Payung Hitam Depan Istana
Â
seperti katak yang haus akan air
seperti bunga yang rindu dengan mentari
seperti bulan yang menanti malam
seperti itu juga keadilan kami idam-idamkan
meski beratus, beribu, kamis pun
akan senantiasa kami tapaki
dalam diam, ingin kami riuh mengudara
bertabrakan dengan ingin penguasa
yang juga ikut diam karena ingin leluasa
akan kami tagih semua ucap penguasa
yang hanya bersuara demi mendapat suara
entah belasan atau puluhan tahun lagi lamanya
payung hitam kami akan senantiasa berkibar
menaungi bumi yang penuh dengan tanda tanya
kapan, kapan, kapan kiranya
ingin penguasa akan mengalah
mengabulkan ingin kami yang telah lama
tak kunjung terlaksana
...
Pak, apakah kita sudah merdeka?
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa
apakah kita juga bangsa yang merdeka itu pak?
hanya karena ketika matahari terbit untuk ke tujuh belas kalinya pada bulan agustus
orang-orang bersorak ramai berteriak merdeka
lantas bagaimana dengan rintihan perut-perut kecil kita pak?
apakah itu juga adalah kemerdekaan?
pak barangkali kita adalah noktah lusuh bagi kemerdekaan bangsa kita
karena mereka yang katanya mewakili kita
tak pernah membuat kita merasa terwakili
pak sampai kini huruf-huruf latin kabur dimata saya
hanya huruf-huruf hijaiyah yang nampak begitu jelas
sebab setiap fajar bapak memaksa untuk saya bisa
sebelum akhirnya kita mengorek gunung sisa-sisa kebahagiaan mereka yang merdeka
pak saya begitu penasaran udara seperti apa yang orang-orang merdeka hirup?
tentu saja bukan aroma busuk seperti yang sering kita hirup
hingga karena terlalu banyak menghirupnya bapak kehabisan nafas
pak katanya orang merdeka nafasnya bisa lebih panjang
karena mereka diberi kenikmatan sebagai orang-orang merdeka
andai saja kita juga orang merdeka pak
pasti bapak masih bisa bernafas sampai detik ini
...
Kuah Kata
kata-kata ia siram dengan kuah kaldu
aromanya menusuk hidung para penguasa
hidung mereka gatal
sehingga tidak berhenti bersin-bersin
singkirkan kuah kaldu ini, singkirkan
mereka berteriak dengan gila
menyerang dengan membabi buta
kuah kaldu semakin mendidih
disiramnya lagi kuah kaldu lebih banyak
meski hanya segelintir orang-orang
 yang menyuapkannya ke mulut
tetapi mereka begitu rakus
tak peduli dengan konco-konco penguasa
 yang mengintip dari balik panci
mereka juga tak mau kalah gila
kuah kaldu menjadi amunisi
untuk menggulingkan ketidakadilan yang merajalela
negara ini terlalu porak poranda
maka kita butuh lebih banyak lagi kuah kaldu yang gurih,
segurih perlawanan
dan pada akhir suapan,
kita dihilangkan
tanpa sempat berpamit
pada orang-orang tercinta
...
Perempuan Yang Tak Ingin Lupa
\1\
Ia kehilangan putra tercinta,
yang gugur demi membela
air matanya segera diusap
tirai-tirai duka segera ia tutup
\2\
Ia bertanya dan terus bertanya
adakah secuil keadilan baginya?
\3\
Kesadaran menelusup pada sukmanya
puing-puing kaca hitam berceceran
di negerinya
\4\
Ketidakberdayaan adalah hal terkutuk
maka dilibasnya lara yang masih tercucuk
\5\
Setiap kamis ia suarakan perjuangan dengan syahdu
digandengnya mereka yang juga senasib
kata lelah tak akan bersinggah pada hatinya
putranya adalah cinta yang harus senantiasa tidak dilupa
Â
...
Kisah Wawan
Â
burung gagak menyurati lima ksatria
ksatria pertama ialah yang paling didahulukan
ia mengadu pada sang ibunda
benang-benang kecemasan dijahit dengan begitu kuat di hati
                                                     Â
pada suatu malam, ia bermimpi: "ada sebuah kain ajaib yang tak akan membuatnya gugur"
segera ia mengadu lagi pada sang ibunda
tanpa ragu diberikannya 200 koin emas dari saku
meski ia hanya meminta 150 saja
alangkah malang, rupanya kain ajaib belum sempat dewa jahitkan
terpaksa ia menukar dengan kain seharga 200 koin emas
ia pergi dengan api yang menyala-nyala di dalam dada
genderang perang ditabuh
riuh, bergolak, satu per satu berguguran
sampai ketika ksatria melihat kawannya tergeletak
timah panas menembus, cairan merah mengalir deras
dikibarkannya bendera putih
tetapi, gagak hitam sejak semula sudah menyurati
pada jantungnya, tibalah juga timah panas yang menuntun nyawanya pergi
sang ibunda menunggu dengan gelisah
didapatinya sepucuk surat dari burung gagak
sayur asam dan empal menangis, sang ksatria tak sempat menyentuh mereka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H