Mohon tunggu...
Siti KumalaTumanggor
Siti KumalaTumanggor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berharap pada manusia sama dengan patah hati secara sengaja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Retak

10 Oktober 2021   13:08 Diperbarui: 10 Oktober 2021   14:31 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Pintu ruangan bernuansa cokelat itu terbuka. Menampilkan baju kotor di sudut sana, belum lagi buku-buku yang berantakan di lantai. Selimut dan bantal juga sudah jatuh, sedangkan si empunya kamar masih bergelung di atas tempat tidur.

"Kila!"

Teriakan itu membuatnya terlonjak. Dengan mata masih terpejam dia mulai duduk dan mencoba menyadarkan diri. 

"Kila, kamu ini gadis atau apa! Ini sudah jam sembilan, tapi kamu masih tidur!" omel seorang wanita paruh baya sambil menghampirinya.

"Iya, Ma, Kila udah bangun, kok."

"Mandi sana! Kamu ada kuliah pagi, 'kan? Ntar telat lagi," tukas mamanya lembut sembari menyampirkan rambut Kila ke belakang telinga.

"Iya, Mamaku Sayang," balas Kila kemudian beranjak menuju kamar mandi.

Setelah pamitan pada sang mama, Kila mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Sesekali terdengar nyanyian kecil dari bibir mungil itu. Namun netranya tiba-tiba menangkap dua sosok yang sangat dikenal. Kila menggelengkan kepala kuat untuk menghentikan pemikiran buruk, tetapi semakin dia mencoba menenangkan pikiran, semakin hatinya tak tenang.

Karena rasa penasaran yang kian membuncah, akhirnya Kila membuntuti orang itu dengan perlahan. Biarlah hari ini dia bolos kuliah dulu. Kila menepikan motornya saat mereka sudah memasuki sebuah kafe. Mereka terlihat bahagia dengan genggaman tangan erat, layaknya tak ingin melepas satu sama lain.

"Papa!"

Mereka kaget dengan kedatangan Kila. Papa Kila langsung bangkit, terlihat gelagapan. Tangannya mencoba meraih Kila. Ia mencoba menjelaskan, tetapi dengan cepat Kila menepis tangan itu.

"Kila, dengerin Papa. Ini nggak seperti yang kamu lihat."

"Kila nggak nyangka, Papa tega khianati Mama. Papa jahat!" Suara Kila terdengar serak dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

"Kila nggak tau nanti respons Mama gimana, saat tau Papa selingkuh," lanjut Kila sembari menyeka air matanya dengan kasar.

"Kila, dengerin du-" 

"Kamu diam! Dasar jalang!" sela Kila cepat tanpa menunggu wanita itu menyelesaikan ucapannya. Wanita itu sontak terdiam mendengar ucapan Kila. Cairan bening mulai mengalir di sudut matanya.

Kila berdecih. "Gak usah sok nangis, drama banget si-"

Plakk!

Kila menyentuh pipi kirinya yang terasa perih. Satu tamparan telah dilayangkan oleh pria yang paling dicintainya. Dengan tatapan nanar, Kila mendekat ke arah pria paruh baya itu.

"Tampar lagi, Pa, tampar!" pekik Kila menyodorkan pipinya dengan air mata yang semakin deras. Bukan perih di pipi, tetapi perih di hati yang paling terasa. Pria yang selama ini dianggap Dewa, kini menamparnya.

"Sudahlah, Kila, pergi dari sini!" sentak Papanya sembari menarik tangan wanita itu untuk kembali duduk. 

Kila tersenyum kecut. Dengan perlahan dia mulai melangkah keluar dari kafe. Seluruh tubuhnya terasa lemas, tetapi dia harus menahan agar tidak ambruk. Kila melihat kanan kiri untuk menunggu taxi, dia sudah tidak sanggup lagi untuk mengendarai motor. Selama perjalanan tak henti-henti dia terisak. Bagaimana perasaan sang mama saat tahu kejadian ini? Kila ingin keluarga mereka tetap utuh, tetapi Kila juga tidak ingin menyembunyikan hal ini dari mamanya. 

"Sayang, kamu kok naik taxi? Motor kamu mana? Trus kok pulangnya cepet, nggak biasanya?" tanya sang mama saat melihat Kila turun dari taxi. Kila sudah tak bisa menahan, dengan cepat dia memeluk tubuh mamanya hingga hampir terhuyung ke belakang.

"Kamu kenapa, Sayang? Cerita sama Mama," ucap mamanya sembari membelai lembut rambut putri semata wayangnya itu. Pertanyaan itu semakin membuat isakan Kila menjadi-jadi dan mamanya kian kebingungan.

"Kenapa, sih, Kila? Jangan nangis!" seru mamanya dengan nada tegas. Tidak ada ibu yang suka putrinya menangis tanpa dia tahu apa sebabnya.

"Ma, Pa-Papa-" Ucapan Kila tersendat-sendat karena isakannya yang ak kunjung reda. Mamanya mengurai pelukan dengan kening yang mengerut.

"Papa kenapa, Sayang? Papa, kan lagi di Aus-"

"Nggak, Ma, Papa nggak di Australia! Papa di sini, Ma," ungkap Kila dengan tatapan sendu.

Mama terkekeh kemudian mengacak-ngacak rambut Kila. "Kamu kangen, ya, sama Papa? Makanya sampe segitunya. Kalo Papa di sini pas-"

"Aku memang di sini." Suara itu menghentikan pembicaraan mereka. Keduanya sontak menoleh, terlihat papa Kila dengan seorang wanita berjalan mendekat.

"Papa di sini?" tanya mama Kila tak percaya. Dengan senyum manis dia mulai menghampiri, tetapi senyum itu memudar kala melihat wanita di samping suaminya, saling bergandengan tangan.

"Papa sama siapa?" Mama Kila mencoba setenang mungkin, meski kini hatinya berdesir hebat menahan sakit dan amarah.

"Dia Indah, kekasihku." Dengan bangganya papa Kila memperkenalkan wanita itu. 

"Kekasih? Aku masih istrimu, Pa!" 

"Aku ingin cerai dari kamu, aku sudah tidak tahan hidup bersamamu!" bentak papa Kila membuat air mata wanita itu meluncur deras.

"Nggak, Pa, Papa becanda, 'kan?" Mama Kila masih tak percaya, dia meraih tangan sang suami. Namun, apa yang dilakukan pria itu sungguh sangat menyakitkan. Dengan kasar dia mengentakkan tangan mama Kila hingga tersungkur di lantai.

"Mama!" Kila berlari untuk membantu mamanya bangkit. Mereka berdua menangis meratapi kenyataan yang sungguh tak pernah mereka bayangkan sama sekali.

"Papa keterlaluan!"

"Aku tidak peduli! Mulai besok kosongkan rumah ini karena Indah akan tinggal di sini!" tandas pria itu sebelum mereka melenggang pergi meninggalkan dua wanita yang kini bersimbah air mata.

Keluarga itu telah hancur, keluarga yang selama ini terlihat harmonis. Yang selama ini dipenuhi canda dan tawa. Keluarga yang selama ini dibanggakan di depan teman-teman. Kini telah terpecah, tak akan ada lagi kebahagiaan itu. Tak akan ada lagi apa yang menyayangi mama dan tak ada lagi papa yang memanjakan Kila. Tak ada lagi!

Selesai
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun