Mohon tunggu...
Nona Kumala
Nona Kumala Mohon Tunggu... Guru - Guru - Penulis

Berharap pada manusia adalah patah hati secara sengaja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Hati Milik Yunda

5 Januari 2024   13:53 Diperbarui: 5 Januari 2024   14:36 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senandung kecil mengiringi langkah perempuan yang mengenakan jilbab abu-abu dengan gamis berwarna hitam polos itu. Sesekali ia berhenti dan menyapa orang yang berpapasan dengannya. Ia tersenyum lebar ketika tujuannya hampir tiba, ia menatap bangunan berwarna cokelat muda yang telah menjadi tempat tinggalnya lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kakinya terhenti tepat di depan pintu, tangannya terangkat hendak mengetuk. Namun, gerakan itu ditahan sesaat.

"Terserah kamu! Pikirkan apa pun yang ingin kamu pikirkan!"

Sayup-sayup ia mendengar percekcokan dari dalam. Jelas ia hapal, itu suara paman dan bibinya. Sejauh yang pernah dilihat dan didengar, jarang sekali ia mendengar keduanya berargumen. Keluarga itu dikenal sebagai keluarga paling harmonis di kampung tersebut.

Beberapa menit berlalu, suasana pun berubah sepi. Gadis itu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak ada yang menyahut. Ia kemudian memutar knop pintu dan menyembulkan kepala ke dalam. Benar-benar tak ada siapa pun.

"Kak Yunda!?" Sebuah teriakan terdengar dari luar. Gadis yang merasa namanya dipanggil pun bergegas membuka pintu.

"Ah, benar, Kak Yunda sudah pulang."

Yunda tak langsung menyahut, ia masih memikirkan apa yang didengar tadi. "Erik."

Lelaki itu melepaskan jaket kulit hitam dari tubuhnya dan menoleh pada Yunda. Ia tak bersuara, tetapi menggerakkan alis sebagai respons.

"Kamu pernah dengar paman dan bibi bertengkar nggak?" Pertanyaan itu sontak membuat Erik melotot.

"Apaan sih, pertanyaan kakak nggak jelas banget." Lelaki itu masuk ke ruang tamu dan menghempaskan jaketnya di atas sofa. Ia kemudian berjalan ke belakang, minum dan menaiki tangga menuju lantai atas.

Yunda sendiri tak bisa menafsirkan apa yang ada di pikiran Erik. Ia menghela napas panjang dan memilih duduk di sofa sambil merengkuh jaket Erik tanpa sadar.

Gadis penasaran itu benar-benar tak tenang. Ia kembali bangkit dan berjalan bolak-balik dengan tangan di bawah dagu.

"Apa yang kamu lakukan, Nduk? Dari tadi paman perhatikan kamu sibuk memikirkan sesuatu. Apa ada hal yang mengganggumu?"

Yunda tersentak dan menoleh ke arah tangga, yang mana sang paman berdiri dengan senyuman tipis. Pria yang selama bertahun-tahun ini telah dianggap seperti ayah kandungnya sendiri. Paman Ruslilah, yang telah mengasuhnya sejak kedua orang tua Yunda meninggal dunia.

Yunda terdiam hingga Rusli sudah tiba di lantai bawah, pria itu duduk di sofa dan meminta agar Yunda juga duduk di sampingnya.

"Berapa umur kamu sekarang?"

Yunda tampak berpikir lalu menyahut, "Tahun ini dua puluh empat. Kenapa, Paman?"

Rusli mengganggukkan kepala pelan. "Kamu udah dewasa sekarang."

"Yunda sudah dewasa sejak tujuh tahun yang lalu paman. Apa Paman nggak sadar?" Yunda berkata diiringi nada candaan. Rusli mengembangkan senyuman. Senyuman yang Yunda tak pernah lihat. Pria itu seolah tengah memendam sesuatu yang berat. Namun, gadis itu mencoba menahan diri agar tidak bertanya hal lainnya, ia khawatir pada pamannya.

"Ayah, apa yang terjadi? Kenapa ibu mau pergi!?" Suara Erik terdengar panik.

Baik Rusli maupun Yunda langsung bangkit dan kaget. Erik dengan tatapan yang berkaca-kaca menarik tangan dan menatap sang ayah.

Tubuh Yunda bergetar hebat, ia kembali mengingat pertengkaran antara paman dan bibinya tadi. "A-a-apa yang terjadi, Paman?"

Erik menoleh sekilas ke Yunda lalu kembali memaksa ayahnya berbicara apa yang terjadi di antara mereka. Rusli tak mengeluarkan suara apa pun, tatapannya kosong. Hingga suara langkah menuruni tangga membuat ketiganya menoleh.

Rita, ibu Erik turun dengan koper dan sebuah tas selempang di bahunya. Tatapan wanita itu tertuju pada Yunda, membuat gadis itu merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya.

"Bu, jangan pergi ke mana pun. Kenapa Ibu tiba-tiba bersikap seperti ini?" Erik beralih memegang tangan Rita, memohon agar sang ibu tetap di tempat.

"Untuk apa ibu di sini, toh nggak ada yang membutuhkan ibu? Kalian bisa hidup tanpa ibu, lalu kenapa ibu harus di sini?" Desak tangis pun terdengar.

Erik menggelengkan kepala dan memeluk Rita erat. "Nggak, Bu. Kami nggak bisa hidup tanpa Ibu. Kami sayang sama Ibu."

Rita menggelengkan kepala. Ia melepaskan pelukan sang anak.

"Katakan apa yang kamu inginkan, akan kusetujui. Kecuali mengusir Yunda dari rumah ini." Suara Rusli terdengar bergetar. Sontak wajah Yunda menjadi bahan pandangan semua.

Yunda tak bisa berkata-kata, tatapan sayu yang dimiliki sama seperti orang yang telah kehilangan setengah jiwanya.

Rita meletakkan koper dan menarik napas panjang. Ia menatap suami dan anaknya bergantian. Kedua lelaki itu tampak menunggu. Wanita itu jelas tahu jika mereka sangat menyayangi Yunda.

"Nikahkan saja gadis itu, agar dia punya seseorang yang menjaganya. Jadi, dia nggak perlu jadi beban di keluarga kita lagi."

Rusli terdiam, seolah sudah tahu sejak awal itu yang akan dikatakan sang istri, sedangkan Erik menggelengkan kepala, tak terima dengan apa yang baru diucapkan Rita.

"Bu-"

"Baik. Aku akan carikan calon suami untuk Yunda." Ucapan Erik dipotong oleh sang ayah. Matanya terbelalak setelah mendengar yang lebih mengejutkan. Rusli bergegas meninggalkan ruang tamu, menaiki tangga dengan langkah yang terdengar menusuk hingga ke ulu hati.

Yunda yang berdiri bagai patung sejak tadi pun mulai menggerakkan kakinya menuju kamar. Suara Erik yang memanggilnya beberapa kali tak lagi sanggup menembus gendang telinga yang telah tertutup oleh kabut kekecewaan.

Gadis itu mengunci pintu kamar dari dalam, tubuhnya merosot hingga terduduk di lantai. Perlahan cairan bening yang telah ditahan sejak tadi runtuh, mengalir deras membasahi pipi hingga jilbabnya.

Tangan Yunda terkepal pelan, dadanya naik turun karena isakan yang ditahan agar tak mengeluarkan suara. Ia tergolek di lantai dan meringkukkan tubuh hingga membentuk huruf C.

Tak ada kata yang bisa diutarakan untuk menyampaikan betapa ia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Gadis itu merasa ialah menjadi penyebab kekacauan yang terjadi antara paman dan bibinya. Apakah ini pertama kali mereka bertengkar? Mungkin saja tidak, dan semua itu terjadi karena dirinya.

Ia sadar diri selama ini telah menumpang hidup. Namun, perihal pernikahan Yunda sama sekali tak pernah memikirkan bahkan setitik pun. Selama ini ia hidup bergantung pada kasih sayang pamannya, lalu kelak apakah ia masih bisa hidup tanpanya?

"Kak Yunda? Buka pintunya, Kak!" Suara Erik terdengar dari luar.

Yunda mengusap kedua mata, duduk, dan merapikan pakaiannya. Ia berdiri dan hendak membuka pintu. Akan tetapi, lagi-lagi batinnya terluka setelah mendengat perkataan sang bibi dari arah yang sama dengan Erik.

"Ngapain sih kamu urusin dia? Dia itu cuma benalu yang numpang hidup sama kita. Harusnya kamu senang, sebentar lagi dia pergi dari rumah ini. Semua fasilitas jadi milik kamu sepenuhnya, nggak lagi berbagi sama dia."

"Bu." Setelah itu suara Erik pun tak lagi terdengar. Tubuh Yunda semakin lemas, ia kembali duduk dan menutup mata dengan telapak tangannya. Air mata kembali mengalir deras.

"Aku memang cuma benalu di keluarga ini, harusnya aku sadar diri."

NK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun