Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

KDRT: Cintanya Hilang Nyawa pun Melayang

18 Desember 2023   12:26 Diperbarui: 18 Desember 2023   12:35 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga /sumber: berkeluarga.id

Rumah tangga selalu identik dengan keharmonisan, kerukunan, dan kekompakan antar sesama anggota keluarga. Sebagaimana rumah dalam arti "fisik" yaitu bangunan tempat tinggal. 

Rumah tangga dapat diartikan sebagai urusan-urusan yang terjadi di dalam rumah. Sebelum terbentuknya rumah tangga, sepasang kekasih perlu berkomitmen dan mengucap janji di depan penghulu dan para saksi.

SAH!

Begitu kata pak penghulu di penghujung ikrar yang diucapkan suami saat menikahi istrinya. Pernikahan adalah momen sakral yang menyatukan dua keluarga besar pada satu ikatan keluarga baru.

Tak ayal, pernikahan selalu bernuansa manis dan bahagia.

Terlihat dari dekorasi, menu makanan catering, riasan pengantin dan keluarga, souvenir untuk tamu undangan, bahkan hiburan musik dan tari-tarian yang menambah semarak acara pesta pernikahan.

Namun, di balik semua gemerlap dan tangis haru di acara resepsi, ada bayang-bayang menghantui bahtera setiap rumah tangga:

MISKOMUNIKASI

Citra rumah tangga yang dihadirkan di layar kaca: romantis, gemes, dan hanya dipenuhi gelak tawa bukanlah realita yang sebenarnya. Dalam hal ini, banyak perempuan yang sudah bersuami dan mengurus anak di rumah menyimpan banyak rahasia yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Mungkin, sebelum menjalani realita menjadi "ayah" dan "ibu" kehidupan percintaan hanya berkutat diantara 2 (dua) orang yang saling merasa beruntung telah memiliki satu sama lain dan terus-menerus berjanji akan "setia selamanya".

Namun, kehadiran si kecil dan tumbuh-kembangnya membuat seolah-olah ada pembatas antara "ayah" dan "ibu" yang perlahan membuat keduanya berhenti saling memuji dan menganggap tindakan kecil dari pasangan sudah menjadi kewajiban peran barunya.

Ibu seharian mengurus dan menemani si kecil bermain, dianggap WAJAR.

Ayah seharian bekerja dan begitu pulang ke rumah hanya ingin istirahat, dianggap WAJAR.

Kewajaran-kewajaran ini akhirnya menjadi anggapan umum yang tidak lagi bisa disangkal apalagi diperdebatkan. Fatalnya, komunikasi yang hanya berlandaskan "asumsi" seringkali berkembang menjadi miskomunikasi.

Ibu keberatan dengan pekerjaan rumah dan anak, tapi tidak mungkin mengganggu ayah yang sedang istirahat. Maka beban itu dipikulnya sendirian. 

Lambat laun, beban itu bukannya justru berkurang, namun semakin mengganggu kesehatan mental ibu. Tapi, bagaimana caranya meminta ayah membantu pekerjaan domestik atau menemani anak belajar?

Peran ayah dan ibu yang tadinya sepasang kekasih yang saling mencintai, perlahan tidak lagi menghadirkan "cinta" dalam aktivitas di rumah.

Ayah merasa sudah berkorban waktu, tenaga, dan pikiran. Bekerja mencari nafkah, pergi pagi pulang petang. Belum lagi kalau macet dan diminta lembur mendadak.

Sebagai ayah, hanya ingin meminta waktu istirahat setibanya di rumah. Lelah karena pekerjaan yang berat dapat membuat mental ayah tidak baik-baik saja. 

Tapi, bagaimana cara ayah menyampaikan "kelelahannya" pada ibu yang seharian mengurus rumah dan menemani tumbuh-kembang anaknya?

Menjalani rumah tangga tidak boleh egois.

Mungkin mengatakannya memang mudah. Namun, menjalani peran-peran dalam rumah tangga akan terasa berat apabila masing-masing peran, baik ayah maupun ibu belum menyadari pentingnya bekerjasama.

Kehidupan setelah pesta pernikahan yang penuh keceriaan dan sukacita seharusnya menjadi landasan bagi setiap peran.

Memulai bekerjasama antara ayah dan ibu dalam membesarkan anak dan mencari sumber penghidupan dibangun dari komunikasi yang baik dan saling menghargai.

Sesekali, ayah bisa meluangkan hari untuk mengajak anak bermain agar ibu bisa beristirahat dan melakukan hobinya. Merawat mental ibu agar tetap sehat dapat meningkatkan rasa cintanya pada anak.

Ibu akan lebih mudah mengatur emosi dan menjadi lebih stabil apabila ayah menyadari perannya terhadap perkembangan anak. Selain itu, anak juga bisa merasakan cinta yang utuh dari orang tua yang bisa berbagi peran dengan bijak. 

Ayah yang belum bisa menerima dan menyadari peran tersebut rentan melakukan KDRT pada pasangan.

Secara psikologis, ayah cukup terbebani dengan aktivitas mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan sekeluarga. Apabila ayah belum bisa mencukupi kebutuhan dan tidak mampu terbuka pada pasangan mengenai hal ini, maka pertengkaran dalam rumah tangga akan banyak terjadi.

"Kebanyakan kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Apalagi di masa pandemi, tren kasus dan angka laporan KDRT meningkat drastis," ujar Valentina pada keterangan tertulis Sabtu (19/2/2022).

Dilansir dari Kompas.com banyak kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Valentina Gintings menyatakan bahwa tren pelaporan kasus KDRT meningkat saat pandemi COVID-19.

"Kebanyakan kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Apalagi di masa pandemi, tren kasus dan angka laporan KDRT meningkat drastis," ujar Valentina pada keterangan tertulis Sabtu (19/2/2022). 

KDRT sudah menjadi fenomena yang umum di masyarakat. Namun, korban KDRT yang mana adalah perempuan masih banyak yang takut untuk speak up dan melaporkan tindak kekerasan yang menimpanya.

Menjadi ibu, berarti harus memiliki sabar seluas samudera.

Begitupun saat menerima perlakuan kasar dari pasangannya. Perempuan menjadi tidak berdaya dan menutup mulutnya rapat-rapat karena pembicaraan seputar KDRT masih tabu di masyarakat.

Apabila seorang istri diperlakukan secara kasar oleh suaminya, beredar anggapan yang "mewajarkan" tindakan suami.

Mungkin nggak pernah masak di rumah.

Mungkin rumahnya selalu berantakan.

Mungkin pengeluarannya boros.

Selalu peran ibu yang ujungnya disalahkan. Padahal, KDRT terjadi karena komunikasi dalam rumah tangga sudah memburuk. 

Bahkan, sebelum terjadi kekerasan fisik, biasanya selalu ditandai dengan lumrahnya kekerasan verbal yang dilakukan suami terhadap istrinya.

Kewajaran-kewajaran tersebut yang akhirnya menepis "rasa bersalah" suami saat memukul atau menganiaya istrinya.

***

Sebagai generasi yang setiap harinya dibanjiri pemberitaan kekerasan dalam hubungan dua insan, bukankah sudah saatnya kita saling introspeksi diri?

Refleksikan perlakuan apa yang layak dan tidak layak kita terima dari pasangan.

Bagaimana harus merespons tindakan pasangan yang tidak seharusnya kita terima?

Ke mana kita harus mengadu atau mencari jalan tengah agar komunikasi dengan pasangan bisa sehangat dulu?

Apakah pasangan kita bisa berubah?

Atau kitalah yang harus berubah?

Dari kasus-kasus KDRT yang telah terjadi, selalu perempuan yang dirugikan dan terluka.

Saatnya kita mencari edukasi dan pertolongan yang tepat, apabila kita sedang menjadi korban.

Atau melihat orang terdekat kita sedang berjuang dan membutuhkan pertolongan.

***

Share artikel ini jika bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun