Assalamualaikum sahabat kompasiana. semoga sehat selalu. Untuk mengawali hari, senin tetap ceria yah ...
Aku, Yatim Piatu
Setiap perjalanan pulang, aku yakin tak semua manusia sedang baik-baik saja. Ada keresahan tersendiri yang sulit diabaikan, ketakutan mencekam diri tak bertuan. Kadang kala mengalahkan alam bawah sadar yang berbicara akan segalanya.
Mengapa perjalanan pulang begitu sangat mengerikan ?
Entahlah, pada fasenya tiap manusia akan merasakannya. Aku masih merasa nyaman, dalam lamunku yang tak berujung pada tepi berlaku. Aku sendiri tak punya siapa-siapa yang mampu menopang semua hasrat suka dukaku. Gadis malang, pikirku.
Lima tahun berlalu sejak kepulangan Ibu pada Sang Illahi, kurasa aku masih memiliki napas yang akan menyambung semangat hidupku, yaitu Ayah. Aku memang kehilangan Ibu, tapi aku mewarisi bakat dan wajah Ibu. Aku adalah harta yang Ayah miliki saat ini, hanya aku. Kami dari keluarga sederhana dan menikmati kemiskinan ini dengan bahagia. Hidup dengan rumah reyot yang berlubang sana-sini, tak menjadikan aku malu pada siapa saja.
Aku tetap ingin menjadi anak yang berbakti. Aku tetap ingin jadi anak shaliha yang bisa memberikan syurga pada orangtuaku. Kadang pula, tetangga kanan dan kiri gubukku bukan semakin iba dengan kesulitan hidup kami. Malahan yang ada selalu saja menjengkali rezeki kami dengan ucapan kasar. Aku tau ini pasti menyakitkan untuk Ayah. Aku tak pernah berhenti membela Ayah, aku takkan membiarkan siapapun menyakiti Ayah.
Ayah adalah satu-satunya laki-laki terhebat yang kumiliki, menjagaku dan selalu memberikan hal terbaik bagiku. Ia tiada duanya. Ia adalah sosok luar biasa berada di belakang layar hidupku.
Aku memang gadis sederhana dan miskin. Tapi soal pendidikan, tetap aku lanjutkan sampai saat ini. Aku menyadari kesederhanaan materi bisa dicari. Tapi harapan dan mimpi tak boleh henti. Aku bertekad ingin menjadi orang yang bermanfaat pada dunia, suatu saat nanti.
Namaku Syuhada Arinda. Anak semata wayang Ayah dan almarhumah Ibu. Aku dibesarkan dari keluarga yang mungkin sebagian orang memandang kesederhanaan kami adalah hina. Tapi bagiku, materi tak menentukan masa depan setiap orang. Aku tinggal di Kota Pekanbaru, Riau. Gubukku adalah satu dari puluhan ribu rumah mewah di kota ini. Aku masih SMA di salah satu sekolah negeri di sini.
Seyogyanya, lingkungan kota hidup dengan banyaknya style dan fashion yang tak biasa saja, mewah dan adaptasi tradisonal modern. Aku melihat pemandangan kota tanpa ingin aku melupakan jejak kesadaran diriku siapa. Teringat selalu pesan Ayah.