Senja menghela nafas. Sudah dua bulan ia berada di sini. Mengikuti cara dokter mengobati penyakitnya. Menyendiri di rumah yang dibeli dari hasil kerja kerasnya. Di lereng pegunungan. Hawanya sejuk. Pepohonan masih hijau. Embun juga masih nampak jelas. Kabut pun ikut berperan menghalangi penglihatan.
       Amplop putih berlogo rumah sakit yang ia kunjungi tempo lalu sudah di tangannya. Selembar kertas di dalamnya diambil. Menekuni setiap hasil cek kemarin. Tidak mengerti. Namun, penjelasan dokter kemarin membuatnya begitu paham 100%.
      "Cancer Limfoma stadium 4. Ada beberapa metode penyembuhan. Kemoterapi, radiologi dan operasi. Berhubung cancer sudah pada stadium lanjut, jalan operasi tidak efektif. Jalan satu-satunya dengan kemoterapi. Ini untuk menekan penyebaran kanker ke bagian tubuh lain."
      "Nanti saya akan memberikan obat pereda nyeri dan peningkatan kekebalan tubuh. Kurangin beraktivitas dan banyak istirahat."Â
      Lamunannya buyar. Suara televise mengagetkannya. Menampilkan iklan yang pernah menggaetnya menjadi tokoh utamanya memamerkan produk. Tampil gesit dengan rambut yang selalu di gerai lurus sebahu. Setitik air mata luruh ke pipi. Ia meraba kepalanya. Sudah tandus.
      Air mata berderai tanpa henti. Lama-kelamaan menjadi isakan kepiluan. Ia memutuskan meninggalkan semuanya. Karir yang sedang beranjak naik. Cita-citanya yang ingin berkeliling dunia karena prestasi yang didapat. Â
      Keluarganya puni tidak dihubunginya. Berdalih ingin liburan karena kegiatan yang begitu padat. Itulah jawaban saat ada orang sekitar yang bertanya. Ia tidak ingin merepotkan dan membuat khawatir orang-orang.
      Tempat ini cukup sunyi. Langit berwarna biru laut. Awan tampak seperti serpihan kapas di atas sana. Burung terbang bersama kawan-kawannya. Seperti sedang bercengkrama. Berbaris abstrak, kemudian kembali rapi.
      Bunga jambu berjatuhan tertiup angin. Daun bergoyang-goyang membentuk tarian. Cahaya turun menerpa muka. Bayangannya bermain di sela pipi. Bulu mata basah. Kelopaknya merah. Pandangannya melamun lurus menatap langit. Kursi anyaman bambu berderit. Seseorang duduk.
      Matahari turun. Beristirahat. Karena seharian sudah bertugas memberikan seluruh jiwanya menerangi tempat untuk manusia berpenghuni. Tabir langit sedang memainkan atraksi. Gradasi warna yang elok dinikmati.
      "Bukankah itu indah?" tanyanya.