Karakter
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak.
Karakter selalu melekat dengan tokoh. Karakter dan tokoh juga tidak bisa dilepas meski dalam sekali embusan napas. Tanpa adanya karakter, tokoh tidak akan bisa bergerak, tidak akan hidup, tidak akan punya peran penting dalam pengembangan cerita.
Tokoh atau karakter menjadi daya tarik utama dalam cerita. Sebagai fondasi, tokoh atau karakter harus terkonsep dengan baik. Banyak cara untuk menyusun tokoh atau karakter yang baik. Tapi, yang menjadi masalah lain adalah banyak pengarang yang sulit menghidupkan karakter tokoh. Lantas bagaimana?
Salah satu trik agar tokoh terlihat hidup adalah dengan membuat reader's engagement.
Apa itu reader's engagement?
Sederhananya, reader's engagement adalah perasaan yang ditimbulkan pembaca saat tahu tokoh dalam ceritanya itu seperti cerminan dirinya sendiri.
Contohnya setelah membaca cerita tentang Aksara Cinta, saya merasa "Wow, tokoh Jannah kok mirip aku, sih?"Â
Atau "Eh, cerita Dikta dan Hukum, cowoknya persis kek mantan aku." Dan sebagainya.
Kalau pembaca memberikan respons seperti itu, artinya secara tidak langsung kita sudah berhasil membuat karakter kita hidup.Â
Lalu pertanyaannya, bagaimana sih caranya untuk membuat karakter yang seperti itu?
1. Tentukan Tujuan Tokoh
Setiap tokoh protagonis pasti memiliki tujuan utama. Tujuan utama inilah yang akan mendorong tokoh protagonis untuk bergerak maju mengikuti alur cerita sampai akhir kisah. Tujuan utama setiap tokoh protagonis haruslah kuat.
Cara agar mengetahui tujuan utama tersebut kuat atau tidak, penulis/pengarang harus mempertanyakan beberapa hal kepada tokoh protagonis. Apabila masih ada sesuatu yang membuat tokoh protagonis ragu, tujuan tersebut bukanlah tujuan utama.
Contoh : Dalam novel Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Pada novel itu tokoh protagonis, Emina, menemukan beberapa bunga dan balon perak tanpa pengirim di balkon apartemennya. Emina mulai penasaran dan mencari tahu siapa pengirim balon-balon itu dan apa motifnya.
Dari situ kita tahu tujuan tokoh utama yaitu mencari tahu siapa pengirim balon-balon, tentu kita bisa mengetahui karakternya di sana. Kita bisa menghidupkan karakter hanya dari tujuannya.
2. Membuat Topeng
Ini yang sering kita lakukan. Topeng artinya sesuatu yang melekat pada tokoh. Bisa bentuk fisik ataupun sikap tokoh. Cara membuat topeng tokoh sangat gampang.Â
a. Fisiologis (Bentuk fisik tokoh)
Langkah awal untuk membuat tokoh yaitu mengetahui bentuk fisik, bentuk yang bisa dilihat orang lain atau dirasakan oleh pancaindra.Â
 Contohnya seperti bentuk hidung, bentuk mata, bentuk rahang, cara berjalan, kebiasaan fisik seperti sering mengedipkan mata atau lainnya.
b. Psikologis (sikap tokoh)
Psikologis maksudnya sikap tokoh dalam melakukan suatu tindakan.Â
Setelah kita mengetahui bentuk fisiknya, kira harus mulai menggali sikap tokoh buatan kita.Â
Contoh: apakah saat marah dia akan melakukan tindakan membahayakan dirinya sendiri? Apakah ketika sedih dia akan menjauhi orang-orang di sekelilingnya? Dan sebagainya.
Usahakan kita tahu sikap tokoh sampai ke dalam-dalamnya. Tapi perlu juga diingat bahwa untuk membuat sikap tokoh kita perlu membaginya menjadi dua hal, yaitu kelebihan dan kekurangan. Sama seperti manusia sebenarnya, yang baik ada kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan tokoh cerita kita.
Kelebihan dan kekurangan itu kita bebas untuk menentukan.Â
Contohnya tokoh utamanya tidak bisa berenang, tapi sangat mahir memanjat tebing.
c. Sosiologis
Sosiologis artinya keadaan atau lingkungan tokoh.Â
Kita harus membuat lingkup pergaulan tokoh di mana saja apa saja yang mempengaruhinya.
Contohnya ada tokoh yang sering merokok di sekolah. Kemungkinan besar dia dipengaruhi oleh teman-temannya sekolahnya juga.Â
Contoh dalam novel Like Water for Chocolate karya Laura Esquivel. Pada novel itu ada tradisi unik di mana anak bungsu bergender perempuan harus mengasuh ibunya sampai meninggal (keadaan sosiologis). Di situ, sang tokoh protagonis bernama Tita memiliki sifat yang penurut (keadaan psikologis) sehingga cerita dapat bergerak.
 3. Tokoh Diberi Hasrat dan PemicuÂ
Hasrat merupakan hal penting dalam membuat tokoh. Tanpa adanya hasrat, bagaimana tokoh akan bergerak?
Sederhananya, hasrat itu keinginan tokoh untuk melakukan sesuatu.Â
Jadi perpindahan plot ke plot lain itu bisa terjadi karena hasrat. Biasanya tanpa sadar kita sudah memasukkan hasrat pada tokohnya sehingga cerita bergerak.
Setiap tokoh protagonis pasti memiliki hasrat dan pemicu. Hasrat adalah keinginan sedangkan pemicu terjadi karena hasrat. Hasrat dan pemicu saling bergandengan. Ada hasrat, pasti ada pemicu.
Contoh dalam novel Holy Mother karya Akiyoshi Rikako.
Pada novel itu, salah satu tokoh bernama Honami ingin menjaga buah hatinya dari suatu kasus sadis yang ada di sekitar lingkungan hidupnya. Karena tujuan Honami itulah mulai muncul hasrat-hasrat yang membuat cerita bergerak.Â
Contoh hasrat : Honami ingin membuat para detektif segera memenjarakan dalang di balik kasus sadis yang menimpa Kota Aiide. Dari situ muncul ada pemicu yang membuat Honami semakin gigih menuruti hasratnya, ketika para detektif tidak memercayai apa yang disampaikannya.
Nah, pergerakan seperti ini tanpa sadar sering kita gunakan. Bisa dikatakan kausalitas juga. Semakin banyak hasrat dan pemicu yang ditimbulkan, cerita akan semakin mudah untuk bergerak.
Tips Menghidupkan Karakter
1. Gunakan gejala fisik yang dialami tokoh
Emosi memacu reaksi fisik. Ini dapat membantu pembaca untuk melihat perasaan tokoh; jantung berdebar, jemari membeku dan mati rasa, telapak tangan berkeringat, dan sebagainya.Â
Contohnya: mereka tertawa terbahak-bahak melihatnya dan dia berpaling dengan wajah yang seperti terbakar dan jemari yang sedingin es.Â
Hindari menulis seperti ini: dia berpaling, wajahnya memerah karena malu.
2. Gunakan pikiran atau dialog
Emosi dapat memacu respons mental maupun verbal. Seperti komentar "dasar berengsek" yang diucapkan dengan volume suara pelan dan cepat dapat menimbulkan emosi yang sama dengan mengerutkan kening, dan terasa lebih natural.
Misal:Â Dasar berengsek! "Permisi, tadi bilang apa?"
Bandingkan: Dia mengerutkan kening karena laki-laki itu sangat berengsek.
3. Gunakan subteks
Seringkali, apa yang tidak diucapkan oleh karakter malah lebih memperlihatkan apa yang terjadi. Saat keadaan mendesak yang berkontradiksi dengan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan bisa memperlihatkan berlapis-lapis emosi.
Subteks juga dapat menambahkan konflik dalam sebuah adegan dan membantu menaikkan ketegangan. Contoh: "tentu saja kau boleh tinggal," katanya sambil menyobek-nyobek tisu di tangannya menjadi potongan-potongan kecil.Â
Bandingkan: Dia tidak menjawab, walaupun dirinya tahu John ingin dia mengatakan iya.
4. Gunakan indra eksternal
Emosi yang tinggi juga dapat meningkatkan indra, jadi persepsi bisa menjadi lebih kuat. Ketakutan bisa menimbulkan kewaspadaan berlebih, dan cinta bisa membuat hal-hal lebih sensual. Ketakutan sering kali diperlihatkan dengan bagaimana perut atau tenggorokan bereaksi. Tapi bagaimana dengan suara atau aroma? Kamu bisa menunjukkannya dengan telinga berdenging, atau sesuatu terdengar jauh dan teredam. Aroma juga bisa memicu jenis emosi yang ingin kamu perlihatkan.
Contoh: Ia tak hanya mendengar suara langkah di belakangnya---bau minyak wangi murah, bir yang sudah basi, dan keputusasaan yang merayap semakin dekat, menambah rasa jerinya. Dia mempercepat langkahnya.
Bandingkan: Rasa takut membuatnya mempercepat langkah. seseorang mengikutinya.
***
Sekian untuk kali ini, selamat membaca dan sampai jumpa kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H