Pada tahun 2006, PT KAI terbukti melakukan fraud pada laporan keuangan perusahaan dikarenakan beberapa kesalahan yang dilakukannya.
Dalam laporannya, PT KAI mendapatkan laba Rp 6.9 miliar dalam laporan tahun sebelumnya. Padahal ketika ditelusuri, perusahaan tersebut ternyata malah mengalami kerugian sebesar Rp 63 miliar.
1. LATAR BELAKANG KASUS FRAUD PT KAIÂ Â Â Â (PERSERO)
Fraud hampir terjadi di seluruh sektor pemerintah dan sektor swasta, di Indonenesia fraud dibuktikan dengan adanya kasus manipulasi laporan keuangan pada PT KAI. Dalam kasus tersebut terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keuntungan sebesar Rp. 6,9 Milyar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jendral Pembendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh kantor akuntan publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT.KAI untuk tahun 2003 dan tahuntahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan Publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT.KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005:Â
- Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
- Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Milyar yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan standar akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai asset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
- Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Milyar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar 6 Milyar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
- Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal Negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.Â
- Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
2. Teori Agency (Agency Theory)Â
Hubungan antara pemilik (pemerintah dan pemegang saham) dan manajemen (eksekutif PT KAI). Teori ini menjelaskan konflik kepentingan yang mungkin muncul antara manajer dan pemilik, serta pentingnya pengawasan dan insentif untuk memastikan bahwa manajer bertindak demi kepentingan pemilik.
3. Fraud Triangle Theory
Fraud triangle theory adalah konsep kecurangan pertama kali yang dikembangkan oleh Cressey pada tahun 1953. Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga elemen yang menjadi dasar bagi seseorang untuk melakukan kecurangan, yaitu pressure, opportunity, dan rationalization (Cressey 1953).
4. Fraud Diamond Theory
Fraud diamond adalah pengembangan dari konsep fraud triangle dengan memperkenalkan satu elemen tambahan, yaitu capability (kemampuan). Banyak kecurangan yang umumnya melibatkan jumlah uang yang besar tidak akan terjadi tanpa adanya individu tertentu yang memiliki kemampuan khusus di dalam perusahaan. Menurut Wolfe & Hermanson (2004), terdapat sifat-sifat yang berkaitan dengan elemen capability (kemampuan) yang sangat penting dalam karakteristik pribadi pelaku kecurangan, yaitu positioning, intelligence and creativity, convidence / Ego, coercion, deceit, dan stress.Â
5. Fraud Pentagon Theory
Teori selanjutnya dalam perkembangan adalah fraud pentagon theory yang diusulkan oleh Howart (2011). Teori ini merupakan pengembangan dari teoriteori sebelumnya. Fraud pentagon menyempurnakan dan menambahkan elemen-elemen dari teori sebelumnya dengan memperkenalkan komponen kompetensi (competence) dan arogansi (arrogance). Dengan demikian, teori ini mencakup lima komponen, yaitu tekanan (pressure), peluang (opportunity), rasionalisasi (rationalization), kompetensi (competence), dan arogansi (arrogance). Kompetensi (competence) dalam teori ini memiliki arti dan maksud yang sama dengan kemampuan (capability) dalam fraud diamond theory oleh Wolfe & Hermanson pada tahun 2004.
6. Fraud Hexagon Theory
Fraud hexagon adalah hasil pengembangan dari fraud triangle, fraud diamond, dan fraud pentagon. Dalam fraud hexagon, terdapat enam komponen, yaitu stimulus (tekanan), capability (kemampuan), collusion (kolusi), opportunity(kesempatan), rationalization (rasionalisasi), dan ego. Meskipun ada perbedaan dalam nama komponen, beberapa dari mereka memiliki makna yang sama dengan teori-teori sebelumnya. Misalnya, komponen tekanan dalam teori ini disebut dengan stimulus, yang merujuk pada pressure (tekanan) yang telah dijelaskan sebelumnya oleh Cressey Donald (1953), Wolfe & Hermanson (2004), dan Howart (2011). Selain itu, komponen ego memiliki arti yang sama dengan arrogance (arogansi) yang telah dijelaskan sebelumnya oleh Howart (2011) dalam teori fraud pentagon. Tambahan dalam teori Fraud Hexagon adalah komponen kolusi (collusion).
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
1) Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak akurat/salah.
2) Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak yang diterima pemerintah lebih kecil.
Rekomendasi Agar Kasus Serupa Tidak Terulang.
1) Membangun kultur perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas, etika profesi dan kepatuhan pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal, khususnya tentang otorisasi.
2) Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan publik.
3) Merekrut manajemen baru yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta memberikan siraman rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi kelangsungan usaha perusahaan.
4) Memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan.
Kesimpulan
Kasus manipulasi laporan keuangan PT KAI (Persero) tahun 2005 dapat dijelaskan melalui Teori Agency, Fraud Triangle Theory, Fraud Diamond Theory, Fraud Pentagon Theory, dan Fraud Hexagon Theory, yang mengungkap adanya tekanan, peluang, rasionalisasi, kemampuan, arogansi, dan kolusi sebagai faktor utama terjadinya fraud.
Kasus fraud pada laporan keuangan PT KAI (Persero) tahun 2005 mengungkapkan pelanggaran serius terhadap etika bisnis, standar akuntansi, dan prinsip transparansi perusahaan. Dalam kasus ini, laporan keuangan yang seharusnya menunjukkan kerugian sebesar Rp 63 miliar justru dilaporkan sebagai laba sebesar Rp 6,9 miliar. Manipulasi ini dilakukan melalui berbagai penyajian yang tidak sesuai, seperti pencatatan pajak pihak ketiga sebagai pendapatan dan pengelolaan kewajiban pajak sebagai piutang. Selain itu kasus ini memberikan dampak negatif, baik bagi publik (investor) yang dirugikan dengan informasi keuangan yang menyesatkan, maupun pemerintah yang kehilangan potensi penerimaan pajak.
Kasus ini menyoroti pentingnya sistem pengawasan yang ketat, integritas manajemen, dan penerapan kode etik profesi secara tegas. Pemerintah dan perusahaan harus memastikan bahwa standar akuntansi diterapkan dengan benar, pengawasan internal diperkuat, dan audit independen dilakukan secara transparan untuk mencegah kecurangan serupa. Selain itu, penegakan hukum terhadap pelaku fraud menjadi langkah penting untuk memberikan efek jera dan menjaga kepercayaan publik.
Artikel ini dibuat sebagai bentuk penugasan mata kuliah Sistem Informasi Akuntansi.
Dosen Pengampu: Mulyaning Wulan
Siti Khoirunisa (2202015031)
Attiqah Azhar Sabihah (2202015063)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI