Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Berprasangka Baik Pada-Nya, Semua Akan Baik-baik Saja

11 Maret 2024   22:43 Diperbarui: 11 Maret 2024   22:56 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu cuaca terasa teduh. Semilir angin bertiup menuruni lereng perbukitan yang meliuk-liuk. Jalan yang penuh dengan kelok dipadati kendaraan berlalu-lalang. Aku melirik jam tangan sambil membersihkan embun yang tersisa. Sudah pukul dua. Berarti sudah dua jam sejak aku menerjang derasnya hujan dari kota hingga sampai di wisata Puncak Dua.

Sebetulnya tidak ada yang menjadi tujuan pasti dari kelana ini. Aku hanya sedang ingin menikmati mi kuah di warung langgananku. Warung Kiara namanya. Sekilas warung ini sama saja dengan warung yang berjejer sepanjang jalan menuju Puncak Dua. Selain menyediakan kopi dan mi instan, tersedia pula jajanan kemasan yang bisa juga ditemui di kota.

Tetapi, ada yang membuatnya terasa berbeda. Cerita ini bermula sekitar 3 tahun yang lalu, tepatnya di bulan suci Ramadan. Saat itu kebetulan aku sedang berhalangan untuk berpuasa dan merasa jemu setelah berkutat dengan tugas perkuliahan juga pekerjaan. Tanpa pikir panjang, aku segera menunggang sepeda motor mengikuti kehendak hati pergi ke tempat yang lebih sejuk. Sekadar menjernihkan pikiran, batinku.

Tak terasa perjalanan tanpa arah membawaku ke kawasan wisata yang saat itu amat lengang. Tidak ada warung yang buka, apalagi tempat makan. Aktivitas jalur alternatif ke arah puncak yang biasanya dipadati wisatawan mendadak sepi seolah kembali ke fungsi awalnya sebagai jalan perkebunan yang hanya disinggahi mobil-mobil pengangkut hasil bumi.

Kembaraku terhenti tepat di Warung Kiara. Padahal warung ini tidak menjanjikan apapun selain kehampaan karena orang-orang sedang berpuasa. Tetapi, dari sudut warung muncul seorang wanita paruh baya yang memberikan senyum ramah.

"Mau kemana Neng?"

Aku tergagap menjawab pertanyaannya. Aku juga tidak tahu hendak kemana.

"Neng lagi puasa?"

Aku menelan ludah. Meskipun tidak berpuasa, aku sama sekali tidak membawa bekal dari rumah. Tadinya sekadar memuaskan mata dengan pemandangan hijau sepanjang jalan. Ternyata, laju kembara membawaku bergulir ke warung ini. Aku menggelengkan kepala perlahan dengan senyum canggung. Tanpa diduga, respons pemilik warung justru membuatku makin salah tingkah.

"Mau minum? Sini masuk, istirahat dulu."

Ibu pemilik warung masuk ke biliknya dan keluar membawa tikar gulung. Aku yang tadinya merasa tidak enak, lantas menuruti tawarannya untuk beristirahat barang sejenak.

"Minum apa Neng? Teh atau kopi?"

Aku sudah duduk di dalam warungnya beralaskan tikar gulung dan hanya menatapnya. Pikiran burukku menanyakan, apakah ibu ini hendak memanfaatkan kelengahan seorang musafir yang sedang mengembara tanpa arah? Aku urung berpikir curiga, lidahku sudah bergerak mewakili apa yang sebenarnya sedang aku butuhkan.

"Kopi hitam ya, Bu. Tapi maaf Bu, nggak apa-apa ini saya minum di sini?"

"Iya nggak apa-apa Neng. Jangan lupa di-qadha puasanya, ya?"

Inilah awal mula kisahku mengenal Bu Lasmini. Dari sebuah kehangatan yang ia hadirkan waktu itu, berlanjut menjadi muara temu yang menampung kejenuhan kehidupanku di kota. Semenjak saat itu, aku menjadi sering mengunjungi Warung Kiara miliknya.

***

Setiap cerita bermula dari secangkir kopi yang aku nikmati dari bilik warungnya. Aku kini memahami apa yang membedakan Warung Kiara dengan warung kopi lainnya. Pemiliknya, Bu Lasmini merupakan sosok yang tak pelit bercerita. Kala itu aku masih canggung menceritakan kegemaran anehku "mengembara tanpa arah" pada orang yang baru dikenal. Namun, Bu Lasmini selalu siap mendengarkan celotehku.

Ternyata, itu bukan masalah baginya. Mengatasi suasana yang sunyi, Bu Lasmini lantas melemparkan kelakar tentang dirinya atau orang-orang yang pernah ditemuinya. Aku merasa larut dalam perbincangan yang hangat ini. Mendengarkan giliran beliau bercerita membuatku teringat akan orang tua di kampung halaman. Aku semakin menikmati atmosfer keakraban yang diciptakannya melalui ceritanya sehari-hari.

"Neng, ibu lihat kok kamu kayak lagi banyak pikiran?"

Pertanyaan itu sudah terulang tiga kali oleh Bu Lasmini. Dua pertanyaan sebelumnya sudah ku jawab dengan kelakar "bingung cari teman ngopi" atau "lagi bosen di kosan". Rupanya Bu Lasmini mampu menangkap kegelisahanku yang tanpa sadar menguap selama kita berbincang.

"Sebetulnya saya lagi bingung, Bu.." akhirnya aku menyerah dan mengatakan kegelisahanku yang sebenarnya. "Sebentar lagi lebaran, tapi kondisi saya sekarang gak memungkinkan untuk pulang kampung."

Bu Lasmini mengangguk-angguk lalu menimpali, "Neng memang lagi sibuk banget di kota?"

Aku mengangguk lemah. "Iya, kesibukan mah ada saja, Bu. Tapi, ya begitu. Hasilnya hanya cukup untuk sehari-hari. Lagipula, pulang kampung bukan hanya biaya ongkos saja. Paling tidak harus punya pegangan untuk berbagi dengan ponakan.."

Ini tahun ketiga sejak mengenal Bu Lasmini. Merantau tanpa ditemani keluarga atau sanak famili memang konsekuensi atas pilihanku sedari awal. Namun, Ramadan kali ini rasanya lain. Ada perasaan sesal yang menjalar bila di Hari Raya nanti berulang tidak berjumpa dengan handai taulan di kampung halaman.

Pandanganku tertumbuk pada lalu-lintas yang mulai dipadati kendaraan roda empat. Sesekali mobil yang berpapasan harus mengalah agar bisa melintas di jalur terbatas dengan medan yang cukup terjal. Aku menghela nafas panjang. 

Baru kali ini aku menumpahkan keluh-kesah perihal uang pada Bu Lasmini. Tak mudah bagiku bercerita masalah keuangan kepada siapapun. Namun kali ini, mungkin sudah tak bisa ku pendam lagi. Selama ini bekerja di kota, hasilnya hanya cukup untuk bertahan saja. 

Kini Bu Lasmini menatapku lekat. Ada sesuatu yang sepertinya juga ingin ia sampaikan secara terbuka.

"Kalau Neng mau tahu, Neng pelanggan pertama ibu hari ini.."

Aku terhenyak dan hanya bisa bergeming. Bagaimana mungkin jalanan ramai begini tidak ada satupun yang mampir ke warung ibu?

"Ibu juga pengen bisa pulang kampung lebaran bersama orang tua. Tapi, kondisinya juga belum memungkinkan. Sama, Neng."

Ucapan Bu Lasmini terdengar tabah. Namun, aku menangkap gelisah yang sama dari sorot matanya.

"Ibu percaya dengan konsep rezeki. Kalau kita cuma punya satu gelas, lalu Allah memberi rezeki sebanyak satu ember---pasti akan tumpah dan mubazir. Yang tersisa ya hanya satu gelas."

Aku memandang Bu Lasmini dengan perasaan terkoyak. Tidak mudah bersikap bijak saat kita berada di kondisi yang serba kekurangan.

"Begitupula jika kita punya satu ember, tetapi rezekinya satu gelas umumnya orang akan mengeluh karena merasa kurang. Padahal jika bersabar dan bersyukur, siapa tahu Allah memberikannya tidak langsung satu ember. Walaupun segelas, bisa jadi sering sampai penuh satu ember."

Aku terenyuh mendengarnya. Merinding melihat sosok di hadapanku begitu tegar menghadapi kerasnya kehidupan. Kadangkala aku malu karena belum bisa setabah Bu Lasmini dalam menerima takdir yang sudah digariskan.

Ingin rasanya aku memeluk Bu Lasmini dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Bermula dari beliau menawarkan rehat di warungnya 3 tahun lalu, menjadi awal dari semua pelajaran berharga yang aku terima. 

Kini setiap aku melihat beliau, seolah senyumnya mengisyaratkan "semua akan baik-baik saja". Serasa air mataku mudah menetes saking terharunya meresapi makna dari setiap kisahnya. Beliau mengajarkan dalamnya makna syukur di zaman yang begitu transaksional---yang menganggap bahwa kepemilikan uang adalah segalanya.

***

Terima kasih sudah membaca sampai akhir :)

Tinggalkan jejak berupa like, komen, dan share yaa~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun