kereta api.. tut.. tut.. tut..
NaikSiapa hendak turut?
Itulah sepenggal lirik lagu anak-anak yang terngiang saat naik kereta. Dulu, kereta sebagai angkutan umum masih menggunakan tenaga uap. Makanya berbunyi tut.. tut.. tut..
Sekarang, kereta sudah bergerak menggunakan listrik. Kereta Rel Listrik (KRL). Sehingga bunyi tut.. tut.. tut.. yang terdengar berasal dari peluit kereta. Ikonik banget, kan?
Sebagai pengguna jasa KRL yang melintasi Jabodetabek, saya punya pengalaman berkesan yang tak terlupakan. Sesuai judul di atas, saya pernah nyasar naik KRL hingga ke Stasiun Nambo!
Tinggal di pelosok kabupaten namun sumber penghidupan ada di kota membuat saya harus pulang-pergi setiap harinya. Mobilitas menggunakan KRL Jabodetabek jadi andalan saya sejak tahun 2017. Berangkat sebelum matahari terbit. Pulang setelah matahari terbenam. Tentu membuat kondisi badan lelah hingga fokus jadi berkurang.
Hari itu, saya bangun kesiangan. Dengan segenap kekuatan saya segera menyambar outfit kerja, tas, dan keperluan lainnya lalu tancap gas ke stasiun. Saya berangkat dari stasiun KRL paling timur dari Jakarta, Stasiun Cikarang.
Dari Stasiun Cikarang, saya turun di stasiun transit, Stasiun Manggarai. Tanpa mendengarkan dengan seksama informasi tujuan kereta yang tiba/berangkat, saya naik di Jalur 6 (kereta Bogor). Saya berharap segera sampai di Stasiun Bogor dengan selamat. Saat itu sudah pukul 9, sudah terlambat untuk menghadapi drama lainnya.
Begitu tiba di Stasiun Citayam, kereta berbelok menuju jalur Cibinong yang berakhir di Nambo.
Saat itulah saya tertegun. Kaget. Panik. Putus asa. Semakin jauh dari stasiun akhir tujuan perjalanan saya, Stasiun Bogor. Meskipun masih sama-sama berlokasi di Bogor, lokasi Stasiun Nambo berada jauh dari kota Bogor.Â
Itulah alasan sebagian orang melabeli Stasiun Nambo sebagai Stasiun Rock Bottom, saking jauhnya dari peradaban.
Terlanjur tiba di Stasiun Nambo, saya jadi ingat kartun Spongebob pada episode 'Lost in Rock Bottom'. Pada episode tersebut, Spongebob juga nyasar ke tempat antah-brantah setelah salah naik bis. Spongebob berada di Rock Bottom dan kebingungan seorang diri. Bahkan, Spongebob tidak bisa berkomunikasi dengan warga lokal karena bahasanya sulit dipahami.
Cerita ini persis seperti yang saya alami. Tiba di Stasiun Nambo dengan bingung bercampur panik. Takut gak bisa pulang. Sebab, kondisi stasiun teramat sepi dan gak banyak orang yang turun/naik kereta. Membuat suasananya sepiii sekali. Ditambah gak ada akses transportasi umum selain naik kereta.Â
Corak geografis Stasiun Nambo yang berada di wilayah perbukitan kawasan Bogor Timur, berhasil membuat saya merasakan sensasi Lost in Rock Bottom seperti Spongebob. Definisi dunia lain yang jauh berbeda dari tempat lainnya di Bogor kota. Jalan satu-satunya untuk pulang/kembali adalah jalur kereta. Setidaknya itulah yang pasti. Tapi, saya harus nunggu berapa lama sampai kereta berangkat lagi?
Beruntung, ada petugas KAI yang informatif memberikan saya pencerahan. Melihat saya yang mondar-mandir di pintu stasiun, petugas itu menghampiri dan bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Tentu saja saya yang hampir nangis akhirnya curhat kalau tadi salah naik kereta dari Stasiun Manggarai. Kesalahan itulah yang membuat saya berakhir di sini.
Petugas itu menenangkan, kalau kereta menuju Jakarta akan tiba dalam waktu 50 - 110 menit. Yah, lumayan sambil cari sarapan dulu. Namun, petugas itu juga menyarankan jika saya terburu waktu menuju Bogor, lebih baik nanti turun di Stasiun Cibinong saja. Dari sana saya bisa naik ojek ke kota Bogor.Â
Saya mengucapkan terima kasih, setidaknya saya tau harus menunggu berapa lama lagi. Meskipun kereta paling cepat tiba dalam 1 jam lagi, saya sudah izin cuti setengah hari mendadak karena salah naik kereta. Gak apa-apa deh. Masih ada harapan untuk pulang, hehehe.
Sembari menunggu kereta tiba, saya keluar stasiun mencari warung makanan. Ternyata, nihil! Hanya ada warung kelontong dan tukang ojek pangkalan saat itu. Akhirnya saya kembali ke stasiun sambil gigit jari. Betulan nyasar ini rupanya. Bahkan untuk memenuhi panggilan perut yang sudah keroncongan saja masih harus menunggu sampai kereta tiba.
Menenggelamkan diri dalam musik yang mengalun di telinga. Tanpa sadar, 1 jam telah berlalu. Kereta menuju peradaban sudah di depan mata. Tiba-tiba saja orang berbondong-bondong memasuki kereta. Entah mereka datang dari mana.
Situasi stasiun yang sepi dan mencekam berubah kontras begitu kereta tiba. Saya pun bangkit dan segera mencari kursi kosong untuk menyenderkan badan yang lelah.
Tak lama kemudian, kereta berangkat. Betul, nunggunya 1 jam lalu kereta berangkat 15 menit kemudian. Tapi, akhirnya saya lega.
Kembali menuju peradaban!
Sambil cuci mata, saya mengarahkan pandangan ke jendela. Perbukitan kapur berjejer bagaikan mangsa empuk pembangunan. Sebagian sudah habis dikeruk dan diperjualbelikan. Sebagian lagi masih tertutup vegetasi yang nantinya pun bernasib serupa.
Yah, apa mau dikata. Pembangunan merata berarti pengorbanan yang habis-habisan. Agar tetap berdaya, warga yang terdampak pembangunan harus beralih. Beradaptasi dengan keadaan baru.Â
Tentunya tidak mudah. Buktinya, warga Nambo yang kerja di kota juga harus beradaptasi dengan lamanya waktu keberangkatan kereta ke Jakarta, bukan?
Drama nyasar ke Rock Bottom Nambo membuat saya sadar bahwa perubahan instan itu gak ada dan gak mungkin bisa. Namun, perubahan berkelanjutan yang meliputi adaptasi serta pengembangan diri justru menambah value diri.Â
Membuat setiap orang memiliki kesempatan untuk melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik. Kalau kamu, punya pengalaman naik kereta yang menarik juga? Share yuk di kolom komentar!
***
Terima kasih sudah membaca sampai akhir  :)
Tinggalkan jejak digital kamu yaa~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H