Mohon tunggu...
Siti Nuraini
Siti Nuraini Mohon Tunggu... Diplomat - Hanya seorang hamba

Baru belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ayah, Aku Takut Jatuh Cinta

26 April 2019   21:12 Diperbarui: 27 April 2019   09:26 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Biar kusapu air matamu..

Kududuk di dekat ayah yang tiada henti memperbaiki radio tua. Secangkir kopi mengepul melawan dinginnya embun pagi ini. Petugas koran dengan sepeda ontel di depan rumah mengintip di antara terali gerbang berkarat yang dililit semak belukar. Ia meletakkan koran harian itu di tempat, di mana ia bisa menyelipkannya. Kutersenyum, dan entah mengapa pagi ini begitu hangat bagiku.

"Yah, boleh kucicip kopinya?"

"Tentu."

Seserut kopi itu masuk ke mulutku, dan mulai membakar dinding-dinding di dalamnya. Aku menyembunyikan pekikan dari amukan kopi yang diseduh dengan air yang tidak lagi mendidih saking panasnya.

"Duh, Yah, ini bukan kopi!" Ayah menengok ke arah cangkir yang masih menempel di tanganku. Beliau tersenyum.

"Lalu, apa?"

Ayah melihatku seperti biasanya. Seperti gadis kecil. Dari balik tirai dapur Ibu akhirnya datang membawakan sepiring donat susu, tetapi anehnya beliau berdandan. Tidak seperti biasanya. Ayah tentu saja tersenyum melihat Ibu seperti itu, tetapi kok aneh ya... Ayah, kenapa Ayah tidak mengantar Ibu? Memangnya Ibu mau ke mana?

"Bu," aku bangkit dari kursi dan menyusulnya, "Ibu mau ke mana?"

"Nak," beliau sekilas menatap Ayah yang juga sudah bangkit dari kursi, "Ibu... Ibu harus pergi ke suatu tempat."

"Tidak dengan Ayah? Ke mana?"

Dembun angin memenuhi otakku. Aku tidak mengerti...

"Dan Ibu berdandan?"

Wajah Ibu memucat.

[...]

Ibu meninggalkan kami... Beliau ternyata sudah bercerai dengan Ayah... Dan... Aku tidak tau itu... Aneh sekali... Sekarang hanya tinggal aku dan Ayah... 

***

Ayah, kutakut melukaimu. Kau bertambah tua dan sakit. Ayah, kutakut mengecewakanmu. Sungguh, aku sangat mencintaimu... 

Ayah, di mana Ibu sekarang? Ibu harus tau tentang ini dan kembali ke Ayah lagi. Ayah, ajari aku menjadi seorang wanita, agar aku bisa menjadi sosok Ibu bagi Ayah... 

Dan aku masih tidak mengerti...

***

"Viola!"

Hanya tetanggaku... Doni, si tukang ngebuntut. 

"Oi!" aku memberinya salam dengan yah... Hanya mengangkat tanganku yang malas ini. Aku melanjutkan jalanku, setelah jarakku bisa ia susul.

"Masih sendiri aja kamu ya, hehe," dia menyembunyikan tangan kirinya di belakang kepalanya, sambil malu-malu, "apa ayahmu masih ga ngasih pacaran, La?"

"Ga," aku menyembunyikan wajahku, karena aku selalu merasa aneh, ketika dia tanya begitu. "Ini pertanyaan yang sering banget kamu tanyaain deh ke aku." Aku melihat ke wajahnya. Datar, akhirnya. "Memang ini buruk, ya, kalau aku belum punya? Lagian, aku kan pernah bilang, kalau aku itu ga mau pacaran! Lagi-lagi kamu tanya gitu. Bosen tau!"

"Di usiamu yang setua ini masih ga mau pacaran?"

"Yoi. Memang kenapa?"

"Aneh aja..."

"Udah deh... Kalau kamu naksir aku langsung aja bilang. Kamu ini pasti kalau nanyain yang beginian terus pasti ada maunya, ya kan?" Aku tertawa lepas, dan sedikit melihat ke arahnya, "Udah-udah! Ga usah dipikirin! Lagian ya, aku itu nanti malah bikin napasmu semakin buruk."

Setiap hari aku kembali sendiri, dan dia tidak berubah. Dia tidak menemuiku dari saat itu... Namun, tetap saja dia seakan selalu mengawasiku... Tersenyum... 

***

"Hai," dia berbisik di telingaku.

"Oi... Oi, Ni, "aku melepaskan jaket olahragaku, dan aku mulai berpikir, kalau dia akhirnya berani menemuiku di sini, di tempat ramai yang penuh dengan teman-temanku. "Ada apa? Kukira kau sedang sakit, makanya ga pernah ketemu aku lagi."

"Kau mengkhawatirkanku?"

"Tidak pernah. Tapi sepertinya kamu mau bilang sesuatu yang genting, ya, karena itu alasan kamu ketemu aku di sini?"

"Em, aku mau ngomong sesuatu, tapi... Aku rasa, aku lupa deh tadi mau nyampein apa," dia berbalik dan pergi tanpa pamit.

"Nanti kalau kamu ingat langsung temui aku ya!"

[...]

Ibu, kembalilah...

"Kau ternyata di sini, Nak."

"Iya, Yah. Ada apa?"

"Bagaimana sekolahmu?"

"Alhamdulillah, lancar kok, Yah."

"Kalau Doni, bagaimana?"

"Doni, Yah?"

"Pacarmu?"

Hah? Pacar?

"Yah, udah deh!" Ayah tertawa sangat riang. Sulit untuk membendung air mata ini. "Yah, memang kenapa si Don? Kenapa Ayah sampai mikir kami pacaran?"

"Tadi Doni datang ke rumah. Katanya, dia mau nyampein sesuatu yang dia sempet lupa ngasih tau ke kamu."

Aku ga bisa menahan tawa membayangkan bagaimana sekiranya Doni berkata seperti itu kepada Ayah. "Dia bener-bener ga punya malu ya, Yah..."

"Itu bagus namanya. Kamu juga perlu tau rasanya pacaran itu seperti apa. Kamu bahkan bisa ketawa lebih keras lagi. Ga cuma ngebayangin terus diketawain."

"Ayah ada-ada aja..."

***

Rerumputan hijau... Aku berbaring di atasnya. Angin menyapu rambutku halus. Suara riak sungai di tepi jurang kali kecil, dan desiran suara rel kereta api yang bergesek dengan pasir-pasir tambang... Jauh di sana... 

Aku tersenyum menatap langit yang cerah... Semua bernyanyi. Kehidupan bernyanyi. Keindahan... 

Kupejamkan mataku, kemudian mulai berharap... Bawa aku, Langit...

Bawa aku, Awan...

Ajak aku terbang... 

Ajari aku untuk bersabar... 

Di mana Ibu, Tuhan? 

Apakah dia merindukanku dan Ayah di sini?

***

Secarik kertas di mejaku... 

Bertuliskan:

"Aku menunggumu, Mimpiku...

Aku mengkhawatirkanmu, Cintaku... 

Namun, bintang dan bulan tidak pernah berhenti mencibirku, bahwa kau terlalu sempurna untukku... 

Kau cantik, dan kuharap kau mengetahui itu, sebelum kuberi tau kau, kalau aku tidak akan selamanya hidup. Aku akhirnya didiagnosa mengidap Leukemia. Benar katamu. Karena aku terlalu mengharapkanmu, dadaku selalu terasa terhimpit. Namun, penyakit ini bukan salahmu.

Ini tidak adil, bukan? Tapi tenang saja... Ini bisa kuatasi. 

Tapi... Jangan nangis... 

Tangismu adalah kesedihanku. Bahkan orang tua kita pernah bilang, kalau kau tidak boleh menangis, karena kemalangan orang lain. 

Yang perlu kamu ketahui adalah aku membutuhkahmu di saat-saat terakhir seperti saat ini... Aku mencintaimu, Viola, sangat... Dan kamu harus terus yakin dan percaya dengan perasaan ini, karena aku memberikan cintaku padamu seorang saja. Sejak aku mengenalmu... Aku mulai mencintaimu... 

Doni, tetangga menyebalkanmu"

[...]

***

Doni dimakamkan hari ini. Aku meringkuk di dalam pelukan Ayah yang gemetar. Doni... Kau sungguh malang... Dan, aku... 

Dan aku masih bingung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun