Mohon tunggu...
siti rubaiah al adawiyah
siti rubaiah al adawiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

perempuan yang menyukai makanan manis dan hal-hal imut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Sesal

7 Januari 2025   14:43 Diperbarui: 7 Januari 2025   14:43 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baik, Mas. Nanti, Dinda masakin ya"

Hari-hari berikutnya, aku tak pernah lagi meminta Dinda untuk memasak apapun. Aku rasa jika aku terus melibatkan bayangan Rahmi dalam pernikahan kami maka aku tak akan pernah melupakannya. Meskipun aku begitu mencintai Rahmi, entah mengapa Dinda selalu berhasil membuatku untuk larut dalam pesonanya. Namun, aku selalu gagal untuk menjadi suami yang baik bagi Dinda. Jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin menjalani pernikahan yang baik dengannya. Tetapi, pada kenyataannya aku selalu bertindak sesuka hati padanya. Aku selalu memutuskan apapun sendirian. Aku yang selalu tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Dinda. Aku yang selalu menjadi alasan Dinda diam-diam mengadu pada Tuhan sambil menangis di tengah malam. Ya, benar kata Diah, aku memang bajingan. Semakin besar cinta yang aku miliki untuk Dinda, semakin besar juga luka yang aku buat untuknya.

Pernah suatu ketika, aku pulang lebih malam dari biasanya. Kulihat Dinda tertidur di meja makan dengan masakan yang sudah disiapkannya. Dinda terlihat begitu kurus dibandingkan saat pertama kali aku berjumpa dengannya. Matanya yang terpejam seakan memberi tahu bahwa ia begitu kesepian. Wajahnya yang selalu tersenyum, kini terlihat begitu lelah. Entah sudah yang ke berapa kali aku pulang malam hingga membuat Dinda telat makan malam. Dinda selalu menyiapkan makan malam dan menunggu aku pulang untuk makan bersama. Namun, bisa dihitung jari berapa kali kami makan malam bersama.

Teringat ketika aku sengaja berbincang hingga larut malam bersama rekanku setelah jam kerja habis. Ketika aku pulang, Dinda langsung menyambutku dengan masakannya yang terlihat sudah dingin.

"Mas, mau makan sekarang atau mau mandi dulu?"

"Mas mau mandi Dinda."

"Kalau begitu Dinda hangatin ya makanannya"

"Tidak perlu Din, Mas sudah makan tadi."

"Oh, gitu ya Mas. Ya sudah, Dinda makan sendiri saja."

Seketika, aku merasa menjadi lelaki yang paling menjijikan di muka bumi. Meski Dinda tersenyum, namun matanya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia pendam. Buru-buru aku pergi untuk membersihkan diri. Aku tak pernah mengerti mengapa aku selalu menyakiti Dinda, padahal aku selalu merasa sakit ketika melihatnya merasa sedih. Terdengar suara pintu kamar terbuka. Pasti Dinda telah selesai makan malam. Setelah selesai mandi, kulihat Dinda sudah tertidur pulas. Segera aku pergi ke dapur. Kulihat makanan masih begitu banyak. Ku ambil piring dan segera kuhabiskan makanan yang dimasak Dinda. Masakannya enak seperti biasa. Walaupun sudah terasa dingin. Keesokan harinya aku mengatakan bahwa makanannya telah kubuang. Aku tidak ingin Dinda tahu bahwa aku yang menghabiskan makanannya.

....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun