Mohon tunggu...
Sitiana Azahra
Sitiana Azahra Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 1 (29)

Pelajar SMAN 28 jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Cahaya Untuk Bumi

30 November 2020   22:28 Diperbarui: 30 November 2020   22:34 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bum…" Cicit Mentari. Mentari cukup tersentak kala ia mendengar apa yang diutarakan oleh pria tersebut. Namun ia tahu, ini belum saatnya ia berbicara. Ia tahu Bumi masih ingin mengeluarkan semua keluh kesahnya. Oleh karena itu, ia memilih untuk diam mendengarkan.

"Aku benci sama diriku yang selalu berpikiran negatif bahkan paling benci sama diriku yang selalu memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan hadir di hidupku.” 

Tubuhnya sudah tak lagi terbaring di sofa, kini ia telah mengubah posisinya menjadi duduk. Ia yang awalnya menahan emosinya, kini mengeluarkan semua emosi yang telah ia pendam. Apa yang selama ini dilihat oleh orang-orang hanya lah topeng yang sedang ia mainkan.

Mentari merasa sedih mendengar tuturan Bumi. Ia memang tahu temannya ini memiliki kesedihan dibalik raut wajahnya yang selalu riang. Namun ia tak tahu semua alasan dibalik kesedihan temannya itu.. 

“Bum, aku pernah cerita kan kalau aku sering dapet pelajaran gitu dari cerita-cerita yang aku baca, terus aku inget sama satu quotes “Life isn’t always like a candy milkshake with cherry on top. But it’s okay if you messed up. You still have worth and you still belong in this world. Don’t ever think otherwise.” Masih ada begitu banyak kepahitan dalam hidup Bum." 

“Tapi aku tuh capek Tar," Bumi yang masih tersulut akan emosinya dengan serta-merta menyahut ucapan sang gadis. "Aku capek harus ngelakuin apa yang temen-temen aku minta, aku gak bisa nolak semua permintaan mereka. Aku selalu merasa gak enak untuk bilang “tidak”. Dan terlebih, aku capek ketika semua hal yang sebenarnya sepele selalu aku pikirin terus-terusan sampe sesak dan penuh dadaku." 

Bumi terus mengeluarkan keluh kesahnya. Ia tampak kacau. Raut wajahnya menampilkan kekesalan dan tubuhnya kian bergetar. Nyatanya ia sedang menahan tangisnya. 

Angin mengalir lembut di sekitar mereka, menerpa wajah-wajah yang penuh akan kegelisahan dan kesedihan. Akan tetapi, semilir angin tersebut tak cukup untuk menenangkan perasaan-perasaan mereka yang mulai kalut.

“Bum..” Mentari memanggil. Mungkin Bumi terlalu hanyut dengan suasana hingga ia tak menyadari dengan sekitarnya. Mentari telah mengubah posisinya menghadap Bumi dan memindahkan seluruh atensinya kepada pria itu.

"Iya..” Bumi membalas. Ia merasa tidak enak hati tanpa sadar telah meninggikan suaranya. Ia tak bermaksud, namun apalah daya kita ketika semua emosi telah merasuki tubuh kita. “Bum, aku tahu kamu sedih. Aku tahu kamu lelah. Tapi Bum, jangan sampai perasaan gak enak kamu itu ngebunuh diri kamu sendiri, baik secara fisik maupun mental."

Suasana di rooftop tersebut kian menegang. Tak ada yang berani untuk membuka mulutnya. Keduanya sibuk terhanyut dalam pikiran mereka yang penuh sesak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun