Mohon tunggu...
Sitiana Azahra
Sitiana Azahra Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 1 (29)

Pelajar SMAN 28 jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Cahaya Untuk Bumi

30 November 2020   22:28 Diperbarui: 30 November 2020   22:34 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja saat itu angin mengalir lembut. Dedaunan bergoyang mengikuti aliran angin. Awan mulai mengeluarkan hujannya dan membasahi jalan, seakan semesta ikut bersedih dan menangis bersama bumi. 

~~~~~

Kursi-kursi kayu dengan beberapa meja yang tampaknya sudah mulai lenyap dimakan rayap terbengkalai di pojokan rooftop. Terdapat sofa usang tak jauh dari sana yang tampaknya sudah bertahun-tahun tak terpakai. Walau begitu, hanya sofa itulah yang kiranya masih layak pakai, meski sudah tak seempuk sedia kala

Sore itu langit tampak cerah bahkan mulai menampilkan lembayungnya. Angin sepoi-sepoi memanjakan wajah seorang pria yang sedang diam terkulai di sofa usang tersebut. Ia hanyut dalam pikirannya yang penuh sesak oleh hal-hal negatif yang selama ini selalu mengganggunya.

Tampak seorang gadis manis yang sedang duduk di tepian rooftop sembari memandang hiruk pikuk keramaian kota Jakarta. Tak hanya sang pria, ia pun juga sedang menyelami pikirannya yang hanyut entah kemana ia pun tak tahu. 

“Apa alasan kamu berpikir seperti itu?” Mentari berkomentar secara tiba tiba ditengah kesunyian sore itu. “Berpikir apa?” Tanya Bumi. “Ya itu, ingin menghilang dari dunia.”

“Kamu pasti tau alasannya Tar,” Mentari yang mendengar balasan Bumi tapi tidak menemukan jawabannya terlihat kesal dan ia pun menggerutu. “Mana bisa aku tau Bum kalau kamu gak jelasin, kamu pikir aku dukun?” Bumi terkekeh setelah mendengar gerutuan Mentari. 

5 menit sudah terlewatkan, namun tak terlihat ada tanda-tanda sang pria membalas gerutuan gadis tersebut, pun begitu dengan Mentari yang memilih untuk mengunci mulutnya. 

“Aku benci diriku. Kamu tau itu,” Ucap Bumi. 

Hening. Suasana yang semula damai serta diiringi dengan semilir angin, kini mulai terasa ketegangannya. 

“Aku benci sama diriku yang gak bisa nolak permintaan orang. Aku benci diriku yang terlalu takut untuk mengutarakan opini-opiniku hanya karena takut apa yang aku ucapkan tidak akan diterima oleh orang lain," Pria tersebut masih terkulai di sofa usang tersebut, namun terlihat tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Napasnya terlihat memburu.

"Bum…" Cicit Mentari. Mentari cukup tersentak kala ia mendengar apa yang diutarakan oleh pria tersebut. Namun ia tahu, ini belum saatnya ia berbicara. Ia tahu Bumi masih ingin mengeluarkan semua keluh kesahnya. Oleh karena itu, ia memilih untuk diam mendengarkan.

"Aku benci sama diriku yang selalu berpikiran negatif bahkan paling benci sama diriku yang selalu memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan hadir di hidupku.” 

Tubuhnya sudah tak lagi terbaring di sofa, kini ia telah mengubah posisinya menjadi duduk. Ia yang awalnya menahan emosinya, kini mengeluarkan semua emosi yang telah ia pendam. Apa yang selama ini dilihat oleh orang-orang hanya lah topeng yang sedang ia mainkan.

Mentari merasa sedih mendengar tuturan Bumi. Ia memang tahu temannya ini memiliki kesedihan dibalik raut wajahnya yang selalu riang. Namun ia tak tahu semua alasan dibalik kesedihan temannya itu.. 

“Bum, aku pernah cerita kan kalau aku sering dapet pelajaran gitu dari cerita-cerita yang aku baca, terus aku inget sama satu quotes “Life isn’t always like a candy milkshake with cherry on top. But it’s okay if you messed up. You still have worth and you still belong in this world. Don’t ever think otherwise.” Masih ada begitu banyak kepahitan dalam hidup Bum." 

“Tapi aku tuh capek Tar," Bumi yang masih tersulut akan emosinya dengan serta-merta menyahut ucapan sang gadis. "Aku capek harus ngelakuin apa yang temen-temen aku minta, aku gak bisa nolak semua permintaan mereka. Aku selalu merasa gak enak untuk bilang “tidak”. Dan terlebih, aku capek ketika semua hal yang sebenarnya sepele selalu aku pikirin terus-terusan sampe sesak dan penuh dadaku." 

Bumi terus mengeluarkan keluh kesahnya. Ia tampak kacau. Raut wajahnya menampilkan kekesalan dan tubuhnya kian bergetar. Nyatanya ia sedang menahan tangisnya. 

Angin mengalir lembut di sekitar mereka, menerpa wajah-wajah yang penuh akan kegelisahan dan kesedihan. Akan tetapi, semilir angin tersebut tak cukup untuk menenangkan perasaan-perasaan mereka yang mulai kalut.

“Bum..” Mentari memanggil. Mungkin Bumi terlalu hanyut dengan suasana hingga ia tak menyadari dengan sekitarnya. Mentari telah mengubah posisinya menghadap Bumi dan memindahkan seluruh atensinya kepada pria itu.

"Iya..” Bumi membalas. Ia merasa tidak enak hati tanpa sadar telah meninggikan suaranya. Ia tak bermaksud, namun apalah daya kita ketika semua emosi telah merasuki tubuh kita. “Bum, aku tahu kamu sedih. Aku tahu kamu lelah. Tapi Bum, jangan sampai perasaan gak enak kamu itu ngebunuh diri kamu sendiri, baik secara fisik maupun mental."

Suasana di rooftop tersebut kian menegang. Tak ada yang berani untuk membuka mulutnya. Keduanya sibuk terhanyut dalam pikiran mereka yang penuh sesak. 

"Dunia itu gak akan berhenti, dia akan selalu berputar bahkan setelah kamu mengira bahwa duniamu itu telah berhenti dan tidak bisa lagi berputar,” Mentari terus berkata sembari memandang Bumi yang sesekali mengalihkan atensinya kemana saja asal tidak bertatapan langsung dengan manik cantik milik sang gadis.

Kusut. Itu lah gambaran isi pikiran Bumi saat ini. Semua ucapan dari Mentari bercampur aduk dengan pikiran-pikiran negatifnya yang mana kini telah menghancurkan kepalanya. Tak jauh berbeda dengannya, Mentari yang sedari tadi memilih untuk tenang, tetap saja relung hatinya menyatakan bahwa ia sama sekali kehilangan komposurnya. Resah, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan keduanya. 

"Bum tau kan aku punya bucket list ku yang dipajang di dinding?" Mentari mencoba mencairkan suasana yang sedikit berat nan sedih ini. Ia tidak ingin semuanya menjadi kalut dan terlalu hanyut dalam pikiran-pikiran yang entah isinya apa karena terlalu banyaknya yang masuk ke dalam otak. 

"Iya, inget," Balas Bumi yang balik kembali terkulai di sofa. Mentari pun memindahkan atensinya ke langit. Angin bertiup kencang, dingin. Setidaknya, angin telah membawa pergi ketegangan yang semulanya menyelimuti mereka.

~~~~

"Bum liat deh Tari abis bikin bucket list. Nanti mau dipajang di dinding deket meja belajar Tari," Mentari dengan semangat memberitahu temannya akan apa yang telah membuatnya senang. 

Bumi yang mendengar namanya dipanggil, menolehkan kepalanya menghadap asal suara. Ia yang juga ingin tahu, mengarahkan kakinya menuju sang gadis. 

"Nih liat, ada 10 list. Tari bacain ya..." Ucap Mentari dengan semangat. 

"Okay," Balas Bumi. "Aku bacainnya dari bawah aja ya," Ucap Mentari yang dibalas dengan anggukan kepala dari sang pria. "Aku mau lulus SNMPTN, lalu masuk fakultas teknik U–” "Aku yakin Tari bisa dapet itu," Bumi menginterupsi omongan Mentari. “Sstt! kan belum selesai ngomong." Bumi terkekeh mendengar omelan Mentari. 

"Hahaha yaudah iya deh lanjut." "Terus Tari pengen lulus dengan gelar Summa Cum Laude. Abis lulus Tari mau lanjut ke Stanford University School of Engineering dan dapetin gelar Master Degree– ngarep banget ya aku hahaha." Bumi tertawa gemas mendengar tuturan dari sang gadis. 

"Setelah lulus, Tari mau langsung cari kerja biar dapet uang bany–“ " "Biar apa sih dapet uang banyak," Lagi-lagi Bumi menyela omongan Mentari. “Bum jangan disela terus dong!” Omel Mentari. 

"Aku kan pengen jalan-jalan, makanya harus kerja biar dapet uang banyak." "Emangnya kamu mau kemana?" Tanya Bumi. "Nah itu lanjutannya, makanya dengerin dulu aku ngomong jangan diinterupsi terus," Gerutu Mentari yang sedari tadi disela oleh Bumi. 

"Kalau aku udah dapet uang banyak, aku mau jalan-jalan ke Spanyol– MAU KE GRANADA. Selain itu, aku mau ke Phuket. Aku juga mau nginep di Rusutsu Resort Japan– TARI MAU MAIN SKI." Mentari sangat antusias sekali kalau sudah membahas mengenai liburan. Sedari tadi Bumi hanya terkekeh dan tersenyum lebar mendengarkan antusiasme gadis itu.

"Emang bisa main ski?" Tanya Bumi yang diselipi nada ejekan di dalamnya. "Ya kan… diajarin dulu, makanya ayo Bum ikut. Nanti kamu yang ajarin Tari ya ya ya," Pinta Mentari dengan wajah memohonnya seperti anak kecil yang meminta es krim kepada ibunya. 

"Lalu Tari mau ke Zermatt, mau ke Matterhorn Glacier Paradise sama nanti beli Matterhorn Snow Globe yang banyak. Mau aku bagi-bagiin Snow Globenya. Sama yang terakhir, Tari mau liburan di Swedia selama satu bulan," Jarinya tak luput membentuk angka satu. Semangat sekali gadis ini sedari tadi membicarakan mengenai keinginannya bepergian ke luar negri. 

"Lama banget satu bulan, mau ngapain aja sih emang?" Bumi mengerutkan alisnya kala mendengar temannya ingin pergi selama satu bulan di negri orang. "Biarin, malah tadinya aku mau tinggal di sana tapi kayaknya gak bakal mungkin sih." Bumi hanya menganggukan kepalanya.

~~~~~

"Bucket list aku udah ke isi beberapa dan aku masih ingin ngelanjutinnya. Aku masih ingin ngerasain yang namanya sibuk-sibuk skripsian terus wisuda abis itu cari kerja," 

"Masih banyak yang ingin aku lakuin. Walau pastinya ada pahit-pahitnya, tapi aku masih ingin ngelanjutin hidup ku."

Ada sekitar 20 menit terlewat tak terdengar suara apapun. Sunyi. Keduanya sedang asyik memandangi langit yang menampilkan semburat jingga dengan pikiran masing-masing yang entah hanyut kemana. 

Mentari menurunkan tubuhnya dari tepian rooftop, kini ia berdiri sembari membersihkan bajunya yang terkena debu. Bumi yang melihat tersebut mengerutkan alisnya. "Mau kemana?" Tanya sang pria sambil mendudukan tubuhnya. 

Mentari tak menjawab, ia terus melangkahkan kakinya mengitari rooftop tersebut. Seketika Mentari terdiam. "AAAAAAA" Teriak Mentari sembari merentangkan tangannya. "Kamu ngapain?" Tanya Bumi. "Aku lagi merekam semuanya di otakku," Balas Mentari sembari memandang sekitaran mereka sekali lagi.

“Jalan kamu masih panjang Bum. Dunia itu indah. Masih banyak hal yang bisa kamu lakuin. Masih ada keluarga kamu yang nunggu kamu untuk sukses dan bahagia. Waktuku sudah habis.” Bumi yang jaraknya tak jauh dari sana menolehkan kepalanya dengan cepat. Ia dibuat terheran dengan sikap Mentari yang mulai aneh pikirnya.

“Apaan sih,” Gerutu Bumi. “Mataharinya maksudku hehe. Liat tuh udah mau tenggelem.” Balas Mentari sembari terkekeh melihat Bumi yang menampakkan wajah tak sukanya. 

"Bum, aku boleh minta peluk?" Pinta Mentari yang dibalas dengan anggukan dan dekapan oleh Bumi. Mentari mendekap Bumi dengan erat. Keduanya mengulum senyum yang tulus adanya. Saling mengusap punggung masing-masing, memberi kekuatan untuk satu sama lain. 

"Makasih banyak Bumi,” Ucap Mentari tiba-tiba sambil terkekeh. "Yaudah yuk pulang udah sore juga," Ajak Bumi kepada Mentari.

Sunyi, tak ada percakapan sama sekali selama mereka menuruni anak tangga sampai keluar dari gedung itu yang ternyata adalah sebuah cafe & bakery, Nay's Cafe & Bakery. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. 

Keduanya berjalan beriringan sampai di parkiran dan saling memakaikan helm ke kepala satu sama lain. Tepat matahari terbenam di ufuk barat, mereka keluar meninggalkan tempat bersejarah bagi mereka. 

~~~~~

Selamat tinggal Bumi. Teruslah berjalan.

Rasanya secepat berkedip. Bumi menemukan dirinya mengerjap lalu menyipitkan mata karena ruangan yang begitu silau. Entah mengpa hatinya terasa sedih dan hampa. Orangtuanya yang melihat, berteriak dan menangis haru. Kakaknya segera memanggil petugas medis dan tak lama masuk untuk memeriksa kondisinya.

Tepat pukul sepuluh malam, Bumi terbangun dari komanya setelah 2 minggu mengalami masa kritis. Tanpa sepengetahuan mereka semua di ruangan itu, di sebuah kamar yang tak jauh dari sana terdengar teriakan histeris nan pilu yang berasal dari seorang ibu yang kehilangan putrinya. Mentari. 

Bumi yang mulai sadarkan diri belum dapat bergerak banyak. Tubuhnya masih terasa sakit, begitu pula kedua kakinya yang mati rasa. Teringat akan ucapan Mentari yang menyuruhnya untuk terus berjalan. Sampai jumpa Mentari, aku akan terus berjalan. Terang Pulangmu. Ucap Bumi dalam hati.

Ia berjanji kepada dirinya. Ia akan terus berjalan dan melanjutkan hidupnya. Tak ada lagi pemikiran-pemikiran mengenai ingin mengakhiri hidup. Ia akan terus berjuang karena ia yakin, akan ada seseorang yang selalu mendukungnya walau dari atas. 

Bumi berjanji, akan terus melanjutkan hidup dan menggapai cita-cita. Untuknya dan juga Mentari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun