"Sebetulnya saya lagi bingung, Bu.." akhirnya aku menyerah dan mengatakan kegelisahanku yang sebenarnya. "Sebentar lagi lebaran, tapi kondisi saya sekarang gak memungkinkan untuk pulang kampung."
Bu Lasmini mengangguk-angguk lalu menimpali, "Neng memang lagi sibuk banget di kota?"
Aku mengangguk lemah. "Iya, kesibukan mah ada saja, Bu. Tapi, ya begitu. Hasilnya hanya cukup untuk sehari-hari. Lagipula, pulang kampung bukan hanya biaya ongkos saja. Paling tidak harus punya pegangan untuk berbagi dengan ponakan.."
Ini tahun ketiga sejak mengenal Bu Lasmini. Merantau tanpa ditemani keluarga atau sanak famili memang konsekuensi atas pilihanku sedari awal. Namun, Ramadan kali ini rasanya lain. Ada perasaan sesal yang menjalar bila di Hari Raya nanti berulang tidak berjumpa dengan handai taulan di kampung halaman.
Pandanganku tertumbuk pada lalu-lintas yang mulai dipadati kendaraan roda empat. Sesekali mobil yang berpapasan harus mengalah agar bisa melintas di jalur terbatas dengan medan yang cukup terjal. Aku menghela nafas panjang.Â
Baru kali ini aku menumpahkan keluh-kesah perihal uang pada Bu Lasmini. Tak mudah bagiku bercerita masalah keuangan kepada siapapun. Namun kali ini, mungkin sudah tak bisa ku pendam lagi. Selama ini bekerja di kota, hasilnya hanya cukup untuk bertahan saja.Â
Kini Bu Lasmini menatapku lekat. Ada sesuatu yang sepertinya juga ingin ia sampaikan secara terbuka.
"Kalau Neng mau tahu, Neng pelanggan pertama ibu hari ini.."
Aku terhenyak dan hanya bisa bergeming. Bagaimana mungkin jalanan ramai begini tidak ada satupun yang mampir ke warung ibu?
"Ibu juga pengen bisa pulang kampung lebaran bersama orang tua. Tapi, kondisinya juga belum memungkinkan. Sama, Neng."
Ucapan Bu Lasmini terdengar tabah. Namun, aku menangkap gelisah yang sama dari sorot matanya.