Setelah kepergian Jessy ke kamarnya sang Ibu mengeluarkan kata-kata pedasnya.
"Belain aja terus anak gak tau diri itu, biar  dia jadi anak pembangkang. Kebiasaan kamu tuh Mas."
"Kamu gak boleh seperti itu sayang, kematian Bunda itu gak sepenuhnya salah Jessy, itu udah takdir sayang."
"Ngga, itu salah dia Mas. Jangan mulai lagi, ini masih pagi, Aku males ribut pagi-pagi. Aku mau liat Dimas dulu udah selesai belum pakai bajunya." Setelahnya ibu Jessy pergi ke kamar Dimas-adik Jessy.
Ayah Jessy hanya bisa menghela nafasnya berat. Ibu Jessy memang tak menginginkan anak perempuan ditambah lagi nenek Jessy direnggut nyawanya saat ingin mengambil bola yang Jessy tak sengaja lempar ke tengah jalan. Itu sebabnya Ibunya selalu menyiksa mental dan fisik Jessy.
"Jes! Jessy!"
"Iya? Kenapa Han?"
Saat Jessy berbalik, Hana-teman sebangkunya itu pun menyerengitkan dahinya.
"Lo kok pucet gitu? Lo sakit ya?"
"Ha? Ngga kok, Gue gapapa." Balas Jessy dengan senyuman.
Jessy tak sepenuhnya berbohong, ia memang tak sakit mungkin karena tak sarapan sebelum berangkat sekolah tadi ia jadi pucat.