Mohon tunggu...
siti rubaiah al adawiyah
siti rubaiah al adawiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

perempuan yang menyukai makanan manis dan hal-hal imut

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi-puisi yang telah lama

7 Januari 2025   16:11 Diperbarui: 7 Januari 2025   16:10 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Payung Hitam Depan Istana

 

seperti katak yang haus akan air

seperti bunga yang rindu dengan mentari

seperti bulan yang menanti malam

seperti itu juga keadilan kami idam-idamkan

meski beratus, beribu, kamis pun

akan senantiasa kami tapaki

dalam diam, ingin kami riuh mengudara

bertabrakan dengan ingin penguasa

yang juga ikut diam karena ingin leluasa

akan kami tagih semua ucap penguasa

yang hanya bersuara demi mendapat suara

entah belasan atau puluhan tahun lagi lamanya

payung hitam kami akan senantiasa berkibar

menaungi bumi yang penuh dengan tanda tanya

kapan, kapan, kapan kiranya

ingin penguasa akan mengalah

mengabulkan ingin kami yang telah lama

tak kunjung terlaksana

...

Pak, apakah kita sudah merdeka?

Kemerdekaan ialah hak segala bangsa

apakah kita juga bangsa yang merdeka itu pak?

hanya karena ketika matahari terbit untuk ke tujuh belas kalinya pada bulan agustus

orang-orang bersorak ramai berteriak merdeka

lantas bagaimana dengan rintihan perut-perut kecil kita pak?

apakah itu juga adalah kemerdekaan?

pak barangkali kita adalah noktah lusuh bagi kemerdekaan bangsa kita

karena mereka yang katanya mewakili kita

tak pernah membuat kita merasa terwakili

pak sampai kini huruf-huruf latin kabur dimata saya

hanya huruf-huruf hijaiyah yang nampak begitu jelas

sebab setiap fajar bapak memaksa untuk saya bisa

sebelum akhirnya kita mengorek gunung sisa-sisa kebahagiaan mereka yang merdeka

pak saya begitu penasaran udara seperti apa yang orang-orang merdeka hirup?

tentu saja bukan aroma busuk seperti yang sering kita hirup

hingga karena terlalu banyak menghirupnya bapak kehabisan nafas

pak katanya orang merdeka nafasnya bisa lebih panjang

karena mereka diberi kenikmatan sebagai orang-orang merdeka

andai saja kita juga orang merdeka pak

pasti bapak masih bisa bernafas sampai detik ini

...

Kuah Kata

kata-kata ia siram dengan kuah kaldu

aromanya menusuk hidung para penguasa

hidung mereka gatal

sehingga tidak berhenti bersin-bersin

singkirkan kuah kaldu ini, singkirkan

mereka berteriak dengan gila

menyerang dengan membabi buta

kuah kaldu semakin mendidih

disiramnya lagi kuah kaldu lebih banyak

meski hanya segelintir orang-orang

 yang menyuapkannya ke mulut

tetapi mereka begitu rakus

tak peduli dengan konco-konco penguasa

 yang mengintip dari balik panci

mereka juga tak mau kalah gila

kuah kaldu menjadi amunisi

untuk menggulingkan ketidakadilan yang merajalela

negara ini terlalu porak poranda

maka kita butuh lebih banyak lagi kuah kaldu yang gurih,

segurih perlawanan

dan pada akhir suapan,

kita dihilangkan

tanpa sempat berpamit

pada orang-orang tercinta

...

Perempuan Yang Tak Ingin Lupa

\1\

Ia kehilangan putra tercinta,

yang gugur demi membela

air matanya segera diusap

tirai-tirai duka segera ia tutup

\2\

Ia bertanya dan terus bertanya

adakah secuil keadilan baginya?

\3\

Kesadaran menelusup pada sukmanya

puing-puing kaca hitam berceceran

di negerinya

\4\

Ketidakberdayaan adalah hal terkutuk

maka dilibasnya lara yang masih tercucuk

\5\

Setiap kamis ia suarakan perjuangan dengan syahdu

digandengnya mereka yang juga senasib

kata lelah tak akan bersinggah pada hatinya

putranya adalah cinta yang harus senantiasa tidak dilupa

 

...

Kisah Wawan

 

burung gagak menyurati lima ksatria

ksatria pertama ialah yang paling didahulukan

ia mengadu pada sang ibunda

benang-benang kecemasan dijahit dengan begitu kuat di hati

                                                                                                           

pada suatu malam, ia bermimpi: "ada sebuah kain ajaib yang tak akan membuatnya gugur"

segera ia mengadu lagi pada sang ibunda

tanpa ragu diberikannya 200 koin emas dari saku

meski ia hanya meminta 150 saja

alangkah malang, rupanya kain ajaib belum sempat dewa jahitkan

terpaksa ia menukar dengan kain seharga 200 koin emas

ia pergi dengan api yang menyala-nyala di dalam dada

genderang perang ditabuh

riuh, bergolak, satu per satu berguguran

sampai ketika ksatria melihat kawannya tergeletak

timah panas menembus, cairan merah mengalir deras

dikibarkannya bendera putih

tetapi, gagak hitam sejak semula sudah menyurati

pada jantungnya, tibalah juga timah panas yang menuntun nyawanya pergi

sang ibunda menunggu dengan gelisah

didapatinya sepucuk surat dari burung gagak

sayur asam dan empal menangis, sang ksatria tak sempat menyentuh mereka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun