Mohon tunggu...
Siti Nabila Pashya
Siti Nabila Pashya Mohon Tunggu... Mahasiswa - NIM : 43220010164

Dosen Pengampu : Prof. Dr Apollo, M.Si., Ak, CIFM, CIABV, CIBG. Universitas Mercu Buana. Siti Nabila Pashya. NIM 43220010164.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Teori Akuntansi Pendekatan Semiotika Menurut Roland Barthes [Prof Apollo]

24 Mei 2022   02:43 Diperbarui: 24 Mei 2022   04:58 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Siti Nabila Pashya

NIM : 43220010164

Mata Kuliah : Teori Akuntansi

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo

Semiotika atau semiologi adalah sebuah istilah yang mengacu dalam ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih sering digunakan pada Eropa, sedangkan semiotika lebih banyak digunakan para ilmuwan Amerika. 

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yakni semeion yang berarti tanda '' atau pada  bahasa Inggris sign yang memiliki arti sebagai ''sinyal. Semiotika dikenal menjadi ilmu yang menilik sistem tanda, misalnya bahasa, kode, sinyal, dan ujaran manusia. Salah satu definisi terluas dari semiotika adalah definisi dari Umberto Eco, yang menyatakan bahwa 'semiotika berhubungan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda' (Eco, 1976). Semiotika melibatkan studi tidak hanya dari apa yang kita sebut 'tanda' dalam sehari-hari pidato, tapi apa pun 'mewakili' sesuatu yang lain. Dalam pengertian semiotik, tanda-tanda berupa kata-kata, gambar, suara, gerakan dan objek (Chandler, 1999: 8). Semiotika mulai menjadi yang utama pendekatan studi budaya di akhir 1960-an, sebagian sebagai hasil karya Roland Barthes. Selain itu, Saussure dalam (Danesi, 2004: 3) juga menjelaskan bahwa semiotika adalah studi tentang kehidupan tanda-tanda yang dapat dibayangkan masyarakat. Saussure menyebutnya semiologi (dari "tanda") Yunani yang akan menunjukkan apa itu a tanda, hukum apa yang mengaturnya. Ada kemampuan untuk alasan mengapa, dari waktu ke waktu, spesies manusia telah datang untuk diatur bukan oleh kekuatan seleksi alam, tetapi oleh "historis" kekuatan," yaitu, dengan akumulasi dari makna yang telah ditangkap, dilestarikan, dan diwariskan oleh generasi sebelumnya dalam bentuk tanda-tanda (Danesi, 2004: 3). Roland Barthes adalah yang pertama menerapkan ide-ide semiotik, yang berkembang dari linguistik, hingga gambar visual, misalnya, iklan makanan, fotografi, dan gerak foto-foto. Karya Barthes menawarkan manfaat ringkasan dari aspek-aspek penting dari semiotika yang dibahas di atas. Pada dasarnya, itu berusaha untuk menganalisis bagaimana makna kita mengasosiasikan dengan gambar bukanlah "alami" hasil dari apa yang kita lihat; yaitu, mereka tidak jelas dan universal dalam cara kita memahami apa yang kita lihat (Curtin, 2009: 54).

Semiotika juga memiliki pengertian sebagai ilmu yang menyinggung mengenai produksi perindikasi-perindikasi & simbol-simbol menjadi bagian menurut sistem kode yang dipakai untuk mengungkapkan informasi berupa fakta pada orang lain. Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal yang bisa diartikan, semua tanda atau sinyal mampu dimengerti oleh seluruh pancaindra manusia, baik menjadi penutur juga petutur.

Dalam konteks semiotika, setiap tindakan komunikasi dipercaya menjadi pesan yang dikirim dan diterima melalui majemuk perbedaan tanda. Berbagai peraturan kompleks yg mengatur kombinasi pesan-pesan ini dipengaruhi oleh beragam kode sosial. Berdasarkan hal tersebut, semua bentuk aktualisasi diri yg meliputi seni musik, film, fashion, makanan, kesusastraan bisa dianalisis menjadi sebuah sistem tanda.

Semiotika merupakan sebuah teori komunikasi yang paling mudah dikomunikasikan ketika berbagi dalam bahasa yang sama, kata-kata dapat memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda juga sehingga kesalahan komunikasi selalu berbahaya dan makna yang disampaikan secara tidak langsung atau halus (terselubung). 

Dengan aspek perilaku yang sering diabaikan (obscured), dan ide-ide tertentu dapat lebih mudah diungkapkan melalui media. Semiotika, di sisi lain, tidak setuju dengan kepercayaan umum bahwa ide-ide ada dalam pikiran seseorang, kata-kata memiliki arti yang tepat, dan makna dapat diklarifikasi.

Kelihatannya menarik, berwawasan luas, atau mungkin luar biasa. Komunikasi adalah tindakan sukarela, dan keyakinan bahwa tanda dan sarana komunikasi adalah alat untuk mengekspresikan dan berbagi ide  dan pemikiran dari pihak tertentu.

Teori adalah rumusan yang direduksi dari kenyataan atau praktek. Adapun cabang teori atau ilmu semiotika yang berhubungan dengan akuntansu yakni sebagai berikut:

1. Sintaksis

Dalam teori ini dirumuskan dalam bentuk hubungan logis, seperti lewat aturan bahasa, matematika, dan sebagainya. Dalam hal ini, rumusan teori yang menggunakan syllogism, tidak dimaksudkan untuk menyatakan kebenaran, melainkan hanya memberikan atau menggambarkan hubungan logis semata.

2. Semantik

Teori ini menghubungkan konsep dasar dari suatu teori ke obyek nyata. Hubungan ini diimplementasikan dalam bentuk aturan yang sesuai atau definisi operasional. 

Semantik menyangkut hubungan kata, tanda, atau simbol dari kenyataan, sehingga teori akan menjadi lebih mudah untuk dipahami, realistis, dan memiliki makna. Sebagai contoh dari hubungan semantik yakni hubungan yang ter dapat dalam persamaan dasar akuntansi, dimana aktiva= utang+ modal.

3. Pragmatik

Tidak semua teori memiliki aspek pragmatik. Pada  hubungan pragmatic ini berkaitan dengan pengaruh kata-kata, simbol, dan lain sebagainya terhadap manusia. Akuntansi dianggap memiliki ke mampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang. 

Teori akuntan si dianggap harus dapat memberikan manfaat bagi para pengambil keputusan. Oleh karena  itu, informasi akuntansi yang disajikan juga harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para pengambil ke putusan tersebut.

Semiotika sebagai sebuah metode analisis teks visual sudah akrab di indra pendengaran. Nama seperti Roland Barthes, Pierce, Umberto Eco, atau Saussure pasti sudah tidak asing lagi. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai teori akuntansi semiotika menurut pemikiran Roland Barthes.

Apa yang Melatarbelakangi Pemikiran Roland Barthes Mengenai Teori Semiotika?

Roland Barthes merupakan seorang Filsuf berkebangsaan Perancis yang merupakan penerus pemikiran Ferdinan de Saussure dengan mengidentifikasi korelasi antara penanda (signifier) dengan petanda (signified) pada sebuah tanda. Signifier yakni apa yang dikatakan, ditulis, dan dibaca.

Sedangkan signified merupakan pola piker atau konsep. Saussure tertarik dengan cara kompleks saat kalimat dibentuk dan cara bentuk kalimat dalam memutuskan maknanya, tetapi tidak memiliki ketertarikan terhadap kenyataan bahwa kalimat yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda kepada orang dalam situasi yang berbeda.

Bagaimana Teori Semiotika Menurut Pemikiran Roland Barthes?

Roland Barthes menjelaskan pemikirannya mengenai teori semiotika dengan menggunakan seikat bunga mawar. Seikat bunga mawar sendiri dapat diartikan untuk memberikan tanda 'gairah' atau passion, maka seikat bunga mawar tersebut menjadi penanda atau signifier dan gairah dapat diartikan sebagai petanda atau signified. 

Konsep ketiga lahir dari hubungan antara seikat bunga mawar (signifier) dengan gairah (signified) yakni menghasilkan seikat atau buket bunga sebagai  tanda. Sebagai  tanda,  penting untuk dipahami bahwa buket bunga sebagai penanda adalah hanya sebagai entitas tanaman biasa saja. Sebagai penanda, buket itu kosong, tetapi sebagai tanda buket itu penuh.

Pemikiran Roland Barthes tersebut dikenal sebagai Two Order of Signification atau rangkaian dua makna, yakni merupakan tingkatan makna ekstensional yang merujuk pada makna denotasi pada suatu penandaan yang menggambarkan hubungan signifikansi yang menurut kamus menghasilkan makna eksplisit, langsung, jelas, atau aktual. 

Di sisi lain, implikasi tersebut mewakili interaksi yang terjadi ketika sebuah tanda bertemu dengan  perasaan atau emosional pembaca, serta nilai-nilai yang muncul dari pengalaman kurtural dan personal.

Tanda semiotik memungkinkan untuk memprediksi sifat tanda  dalam kaitannya dengan tanda linguistik. Simbol semiotik juga merupakan kombinasi dari representasi simbolik dan simbolik (misalnya, warna cahaya adalah perintah yang bergerak di bawah batasan lalu lintas), tetapi memiliki kepentingan yang berbeda. Banyak sistem semiotik (objek, gerak tubuh, gambar bergambar) memiliki entitas ekspresif yang esensinya tidak memiliki makna. Seringkali, objek yang digunakan pada kehidupan sehari-hari dan digunakan oleh orang-orang selama beberapa generasi untuk mengartikan sesuatu. Misalnya, pakaian digunakan untuk perlindungan dan makanan digunakan untuk makanan, tetapi juga digunakan sebagai tanda. Ada saran untuk menyebut tanda-tanda semiotik asal utilitarian dan fungsional ini sebagai fungsi tanda. Fungsi penanda adalah untuk membuktikan adanya gerakan ganda yang perlu dibongkar. Pada tahap pertama (analisis ini murni fungsional dan tidak berarti sementara yang sebenarnya), fungsi tersebut memiliki makna. Semantikisasi ini tidak bisa dihindari begitu saja.
Di hadapan masyarakat, semua kegunaan berubah menjadi gejala itu sendiri. Penggunaan jas hujan dimaksudkan untuk melindungi dari hujan, namun penggunaan ini tidak terlepas dari tanda-tanda kondisi atmosfer. Karena masyarakat hanya menghasilkan objek-objek yang dibakukan dan dinormalisasi, maka objek-objek ini mau tidak mau merupakan realisasi dari model, ujaran linguistik, dan entitas penting. Untuk menemukan kembali objek yang tidak ditandatangani, perlu membayangkan alat yang sepenuhnya diimprovisasi dan tidak menyerupai model yang ada. Hal Ini adalah hipotesis yang tidak dapat diuji oleh perusahaan mana pun. Arti universal dari penggunaan ini sangat penting karena mengungkapkan fakta bahwa tidak ada realitas yang tidak dapat dipahami dan pada akhirnya harus mengarah pada perpaduan sosiologi dan sosiologi. Tapi begitu suatu tanda terbentuk, orang yang bekerja dengan sangat baik dan bisa membicarakannya seolah-olah tanda itu ada. Barang-barang sehari-hari seperti mantel bulu disajikan seolah-olah hanya membantu melindungi dari dingin. Fungsionalisasi berulang ini, di mana bahasa sekunder perlu hadir, sama sekali tidak sama dengan fungsionalisasi awal (dan sebenarnya ideal). Hal ini dapat terjadi karena fungsi yang ditampilkan sebenarnya sesuai dengan fungsi kedua (bertopeng). Institusionalisasi yang bermakna, yaitu tatanan makna. Oleh karena itu, fungsi tanda (mungkin) bernilai secara antropologis karena merupakan satu kesatuan di mana hubungan teknis dan penting terjalin.

Roland Barthes tidak hanya memahami cara kerja penandaan, Ia juga memahami aspek lain dari penandaan tersebut, yakni "mitos" yang menjadi ciri suatu masyarakat. Pemahaman Roland Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiologinya yang membuka ranah baru semiologi, yakni sebuah mitos yang bekerja dalam realitas sehari-hari masyarakat. Dalam bentuk praktisnya, Rolan Barthes berusaha menyaring mitos sosial modern dalam budaya yang berbeda. Studi untuk membongkar analisis semiotika dapat diterapkan pada hampir semua teks media di televisi, radio, surat kabar, majalah, film, dan fotografi.

Dokpri
Dokpri

Dari peta Roland Barthes terlihat bahwa tanda denotatif terdiri dari penanda atau signifier (1) dan petanda atau signified (2). Pada saat yang sama, tanda denotatif juga merupakan penanda konotatif(4). 

Oleh karena itu, dalam konsep pemikiran Roland Barthes, tanda denotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, tetapi juga mencakup kedua bagian dari tanda denotatif yang mendasari keberadaannya. Memang, ini adalah kontribusi Roland Barthes yang sangat penting dalam melengkapi semiotika Saussure, dan berhenti pada denotatif yang setara. 

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam arti umum. Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan konotasi, identik dengan operasi ideologi, makna yang berada diluar kata sebenarnya atau makna kiasan yang disebutnya juga sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai=nilai yang dominan dan berlaku dalam suatu periode tertentu.

Berdasarkan penjelasan tersebut, diperlukan pemahaman dalam mengamati unsur-unsur tanda guna memberikan penjelasan makna konotatif berdasarkan tanda tersebut mengenai korelasi antara unsur-unsur dari semua tanda dengan nilai budaya masyarakat. Adapun fitur mitologis yang dipaparkan oleh Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (Barthes, 1957) sebagai berikut:

a. Inkulasi, yakni hilangnya kesadaran akibat terjadinya masalah yang ada dan lebih mendasar karena hanya sedikit penerimaan keburukan pada sebuah institusi. Misalnya, pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi.

b. Privitasi atas sejarah, yakni dapat diartikan sebagai pengabaian makna sejarah yang sebenarnya terjadi karena perwujudan identitas baru untuk melupakan sejarah. Sebagai contoh adalah revolusi industry yakni mewujudkan era yang lebih maju.

c. Tautologi, merupakan sebuah pernyataan yang tidak perlu diperdebatkan lagi maknanya karena sudah menjadi sebuah kebiasaan.

d. Neither norism, yakni sebuah peristiwa yang mendeskripsikan suatu opini kubu netral yang tidak ingin memihak atau memilih siapa pun (golput).

e. Menjadikan kualitas sebagai kuantitas, yitu mereduksi seluruh perbuatan manusian dan realitas sosial yang ada dan sebelumnya bersifat kualitas menjadi kuantitas, seperti pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, dan angka pengangguran.

f. Identifikasi, yaitu menyatukan perbedaan dan keunikan menjadi suatu identitas diri.

g. Pernyataan kebenaran, yakni segala sesuatu yang ada tidak melebihi ekspektasi dan menjadi kebiasaan umum di tengah pendapat berbagai kalangan masyarakat.

Selain itu, Rolan Gerard Barthes juga memaparkan konsep inti dari teori semiotika, yang di dalamnya mencakup tiga konsep. Ketiga konsep tersebut adalah signifikasi, denotasi dan konotasi, serta mitos yang penjelasannya sebagai berikut :

1. Signifikasi  

Signifikasi menurut pendapat dari Roland Barthes memberikan pemahaman sebagai suatu proses tindakan pengintegrasian antara signifier atau penanda dengan signified atau petanda untuk menghasilkan suatu tanda atau simbol yang baru. 

Kedua bagian simbol tersebut saling ketergantungan satu sama lain dalam arti bahwa signifier atau penanda diungkapkan dengan signified atau petanda dan signified diungkapkan melalui signifier. Misalnya kata ''koloni'' (signifier) diintegrasikan dengan kata ''hormat'', maka dapat menghasilkan suatu tanda ''seragam'' sebagai signified.

2. Denotasi (Penunjukan) dan Konotasi (Makna Tambahan)

Pada dasarnya denotasi dan konotasi memiliki pengertian yang berlawanan, dimana denotasi dapat diartikan sebagai suatu hubungan penanda (signifier) dengan petanda (signified) dalam suatu realitas yang dapat menghasilkan makna secara eksplisit, langsung, jelas, dan juga pasti. 

Sedangkan konotasi memiliki pengertian sebagai hubungan petanda (signifier) dengan penanda (signified) yang dalam suatu operasinya menghasilkan suatu makna secara implisit, tidak langsung, dan juga tidak pasti. 

Baik denotasi maupun konotasi dapat dikatakan sebagai fenomena penciptaan mitos. Denotasi dan konotasi adalah dua istilah yang cukup untuk mendefinisikan suatu hubungan yang ada antara penanda dengan petanda. 

Denotasi dan konotasi juga menunjukkan perbedaan analitis antara kedua jenis penanda. Dua jenis penanda adalah petanda denotasi atau denotative signified dan petanda konotasi atau connotative signified  (Chandler, 2008). 

Dalam bukunya, Roland Barthes membedakan antara elemen denotasi dan konotasi semiotika dengan istilah "signification order", yang mengacu pada pendapat Louis Jermslev. Dalam hal ini, yang menjadi signification order adalah denotasi yang memiliki tingkatan signifier atau penanda dan signified atau petanda. Sementara itu, istilah denotasi secara jelas dan tetap dalam idealnya mempunyai arti sepenggalan kata yang telah disetujui secara universal atau umum.

Sedangkan konotasi menjadi signification order yang kedua, dimana konotasi sendiri terdiri atas perubahan makna kata secara asosiatif. Menurut Roland Barthes, hal ini hanya diberlakukan pada tingkat teoritis saja. Tanda atau sign akan selalu meninggalkan jejak makna pada setiap konteks yang sebelumnya sehingga menjadi sangat sulit untuk memberikan batasan pada makna denotatifnya.

3. Metalanguage atau Mitos

Roland Barthes dalam buku yang berjudul "Mythologies" tepatnya pada bagian akhir, mengintegrasikan beberapa studi kasus menjadi teori campuran melalu karyanya yang diberi judul "Myths Today". 

Alasannya, ketika Ronald Barthes melakukan percobaan untuk mengkonseptualisasikan mitos sebagai sistem komunikasi, pesannya mengambil bentuk makna, bukan objek, konsep, atau ide. Ia juga secara gamblang menganalisis proses mitologis dengan menghadirkan contoh-contoh yang konkrit. Roland Barthes berpendapat bahwa makna dapat dibagi menjadi denotasi dan konotasi menurut definisi yang  dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure. 

Dention dapat didefinisikan sebagai tingkat makna deskriptif dan literal yang  dimiliki  sebagian besar budaya. Implikasi yang diberikan melalui makna konotasi, di sisi lain berhubungan dengan budaya yang lebih luas seperti kepercayaan, sikap, kerangka kerja dan ideologi yang terbentuk secara sosial.  Selain itu, Roland Barthes juga berpendapat bahwa mitos adalah signifikasi pada tingkatan makna konotasi. Apabila karakter tersebut berputar berulang kali  dalam dimensi sintagmatik, partisipasi dianggap lebih tepat dibandingkan dengan kegunaan lain dalam dimensi paradigma. Kemudian makna dari tanda tersebut dinaturalisasi dan dinormalisasi.  Di sini, naturalisasi mitos itu sendiri adalah pembentukan budaya. Mitos disebut sistem semiotik sekunder, atau biasa disebut sistem semiotik kuadrat. Simbol untuk sistem pertama menjadi simbol untuk sistem kedua. Roland Barthes mengklaim bahwa tanda adalah bahasa atau sistem pertama  sebagai bahasa objek dan mitos sebagai bahasa meta. Makna yang dapat diambil dari mitos adalah menghapus cerita atau cerita tentang tanda dan mengisi ruang dalam pengertian baru. Menurut Roland Barthes, anggur berarti "minuman beralkohol yang terbuat dari buah anggur" pada tahap pertama ekspresi. Namun, pada level kedua, anggur yang telah diolah menjadi wine dimaknai sebagai ciri khas "Prancis" yang diberikan kepada jenis minuman ini oleh masyarakat global. Minuman serupa banyak diproduksi di negara lain, tetapi yang selalu memikirkan wine adalah negara Prancis. Dalam contoh ini, Roland Barthes ingin menunjukkan bahwa fenomena budaya dapat diimplikasikan, tergantung pada perspektif sosial. Jika implikasinya permanen, itu menjadi mitos, tetapi mitos yang  permanen menjadi suatu ideologi (Barthes, Rusmana, 2005).

Menurut Roland Barthes, bentuk mitologi termasuk ke dalam motivasi. Mitos dibuat dengan memilih konsep yang berbeda yang dapat digunakan, berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama. Analisis mitologis dianggap sebagai cara terbaik untuk menemukan konten ideologis sebuah teks dengan memeriksa makna yang terkandung di dalamnya. Ini adalah cara terbaik untuk mengungkapkan mitos dalam teks. Mitos merupakan penyatuan mitos yang koheren dan merepresentasikan penjelmaan makna dengan wadah ideologis. Ideologi itu abstrak. Untuk  memahami  ideologi diceritakan melalui mitologi. 

Mitos bisa menjadi mitologi jika dikaitkan dengan mitos lain. Pandangan ini dikemukakan oleh Susilo  (Sobur, 2004: 128), yang menyatakan bahwa mitos merupakan sarana pengungkapan ideologi dan dapat dirangkai menjadi mitos yang berperan penting dalam kesatuan budaya. Keberadaan mitos sering diikuti oleh metonimi dan indeks. Hal ini, pada dasarnya, karena  mitos bekerja secara metaforis, ia mendorong tanda-tanda untuk membangun bagian lain dari  rantai konsep yang membentuk mitos, seperti halnya metafora mendorong mereka untuk membangun metonimi. Secara keseluruhan, metonimi hanyalah sebagian dari mitos, namun secara keseluruhan,  metonimi dan metonimi merupakan sarana komunikasi yang ampuh karena keduanya merupakan indikator yang tidak terlihat atau tersembunyiuanya merupakan indikator yang tidak terlihat atau tersembunyi. Khususnya di Roland Barthes metode analisis semiotika, yaitu mengadaptasi teori semiologi mengenai hubungan signifikansi dari Saussure dengan perbedaan penting menurut Barthes, yaitu adanya tanda-tanda mitos (Allen, 2003: 41). Semiotika Barthes bekerja dalam dua tahap, yaitu pada tahap pertama, berbicara langsung tentang objek (tahap denotatif), yaitu penanda, petanda dan tanda. Tahap kedua, mengambil keseluruhan sistem tanda tahap pertama (tahap konotatif). Pada tahap kedua inilah makna pesan terungkap (tahap metahabahasa), yaitu dengan penambahan mitos. Meta languages adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa ilmiah sebagai tanda tangan, selain dari kesatuan tanda aslinya, dapat dikatakan berada di luar ranah deskriptif. Mitos bertindak atas tanda-tanda yang ada, baik itu pernyataan tertulis atau teks, foto, film, musik, bangunan atau pakaian. Seperti yang dikatakan Barthes bahwa mitos adalah sistem yang aneh, karena mitos ini dibangun dari rantai semiologi yang ada sebelumnya (Allen, 2003: 42-43).

Apa pengertian teori laporan keuangan sebagai tanda atau ilmu semiotika ?

Laporan keuangan merupakan sebuah alat yang digunakan oleh perusahaan untuk mengkomunikasikan aktivitas masa lalu, hasil bisni masa sekarang, dan aktivitas masa depan perusahaan kepada pihak eksternal. Laporan keuangan adalah praktik pelaporan, pengungkapan, dan penjelesan, serta sebagai bentuk pertanggungjawaban sumber daya yang dikelola terhadap pemegang saham dan pemilik modal.

Dalam kaitannya dengan ilmu semiotika, laporan keuangan tidak hanya menyajikan laporan keuangan yang diaudit, tetapi juga merujuk pada alat pelaporan informasi lainnya yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan informasi yang disediakan oleh sistem akuntansi. 

Selanjutnya, laporan keuangan terlihat lebih menarik pembaca karena symbol atau tanda yang dipahami investor dalam bagian narasi dan angka yang terdapat di dalamnya sehingga perusahaan dengan aktif mengusahakan pembentukan image positif dan menghindari image negatif. 

Symbol atau tanda tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan diri yang diimplementasikan untuk mempromosikan citra perusahaan. 

Oleh karena itu, informasi yang tertuang dalam laporan keuangan merupakan salah satu bentuk strategi komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan dan tidak terlepas dari teori semiotika.

Mengapa  Tanda Atau Ilmu  Semiotika Penting Dalam Laporan Keuangan

Menurut (Zoest, 1993) terdapat lima ciri dari tanda. (1) tanda harus dapat diperhatikan agar memiliki fungsi yang sesuai sebagai tanda. (2) tanda harus dapat dibidik merupakan syarat mutlak. (3) mengacu terhadap sesuatu hal yang lain. (4) tanda mempunyai sifat representatif khusus yang mana sifat tersebut memiliki hubungan langsung dengan sifat interpretatif. (5) sesuatu hanya bisa menjadi tanda berdasarkan satu atau yang lain. Dalam konteks ilmu pengetahuan, semiotika merupakan suatu cara untuk mempelajari cara kerja  dan fungsi suatu tanda (sign). 

Dalam kaitannya dengan pokok bahasan, teks merupakan komposisi dari unsur-unsur simbolik. Hal ini merupakan suatu hubungan antara karakter yang dapat memberikan makna  yang tepat dan sesuai. Laporan keuangan dapat dikatakan sebagai simbol karena mengandung informasi tentang data perusahaan. 

Misalnya, laporan keuangan berisi informasi tentang keuntungan atau kerugian yang dibuat oleh suatu perusahaan. Keuntungan dan kerugian dalam laporan keuangan merupakan tanda dari perusahaan. Ketika laba suatu perusahaan meningkat, berati bahwa laba perusahaan tersebut tumbuh atau meningkat . 

Sebaliknya, jika suatu perusahaan mengalami kerugian, hal ini berarti keuangan perusahaan tersebut sedang tidak baik-baik saja atau dalam kondisi akan bangkrut. Oleh karena itu, dari tanda pafa laporan keuangan, pemangku kepentingan dapat dengan cepat menemukan jalan keluar dari masalah ini dengan membuat keputusan yang tepat dengan menggunakan bantuan laporan keuangan.

Semiotika menganggap laporan keuangan sebagai kumpulan tanda atau simbol. Semiotika dapat digunakan untuk melihat bagaimana cara suatu tanda bekerja dan berfungsi. Pendekatan ini memiliki interpretasi yang liar sehingga dapat mengungkap makna teks yang terdalam dan paling tersembunyi (diinvestigasi) pada laporan keuangan. Sebagai interpretasi, semiotika tidak hanya sekadar menafsirkan teks pada laporan keuangan, tetapi juga memperlakukan laporan keuangan dengan sesuai, bahkan juga membuat laporan keuangan dapat berbicara mengenai apa yang ada di luarnya. 

Karena, sejatinya laporan keuangan tidak dapat dipahami  dengan membacanya semata-mata dalam arti dipatenkan, ditetapkan, dan memiliki waktu. Semiotik sebagai metode pembacaan menjadi sangat mungkin digunakan dalam mengkaji laporan keuangan, mengingat saat ini terdapat kecenderungan yang mengamati berbagai wacana sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan tentu saja teks sebagai fenomena laporan keuangan. Apabila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena, semiotika juga dilihat sebagai tanda dalam laporan keuangan.

 Bagaimana Laporan Keuangan Sebagai Tanda Atau Ilmu  Semiotika?

Semiotika dalam teori komunikasi menjadi salah satu kajian dasar yang terdiri dari perkumpulan teori mengenai bagaimana tanda-tanda dapat merepresentasikan benda, konsep, gagasan, kondisi dan perasaan di luar tanda-tanda itu sendiri (Littlejohn, 2009:53). Ilmu semiotika menjelaskan tentang sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki makna.

Suwardjono (2005) mendefinisikan semiotika sebagai  bidang penelitian yang membahas teori umum tentang tanda-tanda (signs) dan simbol-simbol dalam bidang linguistik. Sebagai teori umum simbolisasi informasi, Suwardjono (2005) juga memberikan pernyataan bahwa semiotika membahas tiga isu utama yang berkaitan dengan tanda-tanda informasi. Ketiga pertanyaan ersebut yaitu, apakah simbol tersebut logis atau rasional? Apa arti yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut? Dan apakah ekspresi mempengaruhi atau mempengaruhi penerima? Pernyataan di atas membentuk tiga tingkat atau tataran semiotika yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Pada teori akuntansi semantik, fokus dilakukan dalam pembahasan perkara  penyimbolan global konkret atau realitas (aktivitas perusahaan) ke pada tanda-tanda bahasa akuntansi atau yang dapat disebut juga dengan elemen laporan keuangan sebagai akibatnya orang bisa membayangkan aktivitas fisis yg dilakukan perusahaan tanpa wajib  menyaksikan secara eksklusif  aktivitas tersebut.

Teori akuntansi sintaksis adalah teori yang bertujuan untuk membahas pertanyaan tentang bagaimana aktivitas perusahaan yang  telah disimbolkan secara semantik dari perspektif elemen keuangan dapat  direpresentasikan dalam bentuk perspektif laporan keuangan. Simbol yang dimaksud adalah aset, utang, pendapatan, dan sebagainya. Dalam teori akuntansi pragmatik, fokus diskusi berfokus pada dampak informasi terhadap perubahan perilaku di antara pengguna laporan. Dengan kata lain, teori ini membahas  reaksi yang berasal dari pihak-pihak yang menangani informasi akuntansi tersebut.

Berkaitan dengan laporan keuangan, munculnya model pelaporan yang terintegrasi dalam media komunikasi yang dikembangkan oleh The International Integrated Reporting Council's (IIRC) dengan dukungan dari Global Reporting Initiatives (GRI). Integrated Reporting atau pelaporan yang terintegritas tersebut dibentuk di atas model pelaporan keuangan yang ada dan berisi informasi non-keuangan untuk  membantu  pemangku kepentingan memahami bagaimana  perusahaan menciptakan dan mempertahankan nilai lebih dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Integrated reporting atau pelaporan terintegritas memiliki tujuan utama yakni memberikan penjelasan kepada para penyedia modal atau investor keuangan mengenai bagaimana sebuah organisasi menciptakan nilai dari waktu ke waktu. Laporan terintegrasi menguntungkan semua pemangku kepentingan yang tertarik pada kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai dalam jangka panjang, termasuk karyawan, pelanggan, supplier, mitra bisnis, komunitas lokal, legislator, regulator, dan pembuat kebijakan. Integrated Reporting atau pelaporan terintegritas memiliki prinsip-prinsip dan tanda-tanda sesuai dengan kerangka penyajian yang telah diterbitkan.

picsart-22-05-24-02-56-31-490-628be767f1f29801ca14a092.jpg
picsart-22-05-24-02-56-31-490-628be767f1f29801ca14a092.jpg
Laporan keuangan perusahaan, yang didasarkan pada kegiatan-kegiatan perusahaan sering kali disertai dengan  informasi tambahan yang bertujuan untuk mempengaruhi dan membujuk pengguna. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa tujuan penyajian informasi  adalah para pemangku kepentingan atau stakeholders. Laporan keuangan disusun dengan harapan dapat menimbulkan adanya efek komunikasi yang positif. Artinya, memungkinkan pihak yang dituju dalam penyajian informasi, yakni pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menginvestasikan modal atau uang melalui perusahaan dalam kegiatan ekonomi yang dibutuhkan oleh masyarakat dari perusahaan tersebut. Perusahaan juga berharap bahwa laporan tersebut  dapat memberikan kesan yang baik guna membentuk citra positif perusahaan. Pesan dan harapan tersembunyi yang dikomunikasikan oleh perusahaan kepada pemangku kepentingan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan dasar refleksi saat melakukan  tindakan dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan perusahaan.

Fungsi Ilmu Semiotika Pada Laporan Keuangan

1. Fungsi pertama merupakan sebagai penanda. Penanda, menjadi pengungkap petanda adalah citra makna diri menurut istilah-istilah atau penampakan misalnya bacaan, istilah atau benda. Penanda merupakan pengantar menurut sebuah petanda. Dengan demikian, penanda yg menunjuk dalam petanda, yaitu laporan keuangan verbal atau visual.

2. Fungsi yang kedua merupakan petanda atau yang sering kali diklaim menjadi konsep (Bartens, 2000). Signified juga bisa diartikan menjadi konsep yg mempunyai makna yg didapatkan menurut persepsi tanda (Bartens, 2000; Pilliang, 2008). Sehingga bisa disimpulkan bahwa laporan keuangan mempunyai arti menjadi bentuk tanggung jawab seseorang manajer atas pengungkapan yg relevan pada menjalankan entitas yg diamanatkan sang prinsipal.

3. Fungsi ketiga adalah tanda. Sebuah tanda dianggap sebagai kombinasi  penanda dan petanda yang mewakili entitas konkret. Sebuah tanda memiliki makna dan didefinisikan memiliki dua elemen. Kedua unsur tersebut adalah penanda sebagai citra dan penanda sebagai makna (Bartens, 2000).

Semiotika pelaporan keuangan dalam metafora bercirikan dalam bentuk pelaporan keuangan sebagai suatu organisasi, entitas, budaya, serta sebagai bentuk perwujudan dari adanya fungsi untuk mencapai tujuan menjadi pribadi yang terintegritas, transparansi dan kredibel dalam menyajikan laporan keuangan kepada pemangku kepentingan yang menciptakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pengelola (agent) telah menjalankan fungsi menjaga entitas dengan baik (Choi & Suh, 2019). Jika agen  berhasil mengajarkan etika akuntansi yang benar secara relevan dan reliable kepada perusahaan, hal ini berimplikasi pada bentuk kewajiban fidusia kepada prinsipal (stakeholder). Karakteristik kualitatif pelaporan keuangan sebagai kajian tanda dalam artikel ini secara kiasan mengacu pada simbol yang menjalin kembali  hubungan dengan objek tanda lain yang dapat menimbulkan makna lain.

Pembahasan Lebih Lanjut Mengenai Konotasi dan Denotasi

Dalam semiotika visual, ide kuncinya adalah pelapisan makna. Lapisan pertama adalah lapisan denotasi apa, atau siapa, yang digambarkan di sini. Lapisan kedua adalah lapisan konotasi ide dan nilai apa yang diekspresikan melalui apa yang direpresentasikan, dan melalui cara yang diwakilinya. Bagi Barthes, masalah denotasi relatif tidak bermasalah. Tidak ada 'pengkodean'yang menjadikan semacam kode seperti bahasa yang harus dipelajari sebelum pesan dapat diuraikan. Mengamati foto sangat mirip dengan memahami realitas karena foto memberikan korespondensi titik-demi-titik dengan apa yang ada di depan kamera, meskipun faktanya mereka memperkecil ukuran realitas ini, meratakannya dan, dalam kasus hitam dan putih, tiriskan warnanya. Dalam hal menggambar dan melukis situasinya pada dasarnya tidak berbeda. Meski gaya artis memberikan 'pesan tambahan, kontennya masih analogis dengan kenyataan. Berikut adalah bagaimana Barthes mendeskripsikan denotasi dalam salah satu contoh yang paling sering dikutip: 'Saya di barber's dan salinan Paris-Match ditawarkan kepada saya. Di sampulnya, seorang Negro muda berseragam Prancis memberi hormat dengan mata terangkat, mungkin terpaku pada lipatan tiga warna. Semua ini adalah arti dari gambar' (1973: 116). Dengan kata lain, lapisan pertama, makna denotatif, di sini dibentuk oleh tindakan mengenali siapa atau seperti apa orang yang digambarkan di sana, apa yang dia lakukan, dan seterusnya.

Barthes tentu saja menyadari bahwa kita hanya bisa mengenali apa yang sudah kita ketahui. Saat menjelaskan iklan pasta tertentu, ia menulis: "Kita perlu mengetahui apa itu tomat, sekantong tali, sebungkus pasta, tetapi ini hampir merupakan pengetahuan antropologis. Pesan ini seolah-olah sesuai dengan huruf dari gambar, dan kita semua setuju untuk menyebutnya pesan literal, sebagai lawan dari pesan simbolis" (1977:36). Siapa pun yang mencoba menggambarkan gambar dengan cara ini tahu bahwa pengetahuan seperti itu sering kali kurang atau hanya ada pada tingkat yang sangat umum. Dalam menggambarkan makna denotatif, mungkin diinginkan untuk memperkenalkan sedikit lebih banyak kontras daripada yang dilakukan Barthes, untuk menetapkan tingkat umum yang menyenangkan bagi bacaan. 

Dalam semiotika, seperti yang telah kita lihat, istilah ketiga tidak lain adalah dua asosiasi pertama. Ini adalah satu-satunya hal yang diperbolehkan untuk terlihat lengkap dan memuaskan, dan satu-satunya hal yang benar-benar dikonsumsi. Saya menyebutnya makna. Oleh karena itu, makna itu sendiri adalah mitos, sama seperti tanda Saussure adalah sebuah kata (lebih tepatnya, entitas konkret). Tetapi sebelum menyebutkan ciri-ciri makna, kita perlu berpikir sedikit tentang bagaimana mereka dibuat, yaitu bagaimana istilah mitis dan bentuk mitis berhubungan. Dalam mitologi, pertama-tama harus dicatat bahwa dua istilah pertama sepenuhnya eksplisit (tidak seperti sistem semiotik lainnya). Ini mungkin tampak paradoks, tetapi mitos tidak menyembunyikan apa pun. Fungsinya bukan untuk menyebarkan, tetapi untuk mendistorsi. Tidak ada waktu tunggu konseptual untuk terbentuk. Alam bawah sadar tidak berkewajiban untuk menjelaskan mitos tersebut.

Tentunya dihadapkan dengan dua jenis manifestasi yang berbeda dan ekspansi. Hal ini karena penanda mitos tidak sering diulang karena sudah bersifat linguistik. Karena terdiri dari makna yang telah ditentukan, hal tersebut hanya dapat memanifestasikan dirinya melalui entitas tertentu (representasi simbolis bahasa tetap spiritual). Dalam mitologi verbal, ekspansi ini bersifat linier. Dalam mitologi visual, dapat disebut multidimensi. Oleh karena itu, unsur-unsur bentuk dikaitkan dengan lokasi dan kedekatan, yaitu bagaimana bentuk ruang tersebut ada. Di sisi lain, konsepnya terlihat global secara akumulasi yang kurang lebih kabur dari pengetahuan tertentu. Elemen dihubungkan oleh hubungan asosiatif yang dibawa oleh kedalaman, bukan oleh ekstensi (meskipun metafora ini mungkin masih terlalu spasial): mode keberadaannya adalah memori. Relasi yang menghubungkan konsep mitos dan maknanya pada hakikatnya adalah relasi deformasi.

Nature of the signified: Pada kajian linguistik menjelaskan bahwa sifat petanda telah menimbulkan diskusi-diskusi yang khusunya berpusat pada tingkat 'realitasnya'; semua setuju, bagaimanapun, dalam menetapkan suatu fakta petanda bukanlah 'sesuatu' tetapi implementasi mental dari 'benda'.  Dapat dilihat bahwa dalam definisi tanda oleh Wallon, karakter perwakilan terdiri dari fitur yang relevan sebagai tanda dan simbol (atas lawan dari indeks dan sinyal). Saussure sendiri telah dengan jelas menandai sifat mental petanda dengan menyebutnya sebagai konsep: petanda dari kata lembu bukanlah lembu hewan, tetapi citra mentalnya (ini akan terbukti penting dalam diskusi selanjutnya tentang sifat tanda).

Nature of the signifier: Sifat penanda menyarankan pernyataan yang penuh pertimbangan sama dengan yang ditandai: Hal tersebut dapat dikatan dengan murni re1atum, yang definisinya tidak dapat dipisahkan dari yang ditandai. Perbedaan yang mendasar dan signifikan adalah bahwa penanda adalah sebuah mediator yang diperlukan dalam berbagai hal. Namun, di sisi lain tidak cukup untuk itu, dan di sisi lainnya, dalam semiologi penanda dapat juga disampaikan oleh suatu hal tertentu yakni melalui kata-kata. Dari segi semiotika yang mana mana harus menjalin hubungan dengan sistem campuran dalam berbagai jenis materi terlibat (suara dan gambar, objek dan tulisan, dll.), terbilang tepat dalam mengumpulkan semua tanda yang ditanggung oleh satu hal yang memiliki kesamaan. Adapun konsep yang membawahi tanda khas yakni tanda verbal, tanda grafis, tanda ikonik, tanda gestural, dan sebagainya. Metode semiotika yang digunakan tersebut telah mengalami perkembangan dengan inisiasi Roland Barthes, atau disebut dengan semiotika Barthesian. Roland Barthes menetapkan interaksi antara tanda dengan eksperiensi personal dan budaya penggunanya, korelasi antara hasil persetujuan yang terdaoat dalam teks dengan kesepakatan yang terjadi dan diharapkan oleh penggunanya. Pemikiran Barthes mengenai sistem pertandaan ini dikenal dengan “order of signification” yang mencakup dua hal yakni denotatif dankonotasi. Roland Barthes merupakan salah satu tokoh pemikir strukturalis yang mengimolementasikan model linguistik dan semiotika Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah salah satu dari sebuah sistem tanda yang mendeskripsikan asumsi-asumsi yang berasal dari suatu kelompok masyarakat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Barthes beranggapan bahwa pembaca (the reader) memiliki peran yang penting dalam menggali informasi tentang tanda.
Munculnya konotasi dalam sistem pertandaan membutuhkan peran aktif pembaca agar dapat memberikan makna yang berarti. Secara Panjang lebar, Barthes memaparkan apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran atau tingkatan kedua (two order significations) yang merupakan hasil konstruksi sistem lain yang sudah ada sebelumnya. 

Referensi: 

Prof Apollo. (2022). Semiotika Roland Barthes. Modul Kuliah Teori Akuntansi. Jakarta : FEB-Universitas Mercu Buana.

G. Breton. (2009). From Folk-Tales ToShareholder-Tales: Semiotics Analysis of The Annual Report, Society and Business Review, vol. 4, no. 3, pp. 187-201.

Hery. (2017). Teori Akuntansi. Jakarta: PT Grasindo.

Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan (Edisi 3). Yogyakarta: BPFE.

Oktaviana, Rusliyawati, Elok. (2017). Analisis Atas annual Report PT Timah Tbk: Studi Interpetive Dalam Perspektif Semiotika dan Retrotika. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, Vol 6. No.2, 139 - 160.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun