"Kau hanya bisa memprediksi, Tuhan yang memegang kendali,"
      "Yang hidup pasti akan mati. Namun, sebelum bersatu dengan tanah kau masih punya kesempatan. Jangan suka mengandai negatif. Kau bukan Tuhan yang mengetahui hidup mati hamba-Nya. Mengorbankan seluruh impianmu. Cita-citamu. Kebahagiaanmu. Dan seolah-olah kau akan mati esok,"
      "Aku tidak suka pemikiranmu, apalagi Tuhan-mu," tegasnya.
      Senja menengok padanya. Bajunya putih bersih. Sorban dipakai sebagai penutup kepala. Matanya teduh meskipun berkata tegas.
      "Bangkitlah... Dirimu menanti semangatnya kembali." ucapnya sambil tersenyum.
      Mukanya bercahaya. Senyumnya tulus.
      Semakin lama cahaya itu berpendar. Sayup-sayup terasa membayang. Pandangan terasa kabur. Tangan menekan ujung kursi mencari pegangan. Mata terus-terusan mengerjap. Menetralkan penglihatan.
      Tempat duduk di sebelah Senja kosong.
      Kemana perginya bapak tua itu?
      Senja memutar kepalanya sembilan puluh derajat. Celingak-celinguk. Hembusan udara lewat kuping. Persis seperti tiupan halus.
      Senja membuka mata sempurna. Keringat membanjiri pelipis. Badannya terbangun di atas ranjang. Korden masih terbuka, sorot lampu dari seberang yang menerangi. Suara jangkrik bernyanyi.