah masuk di desa Sendangrejo, Aisyah memang melihat beberapa perubahan di desanya itu. Pembangunan semakin baik. Jalanan juga lebih nyaman dilewati warga. Banyak anak-anak kecil yang senang hilir mudik di sebuah bangunan baru, perpustakaan desa.
“Bapak yang membangun perpustakaan itu untuk desa, Mbak. Bapak sedih desa ini dipandang sebagai desa yang mayoritas penduduknya bodoh. Bapak mau anak-anak di sini bisa membaca dengan adanya perpustakaan itu.”
Begitulah Bapak. Hobinya membantu orang lain. Lebih ekstrimnya, sering kali Bapak melupakan kepentingan dirinya untuk mendahulukan kebutuhan warga sekitar.
“Tapi Mbak jangan khawatir, Bapak tetap mendapatkan obatnya. Aku sudah siapkan sendiri untuk biaya pengobatan Bapak.”
Arman terus menjelaskan kondisi Bapak dan tanah kelahirannya itu di bahwa pohon randu tua. Pohon itu tempat favorit Aisyah sejak kecil jika menyendiri. Udaranya sejuk sekali. Angin yang berhembus seperti sudah langganan dan tidak sungkan lagi menjatuhkan lembar demi lembar daun randu kering yang langsung menghambur menjatuhi tubuhnya. Bak confeti alam yang indah, memberikan selamat untuk anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan untuk makhluk hidup di bumi.
Hari demi hari di desa, Aisyah melihat Bapak terus bekerja keras membuat anglo dengan jumlah besar. Tidak seperti biasanya, dalam sehari Bapak memberi target untuk dirinya mampu membuat anglo dengan jumlah yang tidak sedikit mengingat ia melakukannya sendiri.
Berjajar anglo-anglo cantik yang sudah jadi di pinggiran ruang kerja Bapak. Tak jauh dari itu, ada juga anglo-anglo pecah yang memang sengaja dipecahkan Bapak karena hasil pembakaran yang tidak sempurna. Kebiasaan Bapak adalah mengecek semua anglo buatannya terlebih dahulu sebelum menjajakannya. Karena ia tidak mau jika anglo rusak harus diterima pelanggannya. Pelanggannya tidak boleh kecewa. Itu prinsipnya.
Baru Aisyah tahu bahwa anglo-anglo sebanyak itu adalah pesanan dari sebuah perusahaan besar. Jadi Bapak tidak mau membuang kesempatan emas itu begitu saja. Ini rejeki.
“Pak, istirahat dulu. Dari tadi Bapak batuk terus. Bapak pasti kecapekan membuat sebanyak itu.”
Aisyah semakin khawatir dengan kondisi Bapak yang tidak kunjung baik. Setiap hari, Aisyah akan mendengar Bapak terbatuk-batuk bahkan sampai mengeluarkan suara seperti orang muntah. Kata Arman, itu tanda penyakit Bapak sedang kumat. Kalau sudah seperti itu, biasanya Bapak sampai lemas, dan tidak jarang Bapak bisa sampai muntah darah.
Bapak akan diam dulu menunggu bantuknya tenang dan melanjutkannya kembali saat dirasa sudah membaik. Seperti saat ini, Aisyah melihat Bapak terbatuk-batuk sambil membolak-balik anglo setengah jadi di tungku pembakaran. Saat batuk Bapak mulai mereda, Aisyah melihat mulut Bapak bergerak. Seperti merapal mantra dan diakhiri dengan menangkupkan telapak tangannya kemuka.
“Amin.” Kata itu yang Aisyah tangkap dari pergerakan mulut Bapak. Bapak berdoa.
Lima puluh anglo jadi dan siap kirim. Tugas Bapak selesai. Begitupula hidupnya. Diketahui penyakit Bapak semakin parah dan tubuh tuanya sudah tak kuat lagi menanggungnya. Bapak pasti sudah bahagia, ia sudah membuat anglo terakhirnya dengan baik. Dengan jumlah banyak pula.
Aisyah menghubungi Bayu untuk meminta izin tinggal lebih lama sampai tujuh hari Bapaknya. Dan tepat di hari ke tujuh kematian Bapak, Bayu datang menjemput Aisyah. Meminta maaf karena ia baru bisa datang ke desa karena mengurus acara di Bandung.
Bayu lega, meski tak sempat meminta maaf kepada mertuanya, ia sudah bisa memberikan waktu untuk istrinya menemani di sisa hari-hari Bapak tercinta.
****
ACHMAD RAHMADI pengerajin anglo desa Sendangrejo.
Nama yang tercetak jelas di stan pameran hasil seni kriya dari galeri milik Bayu.
“Aku juga tidak tahu kalau anglo itu dipesan anak buahku dari Bapak, Aisyah. Yang aku tahu mereka akan memesan alat masak tradisional dari tanah liat terbaik yang pernah ada dari sebuah desa.”
Bayu menjelaskan semua duduk masalah hadirnya puluhan anglo Bapak yang dipamerkan dalam acara itu. Dirinya bahkan Bayupun tidak tahu dari mana saja hasil kerajinan itu di dapat. Karena semua yang dipamerkan adalah hasil penilaian beberapa kolektor seni yang sudah menilai ke berbagai daerah. Salah satunya adalah karya milik Bapak Aisyah.
Saat pameran selesai, seorang panitia menemui Bayu. “Maaf, Pak. Salah satu stan pameran hanya menyisakan dua karya yang tidak terjual. Semuanya habis dan hanya tertinggal dua ini saja. Kata salah seorang pengunjung, anglo buatan Achmad Rahmadi luar biasa kualitasnya, dan hanya dua ini saja yang hasilnya sedikit kasar. Seperti ada batu-batu kecilnya.”
Aisyah sempat tak percaya dengan penjelasan panitia tersebut. Bapak pasti menyortir semua anglonya sebelum turun pasar. Anglo retak pasti akan langsung dipecahkannya agar tidak ikut terjual. Sedangkan ini, hasil buatannya kasar. Apa Bapak melewatkan dua anglo ini?
Sembari menunggu Bayu menyelesaikan semua urusan pameran, Aisyah menunggu suaminya itu di dalam sebuah ruangan tempat menyimpan hasil karya yang tidak terjual. Salah satunya dua anglo itu.
Tangan halus Aisyah meraih dua anglo itu dan memecahkannya ke lantai. Prangg!!
Kepingan tanah liat itu berserakan. Terlihat sudah apa penyebab anglo buatan Bapak itu tidak laku. Anglo kasar bukan karena batu atau kerikil sejenis, tapi itu adalah benda berwarna putih dan merah muda. Baunya menyengat seperti bahan kimia.
Ya, Aisyah paham itu obat Bapak. Selama ini obat Bapak habis tidak ia makan, tapi.. ikut dicampur dalam anglo buatannya. Aisyah tak kuasa menahan tangisnya. Air mata itu lebih kuat dibandingkan dengan pertahanan batinnya.
Salah siapa?
Yang pasti, Bapak telah pergi dan pecahan anglo itulah saksinya
Tuban, 18 Desember 2014 (12:15 WIB), Kampus.
(cerpen ini saya tulis ketika lomba peringatan bulan bahasa di kampus Universitas PGRI Ronggolawe pada tahun 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H