Dari desa Kalimati, ia masih harus naik becak ke perbatasan antara desa Kalimati dan desa Sendangrejo. Dan sesampainya diperbatasan itulah, Aisyah harus jalan kaki karena jalanan yang menanjak.
Rumah tua itu. Masih sama seperti dulu. Beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu. Satu hal yang saat itu juga ada dipikirannya, untuk apa saja uang yang dikirimkan suaminya untuk keluarga ini?
“Mbak?” seorang pemuda tujuh belas tahun keluar dengan celana tiga perempat yang kotor karena tanah. Noda merah tanah itu seperti sudah menyatu di bandannya. Terutama telapak tangan dan kaki yang menjadi semakin merah kecoklatan.
“Maafkan Mbak, Arman. Mbak nggak bisa melawan keluarga di sana.”
Pertemuan kakak beradik itupun menjadi momen mengharukan di siang itu. Bertahun-tahun Arman hanya bisa mendengar suara kakaknya saja. Tapi kini, kakak perempuan satu-satunya itu kini ada di hadapannya.
Aisyah sudah semakin berubah. Yang paling terlihat adalah penampilannya. Sejak dulu Arman memang melihat kakaknya itu lebih pantas jadi orang kaya. Wajahnya yang cantik dengan kulit bersih sama sekali tidak memperlihatkannya seperti orang desa yang miskin.
“Maafkan, Mbak. Mbak har..,”
“Sudah, Mbak. Aku ngerti. Aku paham dengan posisi Mbak di keluarga Mas Bayu. Yang penting sekarang Mbak sudah pulang dan.. bisa bertemu Bapak.”
Ya, Aisyah pulang untuk Bapak. Pria renta yang menangis saat terakhir kali ia tinggalkan untuk bekerja di kota.
“Pak..,” Aisyah melangkah menuju sebuah ruangan kecil minim ventilasi. Dinding anyaman bambunya tampak menghitam karena bekas pembakaran anglo, kompor tradisional dari tanah liat yang menjadi sumber penghasilan keluarga Bapaknya sejak dulu. Hanya ada satu jendela kecil di sana. Suasana yang panas membuat Bapak sendiri malas untuk membersihkan sarang laba-laba yang menggantung menghiasi sudut-sudut ruang kerjanya itu.
Bapak adalah generasi ke tiga sejak kakek dan kakek buyut Aisyah. Hingga kini dari kesekian banyak keluarga dari Bapak, hanya Bapak Aisyahlah yang masih bertahan menjadi pengerajin anglo.