Jam dinding yang berdetak mengisi keheningan antara aku dan anak perempuanku yang sedang saling membisu setelah beberapa saat yang lalu melewati situasi yang cukup panas. Tak lama dari itu, isak tangis menyahuti suara jam dinding. Pertahanan anak perempuanku sudah roboh. Aku paham bahwa sedari tadi ia menahan mati-matian agar tangisnya tidak meledak. Namun, rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih besar dari pertahanannya itu. Perlahan aku melangkahkan kaki untuk mendekatinya, kuusap punggungnya dengan lembut. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Ia langsung bangkit dan menatapku dengan nyalang.
"Asal Bapak tahu, sampai mati pun aku tidak akan pernah memaafkan Bapak. Bahkan jika aku disebut sebagai anak durhaka pun aku tidak peduli. Aku pikir selama ini keluarga kita baik-baik saja, Pak. Meski aku tahu betul bahwa Bapak dan Ibu tidak saling mencintai, setidaknya Bapak tidak akan main dengan perempuan lain. Sekarang, aku sudah muak dengan keluarga ini, terutama dengan Bapak. Kalau boleh aku meminta pada Tuhan, lebih baik aku tidak perlu lahir ke dunia, daripada aku harus menjadi anak Bapak." Setelah mengatakan hal tersebut, ia keluar dari rumah dengan langkah yang terburu-buru, disusul dengan suara dentuman pintu yang cukup keras.
Diah, anak semata wayangku dengan seorang perempuan yang dua puluh lima tahun lalu dijodohkan denganku. Sebenarnya, dia adalah anak perempuan yang pemalu dan sangat lemah lembut. Sejak kecil, ia selalu menjadi anak penurut. Ia tak pernah melakukan hal yang membuat orang tuanya merasa malu ataupun kecewa. Sebaliknya, ia selalu menjadi anak yang berprestasi di sekolahnya. Ia juga tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Wajahnya yang cantik persis seperti Ibunya membuat ia bisa dikatakan sebagai seorang perempuan yang 'sempurna'. Tetapi, hari ini ia memperlihatkan sosok yang jauh berbeda dengan apa yang ia perlihatkan selama ini. Tidak pernah terbayangkan bahwa aku akan mengalami hari dimana anak perempuanku yang cantik dan pemalu itu akan mengucapkan sumpah serapah padaku.
Ketika sedang menyesap rokok sembari menatap langit-langit ruang tamu, Diah datang dan memanggil dengan nada suara yang lebih tinggi daripada biasanya. Ia duduk bersama amarah yang menggunung didalam dirinya. Setelahnya, sumpah serapah dan segala bentuk kemarahan keluar dari mulutnya bagaikan pisau yang satu persatu menusuk dada. Aku diserang habis-habisan tanpa diberi kesempatan untuk menyela barang sekata pun. Tampaknya, ia telah memendam semua itu sejak lama. Maka, hari ini adalah hari dimana ia tak mampu lagi menyembunyikannya.
"Aku pikir Bapak dan Bi Rahmi benar-benar hanya sebatas teman karib. Bisa-bisanya aku dibodohi selama ini oleh kalian berdua. Bapak tahu, aku selama ini menghormati Bi Rahmi layaknya Ibuku sendiri karena ia selalu baik kepadaku bahkan kepada Ibu. Rupanya ia hanya berkamuflase agar aku tidak menaruh curiga padanya. Dasar bodoh, aku tak mengerti mengapa aku senaif ini sehingga mudah ditipu oleh ular sepertinya dan juga aku tidak pernah menyangka bahwa Bapak yang selama ini selalu aku banggakan tidak lebih dari sekedar lelaki bajingan."
Masih teringat jelas, kata demi kata yang Diah tembakkan persis ke ulu hatiku. Tentu saja, anak mana yang tidak akan marah jika tahu ternyata Bapak yang selama ini ia anggap sebagai panutannya ternyata bermain curang terhadap Ibunya. Apalagi, Diah sangat dekat dengan Ibunya bahkan mereka terlihat seperti anak kembar dibandingkan seperti anak dan Ibu. Diah yang malang. Ia harus terlahir dari keluarga yang berantakan. Selama ini aku selalu berusaha untuk memberikan keluarga seperti pada umumnya bagi Diah, agar ia tidak menjadi anak yang sial. Rupanya, takdir menginginkan hal lain.
Jauh sebelum aku mengenal perempuan yang kini menjadi istri sekaligus ibu dari anakku, aku telah memiliki seorang perempuan yang kucintai yaitu, Rahmi. Rahmi merupakan seorang perempuan berdarah Jawa yang sangat manis. Pertemuan kami bermula ketika sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di Jakarta. Ketika itu, kami merupakan teman sejurusan dan kerap kali satu kelas. Sehingga, intensitas pertemuan kami begitu sering dan lama kelamaan menumbuhkan sebuah perasaan. Kami mengambil jurusan manajemen. Patut ku akui bahwa Rahmi memiliki pengetahuan dan pemikiran yang begitu luar biasa sebagai seorang perempuan. Ia sangat pandai memasak dan tak jarang ia memasak makanan khas Jawa untukku. Hingga saat ini, rawon buatan Rahmi tidak pernah ada yang bisa menandingi.
Selama berpacaran, kami tak pernah mengenalkan satu sama lain terhadap keluarga masing-masing. Namun, setelah lulus kuliah kami ingin meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Maka dari itu, kami mempertemukan keluarga kami dan mengutarakan niat baik kami. Tetapi, satu hal yang tak pernah kami berdua bayangkan. Harapan kami untuk menikah tidak akan pernah bisa terwujudkan. Keluargaku dengan keluarga Rahmi tidak menyutujui hubungan kami. Alasannya begitu konyol, mereka masih mempercayai mitos bahwa orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa karena diyakini pernikahannya tidak akan langgeng. Setelah kejadian itu, akhirnya aku dijodohkan dengan anak teman karib Ayahku. Ia seorang perempuan Sunda yang begitu cantik dan tampak pemalu bernama Dinda. Awalnya aku bersikeras menolak perjodohan ini, tetapi setelah melihat wajah Dinda yang tersipu malu ketika memperkenalkan dirinya, aku tersihir.
....
"Aa, nanti malam mau Dinda masakin apa?" suara Dinda begitu lembut menulusuri telingaku. Setelah kemarin melaksanakan ijab qabul, kami resmi menjadi suami isteri. Kini, kami sedang berada di depan pintu. Dinda mengantarku untuk pergi berangkat ke kantor. Ia terlihat begitu cantik. Wajahnya yang putih, serta senyumnya yang manis, persis seperti gula putih.
"Dinda, panggil saja saya Mas. Saya lebih suka dipanggil Mas dan tolong masak rawon saja." Meski aku sudah menikahi Dinda, tetap saja bayang-bayang Rahmi masih menghantui. Aku sudah terbiasa dipanggil Mas oleh Rahmi. Jadi, terasa sedikit aneh ketika aku dipanggil dengan sebutan lain oleh Dinda.
"Baik, Mas. Nanti, Dinda masakin ya"
Hari-hari berikutnya, aku tak pernah lagi meminta Dinda untuk memasak apapun. Aku rasa jika aku terus melibatkan bayangan Rahmi dalam pernikahan kami maka aku tak akan pernah melupakannya. Meskipun aku begitu mencintai Rahmi, entah mengapa Dinda selalu berhasil membuatku untuk larut dalam pesonanya. Namun, aku selalu gagal untuk menjadi suami yang baik bagi Dinda. Jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin menjalani pernikahan yang baik dengannya. Tetapi, pada kenyataannya aku selalu bertindak sesuka hati padanya. Aku selalu memutuskan apapun sendirian. Aku yang selalu tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Dinda. Aku yang selalu menjadi alasan Dinda diam-diam mengadu pada Tuhan sambil menangis di tengah malam. Ya, benar kata Diah, aku memang bajingan. Semakin besar cinta yang aku miliki untuk Dinda, semakin besar juga luka yang aku buat untuknya.
Pernah suatu ketika, aku pulang lebih malam dari biasanya. Kulihat Dinda tertidur di meja makan dengan masakan yang sudah disiapkannya. Dinda terlihat begitu kurus dibandingkan saat pertama kali aku berjumpa dengannya. Matanya yang terpejam seakan memberi tahu bahwa ia begitu kesepian. Wajahnya yang selalu tersenyum, kini terlihat begitu lelah. Entah sudah yang ke berapa kali aku pulang malam hingga membuat Dinda telat makan malam. Dinda selalu menyiapkan makan malam dan menunggu aku pulang untuk makan bersama. Namun, bisa dihitung jari berapa kali kami makan malam bersama.
Teringat ketika aku sengaja berbincang hingga larut malam bersama rekanku setelah jam kerja habis. Ketika aku pulang, Dinda langsung menyambutku dengan masakannya yang terlihat sudah dingin.
"Mas, mau makan sekarang atau mau mandi dulu?"
"Mas mau mandi Dinda."
"Kalau begitu Dinda hangatin ya makanannya"
"Tidak perlu Din, Mas sudah makan tadi."
"Oh, gitu ya Mas. Ya sudah, Dinda makan sendiri saja."
Seketika, aku merasa menjadi lelaki yang paling menjijikan di muka bumi. Meski Dinda tersenyum, namun matanya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia pendam. Buru-buru aku pergi untuk membersihkan diri. Aku tak pernah mengerti mengapa aku selalu menyakiti Dinda, padahal aku selalu merasa sakit ketika melihatnya merasa sedih. Terdengar suara pintu kamar terbuka. Pasti Dinda telah selesai makan malam. Setelah selesai mandi, kulihat Dinda sudah tertidur pulas. Segera aku pergi ke dapur. Kulihat makanan masih begitu banyak. Ku ambil piring dan segera kuhabiskan makanan yang dimasak Dinda. Masakannya enak seperti biasa. Walaupun sudah terasa dingin. Keesokan harinya aku mengatakan bahwa makanannya telah kubuang. Aku tidak ingin Dinda tahu bahwa aku yang menghabiskan makanannya.
....
Setelah dikaruniai seorang anak, pernikahanku dengan Dinda perlahan mulai membaik. Aku sedikit demi sedikit merubah sikapku pada Dinda. Sekarang, mata Dinda lebih bersinar dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Senyumnya terlihat lebih indah sejak kami dikaruniai seorang anak. Anak perempuan yang cantik, pintar, dan baik. Ia ku beri nama Diah, artinya cantik.
Kebahagiaan mengelilingi keluarga kecil kami sepanjang hari. Namun, ia tidak ingin berlama-lama. Ketika Rahmi tiba-tiba mendirikan cabang bisnisnya di kota yang sama dengan kota yang kami tinggali, yaitu Kota Bandung. Satu pertanyaan Rahmi yang membuat semua hal berubah.
"Mas, aku tahu aku tidak berhak menanyakan ini. Tapi, aku ingin kejelasan untuk hubungan kita. Mas masih mencintaiku?"
"Tentu, Rahmi. Mari kita kembali menjadi sepasang kekasih."
Aku kembali menjalin kasih dengannya tanpa sepengetahuan Dinda. Padahal saat itu Diah baru saja berusia tiga tahun. Kami selalu berpura-pura bahwa kami adalah teman karib. Bahkan, seiring berjalannya waktu, Diah sangat dekat dengan Rahmi begitupun Dinda. Aku semakin menikmati hubungan antara keluarga kecilku dengan Rahmi. Keluarga kecil yang sempurna dan kekasih lama yang kembali hadir. Dinda tak pernah protes tentang hal ini. Sejak awal pernikahan kami, Dinda selalu diam dan tak pernah protes terhadap apapun. Ia adalah isteri yang penurut dan tidak banyak berbicara. Jika saja kehidupan kedua ada, aku akan berdoa pada Tuhan untuk memberikan lelaki terbaik untuknya di kehidupannya setelah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H