Keesokan harinya tepat pada kajian halaqah mingguan, aku berusaha membicarakan ini pada kak Nur Salamah murobbiku. Setelah panjang lebar kami membahasnya, akhirnya ku setujui proses ta'aruf ini. Aku menyusun proposal dalam proses ini, kemudian diajukan oleh murobbiku kepada murobbi Farhan.
Hal lain yang kupikirkan sebab aku juga sudah menyelesaikan studiku di kampus. Ah, mungkin saja Allah memberikanku waktu untuk bisa istiqoroh lebih dulu. Malam itu ku tunaikan niatku untuk istiqoroh  mohon petunjuk Allah. Hatiku mantap untuk melangkah dengan Farhan. Berharap yang terbaik, impian terbaik dan masa depan terbaik.
Tepat pada Juni 2016 aku melayangkan proposal taarufku, begitupun Farhan. Setelah melalui berbagai proses taaruf. Kami diperkenankan untuk memberitahu kedua orangtua kami. Setelah panjang lebar nasihat murobbi kami, kuberanikan diri mengatakan pada ayah dan ibuku.
Awalnya mereka terkejut, mana mungkin anak kecil sepertiku sudah bisa membina rumah tangga?kata Ibu. Benar nyatanya, orangtua yang selalu sayang pada kita, selalu menganggap kita bak anak kecil yang masih senang berlarian ke sana kemari.
Aku berbisik dalam sejadah malamku, akankah harapanku nyata terwujud? Atau hanya kan menjadi bayang-bayang semu saja. Berkelakar lagi kalau pertanyaanku demikian. RobbMu telah banyak memberikan nikmat kehidupan yang luar biasa, proses perjalanan kehidupan yang amat berliku-liku tapi memberi makna dan pelajaran yang nyata. Aku merayu dalam syahdunya kalimat dzikir yang kulantunkan, perlahan air mata ini terus saja mengecoh hatiku. Aku menyeringai menatap masa hadapanku, harusnya aku hadapi semua dengan senyum. Ya, semoga aku tangguh hadapi semua hal yang berlaku. Â
Benar adanya ayah dan ibu menolak permintaan restuku untuk menikah dengan Farhan. Banyak alasan yang melatarbelakangi penolakannya. Aku masih berusia 22 tahun dan farhan 23 tahun. Ditambah dengan pahitnya Farhan belum lulus kuliah.
"Mau makan apa setelah menikah" ujar ayah mendengar pernyataanku.
Aku terdiam, bisu bak lembayung sendu. Merenung dengan yang baru saja aku katakan. Dosakah aku meminta restu mereka? Tidakkan? Sudah sewajarnya anak meminta restu orangtuanya dalam keinginannya.
"Tidak, ayah tidak merestuimu menikah dengan laki-laki yang belum jelas masa depannya!" seru ayah seraya pergi dari hadapanku dengan membanting pintu.
Deg, aku diam. Mataku nanar, nadiku nyeri tak beraturan. Urat syarafku terasa sangat ngilu. Ah...aku terlalu cengeng. Aku merayu ibu, tapi ibu tetap bersikeras seperti ayah. Aku beranjak ke kamar, mengadu pada diaryku. Hanya itu yang mampu kulakukan. Aku belum tangguh menghadapi ujian Allah saat ini. Pikirku demikian.
Keesokan harinya, aku dapatkan raut tak suka melihat dari ayahku padaku. Ku lihat ibu yang serasa memasang raut masam padaku. Ah tak enak sekali untuk kupandang. Aku berlari ke rumah Rasti teman kecilku, lama aku bercerita dengan Rasti. Cukup menenangkan, tapi belum menentramkan perasaan hatiku yang berkecamuk.