"Bu-"
"Baik. Aku akan carikan calon suami untuk Yunda." Ucapan Erik dipotong oleh sang ayah. Matanya terbelalak setelah mendengar yang lebih mengejutkan. Rusli bergegas meninggalkan ruang tamu, menaiki tangga dengan langkah yang terdengar menusuk hingga ke ulu hati.
Yunda yang berdiri bagai patung sejak tadi pun mulai menggerakkan kakinya menuju kamar. Suara Erik yang memanggilnya beberapa kali tak lagi sanggup menembus gendang telinga yang telah tertutup oleh kabut kekecewaan.
Gadis itu mengunci pintu kamar dari dalam, tubuhnya merosot hingga terduduk di lantai. Perlahan cairan bening yang telah ditahan sejak tadi runtuh, mengalir deras membasahi pipi hingga jilbabnya.
Tangan Yunda terkepal pelan, dadanya naik turun karena isakan yang ditahan agar tak mengeluarkan suara. Ia tergolek di lantai dan meringkukkan tubuh hingga membentuk huruf C.
Tak ada kata yang bisa diutarakan untuk menyampaikan betapa ia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Gadis itu merasa ialah menjadi penyebab kekacauan yang terjadi antara paman dan bibinya. Apakah ini pertama kali mereka bertengkar? Mungkin saja tidak, dan semua itu terjadi karena dirinya.
Ia sadar diri selama ini telah menumpang hidup. Namun, perihal pernikahan Yunda sama sekali tak pernah memikirkan bahkan setitik pun. Selama ini ia hidup bergantung pada kasih sayang pamannya, lalu kelak apakah ia masih bisa hidup tanpanya?
"Kak Yunda? Buka pintunya, Kak!" Suara Erik terdengar dari luar.
Yunda mengusap kedua mata, duduk, dan merapikan pakaiannya. Ia berdiri dan hendak membuka pintu. Akan tetapi, lagi-lagi batinnya terluka setelah mendengat perkataan sang bibi dari arah yang sama dengan Erik.
"Ngapain sih kamu urusin dia? Dia itu cuma benalu yang numpang hidup sama kita. Harusnya kamu senang, sebentar lagi dia pergi dari rumah ini. Semua fasilitas jadi milik kamu sepenuhnya, nggak lagi berbagi sama dia."
"Bu." Setelah itu suara Erik pun tak lagi terdengar. Tubuh Yunda semakin lemas, ia kembali duduk dan menutup mata dengan telapak tangannya. Air mata kembali mengalir deras.