Nyanyian kecil dilantunkan, sesekali sudut bibirnya terangkat. Gadis mungil nan cantik itu memang seperti itu. Hobby bernyanyi dengan senyum manis yang tak pernah luntur. Gadis ceria.
"Disa, beliin gula di Indomaret dulu sana!" titah Rinku, kakaknya.
"Asiap!" seru Disa langsung bergegas.
Jarak rumah mereka ke Indomaret tidak jauh, hanya dua puluh meter. Jadi, tak perlu repot naik kendaraan. Apalagi Disa yang sama sekali tak bisa mengendarai motor atau mobil.
Tak butuh lama untuk mencari gula, Disa akhirnya keluar dari tempat itu. Berjalan pelan tanpa melirik kiri-kanan, hingga di pertengahan jalan gadis itu berhenti. Dengan kepala menunduk, ia membongkar belanjaan, merasa ada yang kurang. Padahal tadi sudah yakin harga gula dan kembalian sesuai.
"Sepertinya kembaliannya kurang, deh." Karena pandangan yang belum kunjung teralih, Disa tidak menyadari dari arah depan sebuah motor melaju tak beraturan. Sepertinya rem blong. Setelah mendengar teriakan, akhirnya Disa mengangkat wajah. Netranya membulat sempurna karena terkejut. Saat motor itu semakin dekat, spontan Disa menutup mata. Pasrah dengan keadaan apapun nanti.
Sebuah tangan dengan kasar menarik gadis itu. Disa yang tak merasakan sakit memberanikan diri untuk melihat siapa penyelamatnya. Pria berkacamata lebar dan tebal itu juga menatapnya.
"Ma-makasih, udah nolongin aku," ucap Disa terbata karena masih syok dengan kejadian tadi.
Pria itu hanya mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Disa. Sontak kejadian itu mengerutkan dahi gadis itu. Kenapa pria itu tampak aneh? Disa menggeleng, menolak berpikiran negatif. Lebih baik segera pulang sebelum sang kakak mengamuk.
Sejak kejadian tadi siang, pikiran Disa terkecoh. Masih penasaran dengan si pria itu. Dia menyesal tidak menanyakan nama atau sekolahnya.ada di mana. Besok-besok jika bertemu, Disa bertekad mengajak kenalan. Kali aja bisa jadi sahabat, dari tampangnya Disa yakin dia orang baik.
Matanya mulai redup, hampir menuju dunia mimpi. Namun, dering ponsel mengganggu kegiatan menyenangkan itu. Dengan malas, tangan mungilnya digerakkan untuk mengambil benda pipih itu. Menaruh di telinga kiri tanpa melihat nama siapa yang tertera.
"Halo, ini sudah malam. Mau istirahat." Tanpa mempedulikan perasaan orang itu, langsung saja Disa menekan akhiri.
***
Bel berbunyi, para siswa mulai memasuki kelas masing-masing. Dengan ceria, Disa masuk. Sapaan demi sapaan didapatkan, termasuk dari sang kekasih, Haikal.
Hubungan mereka masih terbilang muda, baru mencapai satu tahunan. Mereka saling jatuh hati saat bermain basket bersama. Awalnya, Disa memang tidak nyaman, tetapi seiring berjalannya waktu rasa itu kini sudah tumbuh besar.
Bu Renda selaku wali kelas datang dengan seseorang ikut di belakang. Keadaan jadi sedikit ribut saat melihat penampilan siswa baru yang jauh dari tipe teman mereka. Disa hanya diam, mencoba mengingat siapa itu. Seperti pernah melihat, hanya saja lupa ada di mana.
"Anak anak, ini teman baru kita. Perkenalkan dirimu, Nak!"
"Nama saya Rio Dewalangit, pindahan dari-"
Perkenalan terhenti kala tawa Haikal menggelegar, diikuti oleh anak-anak lainnya. Mereka menertawakan nama yang tak sesuai dengan penampilan. Sedangkan Disa hanya diam menatap murid baru itu, ingat bahwa orang itulah yang menyelamatkan dirinya kemarin.
Setelah menggertak anak-anak yang tertawa, Bu Renda mempersilahkan Rio duduk di meja kosong sebelah kiri Disa. Haikal yang berada di sebelah kanan gadis itu menatap sinis, tak suka melihat anak baru itu duduk dekat sang kekasih.
***
Sudah satu jam Disa berdiri di parkiran. Namun, tak ada tanda-tanda Haikal kembali dari kamar mandi. Merasa ada yang tak beres, akhirnya Disa memilih menyusul. Sesampainya di toilet, dia sama sekali tidak menemukan siapa. Sangat sepi.
Disa uring-uringan, berputar ke sana-sini. Rasa takut mulai menghampiri kala cahaya sang bagaskara mulai meredup. Tiba-tiba netra coklat gadis itu tertarik ke gudang. Dengan tergesa kakinya melangkah menuju ruangan itu, tetapi terhenti tepat di depan pintu. Suara ringisan membuat jantungnya bergerak lebih cepat. Meski rasa takut lebih mendominasi, rasa penasaran juga meronta ingin melihat ada apa di dalam.
Tangan kecil itu memutar gagang pintu. Tidak terkunci. Sebuah tangan kekar memaksanya masuk hingga penampakan mengerikan berasal di depan mata. Tubuhnya gemetar dengan napas memburu. Bagaimana mungkin orang yang disayang kini sedang meregang nyawa di sana.
"Kamu ... apakan Haikal?" tanyanya lirih.
"Hanya ingin bermain."
Keterlaluan! Bagaimana mungkin pria itu mengatakan hanya bermain, sedangkan Haikal sudah hampir mati. Wajah Disa panas menahan amarah. Saat akan melangkah tangannya ditahan. Disa menatap penuh kebencian.
"Pulanglah!"
Disa menghempaskan tangan itu dengan kuat, tetapi pria itu kembali menarik dan menggenggam erat dengan satu tangan. Sedangkan tangan satunya membuka kaca mata tebal dan rambut kusutnya. Wajah tampan dengan setuju pesona itu pastinya mampu menghipnotis para gadis. Namun, Disa yang masih dalam kungkungan tangannya itu malah meludah jijik.
"Pengecut! Tidak punya hati nurani! Iblis!" umpat Disa.
Tangannya perih, terasa seperti ada yang mengalir membuat gadis itu melirik. Cutter hijau itu berhasil menyayat lengannya. Susah payah Disa menahan, menaikkan pandangan. Cairan bening mengalir deras di pipi itu.
"Kenapa? Apa salahku?"
Dehaman lelaki itu seolah menandakan dia sedang berpikir. "Kamu tidak salah. Kekasihnya yang jelek itu yang memulai masalah. Lalu kamu datang. Aku menyukaimu saat pertama kali bertemu, tapi ... pisauku nakal ingin menjelajah wajahmu juga," ungkap pria itu dengan seringai.
"Namaku Dewalangit, penguasa kegelapan," tambahnya.
Disa terkekeh kecil. "Kamu pembunuh! Psikopat!" teriak Disa lantang.
Dewa mendekatkan wajahnya ke hadapan Disa, sedangkan tangan menari-nari dengan cutternya. Disa sontak menutup mata saat benda tajam itu menempel di pipi.
Dewa menggores sedikit pipi tirus milik Disa, darah mulai mengalir. Tak sampai di situ, goresan dan sayatan menyebar di setiap sisi wajahnya hingga berubah merah. Darah tumpah ruah membanjiri baju seragam yang dikenakan.
Gerakan Dewa terhenti membuat Disa memberanikan diri membuka mata. Kini rasa geli dan perih menghampiri, pria gila itu menjilat darah yang mengalir di leher. Disa hanya pasrah dengan nasibnya kini, tidak ada guna lagi untuk melawan.
Suara sirene polisi membuat keduanya tersentak, dengan kasar Dewa mendorong tubuh Disa hingga tersungkur. Dia berlari ke pintu belakang untuk menyelamatkan diri, sedangkan Disa semakin lemah dan tak berdaya. Napas yang tersisa hampir habis, tinggal beberapa embus lagi sebelum kemudian mata itu tertutup rapat. Disa kehilangan banyak darah, tak ada yang bisa menolong. Di ujung ruangan Haikal sudah berlalat, terlalu lama didiamkan.
Mereka tidak tahu, polisi tidaklah datang. Suara sirene itu hanya bunyi alarm ponsel Disa yang menandakan sudah maghrib. Hanya Tuhan yang tau, apa besok mereka masih bisa membuka mata atau tidak. Masalah kecil malah menjerumuskan gadis itu ke kejadian yang tragis. Kesalahan kekasihnya merendahkan seorang anak baru yang ternyata psikopat yang bersembunyi di balik tampilan cupunya. Semua terjadi tanpa terduga.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H