Oleh: Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ 2019
Kelompok 3
Siti Humairo (1405619031)
Tamara Oktaviyana (1405619010)
Cantika Ayu Dyah Janeva (1405619057)
Tubagus Abdul Khaelani (1405619023)
Fathya Yasmin Aulia (1405619060)
Latar Belakang
Kemiskinan menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun internasional, walaupun kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang lalu. Fakta menunjukkan pembangunan yang telah dilakukan belum mampu meredam meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.Â
Menurut Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2021 sebesar 26,50 juta orang. Penduduk miskin juga turun 0,43 persen poin menjadi 9,71% pada September 2021 dibanding Maret 2021. Jika dibanding September 2020, angka kemiskinan juga turun 0,48 persen poin. Meskipun menurun, tetapi persentase penduduk miskin tersebut masih lebih tinggi dibanding posisi sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Artinya permasalahan kemiskinan bukan lagi hal baru yang dapat kita temukan di Indonesia. Salah satu penyebab utama tingginya angka kemiskinan di Indonesia yaitu eksistensi masyarakat struktural (masyarakat yang sukar mengubah hidup mereka melalui pendidikan) serta kuatnya pengaruh local wisdom yang tertanam kuat pada pola pikir masyarakat struktural (tradisional).Â
Karini (2018) juga menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan suatu masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, pendapatan, kesehatan, akses terhadap barang dan jasa, dan kondisi lingkungan. Sehingga masalah kemiskinan masih menjadi masalah besar  yang membutuhkan perhatian dan tindakan khusus melalui berbagai program bantuan yang bersifat penyelamatan, pemberdayaan, dan fasilitatif.
Permasalahan kemiskinan bukan hanya mempermasalahkan rendahnya penghasilan seseorang, melainkan bagaimana mereka dapat memenuhi hak dasar akan pangan, pendidikan, pekerjaan, rasa aman, dan lain sebagainya. Terlebih lagi untuk persoalan pendidikan yang mana sangat penting bagi individu dan juga kemajuan suatu bangsa.
 Salah satu faktor terbesar rendahnya tingkat pendidikan di suatu negara ialah karena kondisi ekonomi masyarakat. Kurangnya kemampuan ekonomi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak merupakan salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan dan membuat tingginya angka putus sekolah pada masyarakat miskin.
Yuusufa (2018) juga menyatakan bahwa rendahnya partisipasi melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang tinggi disebabkan karena return dari pendidikan yang relatif rendah, masih banyaknya buta huruf, rendahnya tingkat motivasi, kurangnya pemahaman, tingginya tingkat kemiskinan bahkan maraknya pekerja anak untuk membantu keluarga.Â
Maka dapat digaris bawahi keberlanjutan pendidikan pada anak masih dipengaruhi kemiskinan yang tiada henti dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Padahal peran pendidikan dalam hidup seseorang sangatlah penting. Melalui ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, individu akan lebih mudah untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam beraktivitas dan juga mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.Â
Kualitas atau mutu bangsa pada suatu negara akan bergantung pada pendidikan karena pendidikan pada suatu negara  memegang peranan yang sangat penting  dalam menentukan kualitas peradaban bangsa  di masa depan. Dengan demikian upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan angka kesejahteraan masyarakat yaitu melalui pendidikan.
Namun mahalnya biaya pendidikan mengakibatkan masyarakat miskin sulit untuk menjangkau pendidikan di sekolah. Sehingga jika permasalahan ini tidak segera diatasi maka kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah akan terpuruk lebih dalam lagi. Padahal sejatinya pendidikan dapat mengubah pola pikir seseorang yang membuatnya akan terus berkembang.Â
Lagipula suatu bangsa yang besar pasti haruslah memiliki tingkat pendidikan yang bagus agar bisa bersaing dengan perkembangan yang begitu pesat.
Isi
Kemiskinan
Di negara berkembang tidak terkecuali Indonesia kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dengan masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat atau jumlah masyarakat yang berda dibawah garis kemiskinan menjadi dua masalah besar yang masih terus diperdebatkan diberbagai forum nasional maupun internasional.Â
Kemiskinan dapatdilihat secara multidimensional seperti melalui dimensi sosial, budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan budi pekerti. Meskipun cara yang kita temukan seringkali hanya mengaitkan kemiskinan dengan dimensi ekonomi, hal tersebut sangat wajar karena dimensi ekonomilah yang paling mudah untuk diamati, diukur dan diperbandingkan.
Kemiskinan secara sadar atau tidak sadar hidup berdampingan di suatu wilayah bersamaan pula dengan yang mampu. Sebagai negara berkembang, sejak zaman orde baru tahun 1966 sampai dengan orsde reformasi tahun 1998 sampai sekarng Indonesia secara konsisten telah melakukan pembangunan.Â
Meskipun begitu Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan kemiskinnan, terutama tingkat kemiskinan di Indonesia naik pada saat setelah masa reformasi tahun 1998 yang menyebabkan adanya krisis ekonomi Indonesia.Â
Menurut Prawoto (2009) mengutip dari (Sahdan, 2005) Indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh BAPPENAS mempunyai makna yang relatif luas, yaitu dari berbagai sisi kebutuhan kehidupan, antara lain adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kese hatan;Â
(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terba tasnya akses terhadap air bersih; (8) lemah nya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;Â
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatas nya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besar nya tanggungan keluarga;Â
(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebab kan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Karakteristik masyarakat miskin pada umumnya adalah lemah dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka tertinggal dari masyarakat lainnya yang  memiliki potensi lebih tinggi. Kemiskinan terbagi menjadi empat bentuk yaitu kemiskinan absolut yaitu masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan primernya seperti sandang pangan dan papan.Â
Kedua kemiskinan relative yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh belum meratanya kebijakan pembangunan sehingga menyebabkan ketimpangan penghasilan.Â
Ketiga kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh perilaku atau budaya dari masyarakatnya yanga malas, boros dan tidak kreatif, dan ke empat adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya akses sumber daya yang ada di masyarakat baik itu dari struktur budaya,dan sosial politik justru menyebabkan suburnya kemiskinan.
Kemiskinan dapat diartikan sebagai lingkaran setan karena itu permasalahannya tidak pernah terputus. Masyarakat yang miskin tentunya memililiki daya beli dan akses yang rendah kepada pendidikan sehingga banyak masyrakat miskin yang putus sekolah.Â
Padahal kita tahu bahwa pendidikanlah yang dapat menjadi jalan terjadinya mobilisasi vertikal masyrakat miskin meningkatkan kesejahteraanya. Namun karena ketidakmampuannya tersebutakhirnya justru dari kemiskinan akan menimbulkan berbagai permasalahan baru seperti penyimpangan, kriminalitas, kenakalan remaja dan meningkatnya jumlah anak putus sekolah.
Angka Putus Sekolah
Modal dasar dari kemajuan suatu bangsa adalah Pendidikan, namun menjadi tugas besar bagi negara dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi seperti Indonesia ini bahwa fenomena putus sekolah masih banyak terjadi karena salah satunya adalah faktor kemiskinan yang mempengaruhi,Â
dari kemisinan tersebut orangtua kurang memperhatikan pendidikan, menganggap pendidikan tidak terlalu penting karena berfikir bahwa anak lebih baik membantu orangtuanya bekerja serta faktor kurangnya motivasi dari dalam diri anak.
 Dilansir dari databoks yang bersumber pula dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek),2022 menyatakan bahwa jumlah anak putus sekolah pada tahun 2021 berjulah 75.303 anak putus sekolah dengan yang terbanyak terdapat pada tingkat sekolah dasar SD sebanyak 38.716 anak.Â
Pada jenjang SMP mengalami peningkatan jumlah anak putus sekolah di tahun 2021 sebanyak 32,20% dengan jumlah angka putus sekolah di jenjang SMP sebanyak 15.042 anak, di tingkat SMK atau Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 12.063 dan SMA sebanyak 10.022 anak. Dalam tiga tahun berturut-turut angka putus sekolah siswa sekolah dasar SD terdolong pada tingkat yang paling tinggi.
Akibat Anak Putus Sekolah
Sekolah sebagai sarana pendidikan memiliki peran dalam kehidupan masyarakat, anak dapat diajarkan untuk bersosialiasi dengan sesama. Pendidikan dapat mengangkat status sosial di masyarakat, semakin tinggi maka seseorang dapat memiliki status sosial yang tinggi pula.Â
Sekolah merupakan tempat untuk tumbuh dan berkembangnya anak, memperdalam pengetahuan, memperkokoh karakter, sikap, dan perilaku diharapkan agar siswa dapat mempermudah kehidupannya saat dewasa kelak.Â
Namun dengan adanya anak yang putus sekolah tentu menjadi suatu permasalahan sosial yang baru sebab anak yang putus sekolah belum memiliki keterampilan yang mencukupi, belum memiliki pengetahuan yang mumpuni. Berikut merupakan akibat yang ditimbulkan dari anak yang putus sekolah:
Anak putus sekolah dapat membuat naiknya angka pengangguran dan tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih.
Anak yang putus sekolah dapat menambah angka pengangguran di Indonesia, sebab mereka tidak dapat memenuhi kualifikasi yang ada dalam perusahaan karena sebuah perusahaan besar memiliki kualifikasi tamat sekolah adalah SMA. Jika terdapat anak yang putus sekolah saat SMA maka tidak dapat memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut.Â
Anak yang putus sekolah belum membekali diri dengan penegetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga dapat menjadi tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih hingga akhitnya timbul banyak pengangguran. Tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja, sebab kurang dalam pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
Kemiskinan
Penyebab anak putus sekolah selah satunya adalah karena adanya permasalahan kemiskinan sehingga tidak mampu untuk melanjutkan sekolah. Masalah kemiskinan ini menjadi sebuah lingkaran perangkap kemiskinan. Menurut Rahmatin (2017: 134) teori lingkaran kemiskinan ini terbagi dalam tiga bentuk yang saling berkaitan secara sirkular dimana bentuk ketiga terdapat dalam masalah rendahnya taraf pendidikan, pengetahuan, dan kemahiran masyarakat.Â
Kemiskinan yang menjadi penyebab anak putus sekolah maka akan menghasilkan generasi yang terjebak dalam kemiskinan pula. Lingkaran kemiskinan ini membuat negara berkembang akan tetap berada dalam kemiskinan karena keadaan masyarakat yang masih terbelakang.
Pembangunan Negara terhambat
Banyaknya pengangguran dan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih akibat dari adanya anak putus sekolah membuat negara terhambat dalam pembagunan negara. Mayoritas tenaga kerja memiliki keterbatasan pengetahuan dan skill maka akan kesulitan dalam meningkatkan produktivitas dan bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri.Â
Pendidikan ditujukan agar dapat menghasilkan siswa siswi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam bekerja sehingga mampu membangun negara menjadi lebih maju. Namun ketika anak memutuskan untuk putus sekolah maka fungsi pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik.
Angka kriminalitas yang tinggi
Tidak adanya kegiatan yang menentu membuat perilaku anak tidak terkontrol. Anak dapat bergabung dengan kelompok yang tidak baik sehingga mengakibatkan akan melakukan tindakan negative seperti mabuk, mencuri, menodong, dan lainnya. Hal tersebut karena tidak adanya pembekalan skill, pengetahuan, dan sikap dalam diri mereka yang putus sekolah sehingga mudah terbawa hal negative,Â
selain itu anak putus sekolah biasanya diharuskan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan kelaurga namun karena tidak memiliki skill dan pengetahuan yang cukup membuat anak tersebut terpaksa untuk melakukan tindakan kriminal.
Peran Pendidikan dalam Mengentaskan Kemiskinan
Pendidikan memiliki peran dalam mengatasi kemiskinan yang diderita masyarakat, pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan skill dan pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan adanya pendidikan dapat membekali orang dengan pengetahuan dan keterampilan, selain itu siswa memiliki kesempatan untuk bekerja setelah lulus dari sekolah sehingga mampu meningkatkan pendapatan.Â
Dengan demikian adanya pendididkan mampu memutus mata rantai kemiskinan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup, status sosial, dan mensejahterakan masyarakat.
Masalah ekonomi menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi pendidikan dan tngginya angka putus sekolah. mereka tidak memiliki dana untuk mengirim anak-anak pergi sekolah, jika uang tersebut digunakan untuk biaya sekolah maka mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebab pendidikan membutuhkan biaya yang cukup besar.Â
Pemerintah perlu melakukan pemerataan pendidikan hingga ke seluruh daerah agar tidak terjadi adanya anak putus sekolah. pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memeratakan pendidikan, hal ini tertuang dalam Undang Uundang Pasal 31 Ayat 1-2 yang berbunyi bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Menurut Ustama (2009: 7) penduduk usia sekolah memerlukan pelayanan pendidikan yang baik dan bermutu agar dapat survive dalam menjalani kehidupan di masa depan. Pendidikan dapat mengembangkan bakat, minat, dan potensi yang dimiliki oleh anak untuk mengikuti pendidikan.
 Seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai bekal pengetahuan dan  keterampilan yang siap untuk menghadapi di bidang pekerjaan. Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan jauh lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan.Â
Adanya hal ini maka dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sehingga mampu untuk mempercepat pembagunan dan membuat Indonesia menjadi negara yang maju. Maka dari itu pendidikan dapat mengentaskan kemiskinan yang ada di Indonesia.
Kesimpulan
      Kemiskinan adalah sebuah masalah kompleks yang saat ini masih belum memiliki masalah tetap, sumber kemiskinan yang dinamis membaut isu ini selalu sulit untuk diselesaikan oleh berbagai pihak. Pendidikan dinilai mampu untuk menjadi jembatan yang bisa mengantarkan masyarakat miskin untuk bisa keluar dari lingkaran setan tersebut, mendapatkan hak-haknya dan juga hidup dengan layak.Â
Namun disaat yang sama Pendidikan yang diharapkan tidak menghasilkan output yang dapat membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinannya, ditambah tingkat Pendidikan tinggi yang dianggap adalah jalan pasti keluar dari kemiskinan sangat sulit untuk diakses oleh mereka yang kurang beruntung.
Esensi Pendidikan yang diharapkan dapat membebaskan manusia dari berbagai belenggu pada akhirnya hanya sebuah angan-angan bagi masyarakat miskin, Pendidikan pada akhirnya hanya sebuah sector produksi tenaga kerja yang sejak lama sudah dikhawatirkan oleh Karl Marx
Saran
      Menyediakan Pendidikan yang dapat diakses masyarakat miskin demi menuntaskan kemiskinan bukanlah satu-satunya hal yang perlu diperhatikan. Memperhatikan kualitas Pendidikan dan juga keahlian yang bisa didapatkan dalam proses Pendidikan yang berlangsung juga perlu diperhatikan, jika tidak pada akhirnya sekolah yang tersedia tidak berbeda dari tempat untuk membuang waktu dan juga melanggengkan kemiskinan di tengah masyrakat.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah Elda Wahyu, dkk. 2018. Pengaruh pendidikan, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk terhadap kemiskinan di Provinsi    Jawa Timur. Jurnal Ilmu Ekonomi JIE. 2 (1) : 167-180.
Alpian, Y., Anggraeni, S. W., Wiharti, U., & Soleha, N. M. (2019). Pentingnya pendidikan bagi manusia. Jurnal Buana Pengabdian, 1(1), 66-72.
Badan Pusat Statistik. (2022) Â https://www.bps.go.id.
Databoks.katadata.co.id. (2022). Berapa Jumlah Anak Putus Sekolah di Indonesia?. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/16/berapa-jumlah-anak-putus-sekolah-di indonesia#:~:text=Laporan%20Kementerian%20Pendidikan%2C%20Kebudayaan%2C%20Riset,yang%20tertinggi%20sebanyak%2038.716%20orang.
Kadji, Yulianto. Kemiskinan Dan Konsep Teoritisnya. Dilansir dari https://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/318/Kemiskinan_dan_Konsep_Teroitisnya.pdf
Karini, P. (2018). Pengaruh Tingkat Kemiskinan Terhadap Angka Partisipasi Sekolah Usia 16---18 Tahun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan, 10(1), 103-115.
Prawoto, Nano. (2009). Memahami Kemiskinan Dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Â Volume 9. Nomor 1
Rahmatin, Ummy Zulfa & Ady Soejoto. 2017. Pengaruh Tingkat Kemiskinan Dan Jumlah Sekolah Terhadap Angka Partisipasi Sekolah (APS) Di Kota Surabaya. Vo. 1. No. 2. Hlm.128-138
Sofya Rani, dkk. 2018. Kondisi Sosial Ekonomi Siswa Putus Sekolah. Jurnal Inovasi Pendidikan Ekonomi. 8 (2): 90-94.
Tazkia. 2017. Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan. Jurnal UIN Banten. 16 (01): 1-30.
Ustama, Dicky Djatnika. 2009. Peranan Pendidikan Dalam Pengentasan Kemiskinan. Vol. 6. No. 1. Hlm 2-9
Wassahua, Sarfa. 2016. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Di Kampung Wara Negeri Hative Kecil Kota Ambon. a l - i l t i z a m. Â Vol.1. No.2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H