Mohon tunggu...
Siti KumalaTumanggor
Siti KumalaTumanggor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berharap pada manusia sama dengan patah hati secara sengaja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kekasih (Tak) Halal

10 Februari 2022   18:37 Diperbarui: 10 Februari 2022   18:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia adalah gadis cantik berumur dua puluh tahun, meski begitu masih bertingkah layaknya anak remaja. Selalu mengenakan jilbab sederhana. Tak pernah pacaran dengan alasan, selain karena dosa juga belum waktunya merasakan cinta. Banyak pria yang mencoba mendekati, tetapi semua ditolak tanpa mengenal terlebih dahulu. Orang-orang mengatainya dia pemilih. Namun, baginya perkataan orang hanya angin berlalu. Terasa, tapi tidak bertahan lama.

Suka durian? Mungkin sebagian orang merasa mual saat mencium aroma buah yang satu itu. Namun bagi Nadira Sirani, durian adalah makanan paling lezat. Banyak teman yang tak suka berada di dekatnya dengan alasan aroma tak sedap durian. Gadis yang kerap disapa Dira itu juga penyayang binatang. Terutama Puti, kucing betina kesayangannya.

"Kak!" seru Adnan, adik Dira yang berusia 18 tahun. Gadis itu menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan kegiatan menonton film Bollywood.

"Kak, ih!" Adnan merebut remote, lalu segera mematikan tv. Dengan begitu, Dira pun bangkit dengan tatapan tajam.

"Idupin nggak? Mau gue seruduk?" Dira berkacak pinggang. Adnan bukannya menurut, dia malah menjulurkan lidah kemudian berlalu menjauh dengan remote masih di genggaman.

"Adek kurang ajar, Lo!" teriak Dira mulai mengejar sang adik.

Saat mereka asyik berkejar-kejaran, telepon rumah berdering. Keduanya sontak berlari berebut mengangkat panggilan, dan yang menang adalah Adnan. Suara yang tak asing di seberang membuat mereka bersorak girang. Bagaimana tidak saat kedua orang tua mereka akan kembali dan menanyakan hadiah apa yang mereka inginkan.

"Aku mau sepatu, Yah!" teriak Adnan, "merek terbaru pokoknya."

"Yah ... aku mau laptop baru aja, bosan pake yang lama." Dira ikut memesan oleh-oleh. Sebenarnya Dira tidak terlalu ingin hadiah, dia lebih menginginkan orang tuanya cepat sampai rumah dengan selamat.

***

Sore itu Dira berencana berkunjung ke rumah Fitri, sahabatnya. Dia mengenakan gamis biru berbunga, lalu jilbab segi empat berwarna biru muda yang dibentuk sederhana. Gadis berpipi tembem itu terlihat sangat cantik, meski tak secuil pun bedak menempel. Dia terbiasa, dan selalu membiasakan hidupnya agar sederhana.

Dira keluar dari kamar, melirik sekilas jam tangannya. Harusnya Adnan sudah pulang kuliah, tetapi tak ada tanda-tanda kepulangan si adik. Beberapa kali dia memanggil sang bibi juga tak ada sahutan. Dira pun pergi meninggalkan rumah kosong tanpa mengunci.

Dua jam berlalu, akhirnya Dira pulang. dia bernyanyi kecil di atas ojek yang ditumpangi. Senyum keceriaan yang tak pernah pudar. Bagaimana mungkin dia tak selalu bahagia? Dia punya segalanya, punya orang tua penyayang dan adik manis yang penurut. Dira memang tidak kuliah, tepatnya tidak mau. Baginya kuliah tidak menentukan kesuksesan masa depan, yang penting itu usaha. Namun, terkadang gadis itu juga menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana nanti dia hidup di masa depan jika pekerjaannya terus bermanja-manjaan.

Setibanya di depan rumah, ponsel Dira berdering. Terlihat nomor tak dikenal memanggil. Dia hanya menggeleng kemudian kembali menyimpan benda pipih berwarna merah muda itu. Namun, baru saja melangkah, lagi-lagi ponselnya berbunyi. Dengan terpaksa, gadis itu pun menerima panggilan.

[Halo, ini dengan anaknya Pak Sura?]

[Iya, saya Nadira, putri pertama Pak Sura] Dira mengernyitkan dahi.

[Kami dari pihak rumah sakit kota London mengabarkan jika Pak Sura dan istrinya meninggal dunia karena kecelakaan saat akan kembali ke Indonesia]

Napas Dira tercekat, matanya memanas. Berita yang baru didengar begitu mengejutkan. Tadi pagi mereka masih berbincang di telepon dan sekarang mereka tak akan bisa berbincang lagi? Seluruh tubuh Dira kaku dan jantungnya seolah tak berdetak. Pandangan pun buram, lalu menggelap. Semua gelap.

"Dira."

Dira tersentak saat Nurul menyentuh pundaknya. Semua bayangan masa lalu seketika menghilang, dia tersenyum hambar. Sudah lebih dari sebulan dia dan Adnan tinggal di Pesantren Nurul-Huda paska meninggalnya orang tua mereka. Pesantren itu merupakan milik Nurul dan Huda, ammah dan khaal mereka. Namun sejak meninggalnya Huda, hanya Nurul yang mengurus anak-anak santri. Itulah sebabnya pula dia meminta agar Dira dan Adnan tinggal bersamanya. Setidaknya dia bisa menghibur dan mengganti sosok seorang ibu bagi mereka.

"Dira rindu ayah dan ibu, ya?"

Dira mengangguk, matanya berair. Namun dengan cepat disekanya. "Aku kuat kok, Mah. Aku nggak cengeng lagi."

"Anak pintar," ujar Nurul sembari mengusap kepala Dira. Meski sebenarnya dia tahu, Dira tak sekuat itu. Hati gadis itu rapuh, dia butuh penopang hidup.

"Owh, iya. Ammah jadi lupa, kan. Di depan ada tamu, mereka mau menyumbang untuk perbaikan ruangan kelas dan asrama perempuan. Dira mau, kan bantuin ammah buatin teh?" Nurul berbicara dengan wajah memelas karena biasanya Dira selalu menolak, takut kali ini juga. Padahal tukang masak mereka sedang pergi ke pasar, sedangkan tamu lumayan banyak. Jadi, agak repot kalo sendirian yang buat dan antar.

Dira mengangguk. "Ayuk, Mah." Nurul sempat kaget, tetapi langsung ditutupi dengan senyum. Mereka pun berjalan beriringan menuju dapur.

Tak membutuhkan waktu lama mereka sudah selesai mengantar minuman. Dira hendak kembali ke kamar, untuk istirahat. Dia berjalan menunduk hingga tak tahu dari arah depan ada seseorang berjalan dengan terburu-buru.

"Aw!" jerit Dila yang terempas di lantai.

"Maaf ... maaf. Saya harus pergi."

Dira mengangkat kepala. Seorang pria tinggi berdiri tepat di hadapannya. Dengan cepat Dira bangkit ingin memperingatkan orang itu. Namun, keadaan saling bertatapan malah membuat gadis itu membeku. Hidung mancung dan brewok membuat hati Dira bergetar. Netra Dira menelisik setiap inci wajah pria itu dan terhenti di alis tebalnya.

"Saya harus pergi, Mbak. Jika ada yang sakit, pergilah ke rumah sakit. Ini mungkin cukup." Pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan, kemudian menyodorkannya ke Dira. Gadis itu menggeleng, menolak. Namun, pria itu masih bersikeras memberikan uang itu. Karena Dira tak kunjung menerima, akhirnya pria itu meletakkan uang di lantai lalu pergi.

"Heh! Saya nggak butuh uang anda!" teriak Dira mencoba mengejar. Pria itu pamitan pada Nurul, lalu berjalan cepat menuju mobil. Sepertinya dia memang sedang terburu-buru. Dira akan mengembalikan uang itu jika mereka bertemu lagi. Entahlah itu kapan.

"Kenapa, Nduk?" Nurul menghampiri Dira yang masih berdiri di dekat pintu.

"Owh, nggak ada, Mah. Eh, anu, Mah ... yang tadi itu siapa, ya?" Dira memberanikan diri bertanya daripada pusing sendiri karena penasaran.

Nurul tersenyum." Dia itu Den Alza, anaknya Adi Mahendra.

"Adi Mahendra?" Dira merasa nama itu tak asing.

"Dia itu sahabat khaal dan ayah kamu dari dulu. Mereka sangat akrab, tapi sekarang dia hanya tinggal sendiri. Kedua sahabatnya sudah berpulang terlebih dulu." Nurul bercerita panjang lebar. Dira hanya mengangguk, pantas saja dia merasa nama itu sangat familiar.

"Keluarga mereka sudah banyak membantu pesantren kita ini. Setiap tahun mereka selalu menyumbang untuk perbaikan bangunan-bangunan pondok kita yang rusak," lanjut Nurul sembari menggandeng tangan Dira.

"Istirahat, gih! Nanti malam kita belajar ngaji bareng santriwati lainnya."

Dira mengangguk, kemudian pergi menuju kamarnya. Nurul masih bergeming, menatap keponakannya yang hilang di balik pintu. Sebentar lagi Dira akan menjalani hidup baru. Biarlah dirahasiakan dulu rencana yang telah disusun sejak lama. Pernikahan Dira dan Alza tak lama lagi akan diberitakan. Wanita berumur lima puluh tahun itu menghela napas panjang.

"Aku akan mewujudkan mimpi kalian, Mbak. Aku janji."

***

Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun