Nama : Sita Nur F.mÂ
Nim : 222111157
Judul jurnal : Eksistensi Konsep Birokrasi Max Weber Dalam Reformasi Birokrasi Di Indonesia
Penulis : Â Ali Abdul Wakhid
Identitas : Jurnal TAPIs, Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011
Pokok-pokok pemikiran Max Weber mengenai birokrasi menekankan pada struktur rasional yang berfungsi untuk memastikan efisiensi dan ketertiban dalam administrasi organisasi. Beberapa poin utama dari konsep birokrasi ideal Weber adalah sebagai berikut:
- Kebebasan Individu Terbatas dalam Jabatan: Pejabat menjalankan tugas tanpa mengutamakan kepentingan pribadi dan dibatasi oleh ketentuan jabatan mereka.
- Hierarki yang Terstruktur: Setiap jabatan diatur dalam struktur hierarkis dengan wewenang dan tanggung jawab yang jelas.
- Spesialisasi Tugas: Setiap jabatan memiliki deskripsi tugas yang berbeda dan spesifik, yang harus dijalankan sesuai dengan keahlian yang relevan.
- Kualifikasi Profesional: Pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi dan kompetensi profesional mereka, dan sistem karier yang ditawarkan didasarkan pada prestasi dan senioritas.
- Impersonalitas Hubungan Kerja: Hubungan dalam organisasi harus bersifat impersonal untuk menjaga objektivitas dan mencegah pengaruh pribadi.
- Manajemen Berdasarkan Dokumen Tertulis: Semua keputusan administratif dan manajerial perlu didokumentasikan secara tertulis.
- Kepatuhan pada Hukum dan Peraturan Formal: Organisasi beroperasi berdasarkan aturan hukum yang jelas, yang menuntut kepatuhan semua anggota dalam menjalankan tugas mereka.
Konsep birokrasi Weber ini sangat menekankan pada rasionalitas formal dan kepastian hukum, yang ia anggap sebagai bentuk organisasi paling efisien untuk mencapai stabilitas dan keteraturan dalam administrasi
Relevansi Pemikiran HLA Hart Saat Ini
Pemikiran Max Weber tentang birokrasi sangat relevan dalam pemerintahan dan sistem hukum modern. Weber percaya bahwa birokrasi yang ideal adalah sistem yang bekerja dengan efisien dan teratur, di mana setiap keputusan dan tindakan didasarkan pada aturan yang jelas, bukan pada hubungan pribadi atau pengaruh luar. Dalam birokrasi ideal versi Weber, pegawai dipilih berdasarkan kemampuan dan bekerja sesuai tugasnya dalam struktur yang jelas.
Di Indonesia, ide Weber ini tercermin dalam upaya reformasi birokrasi sejak era reformasi, yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Pemerintah mencoba membuat birokrasi lebih transparan, akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan), dan efisien. Contohnya adalah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mendorong agar pegawai dipilih karena kompetensi, bukan karena koneksi atau kekuasaan. Ini sesuai dengan prinsip Weber, di mana profesionalisme dan aturan ketat penting untuk memastikan pegawai menjalankan tugasnya tanpa campur tangan pribadi.
Namun, Indonesia masih menghadapi beberapa masalah dalam penerapan birokrasi ideal ini. Misalnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih ada dan menghambat reformasi. Pengaruh politik juga sering menghalangi birokrasi untuk bekerja sesuai aturan, sehingga beberapa keputusan tidak sepenuhnya mengikuti prosedur yang adil dan impersonal seperti yang diharapkan Weber.
Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia dengan Pemikiran Weber
Dalam hukum, Weber menekankan bahwa aturan harus berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Di Indonesia, prinsip ini dicoba diterapkan dalam reformasi peradilan untuk memastikan hukum dijalankan oleh hakim dan penegak hukum yang profesional dan tidak mudah dipengaruhi kepentingan tertentu. Namun, untuk mencapai birokrasi yang benar-benar mengikuti aturan, Indonesia perlu memperkuat pengawasan dan memastikan setiap keputusan diambil dengan transparansi.
Prinsip Weber mengajarkan bahwa semakin konsisten birokrasi dalam mengikuti aturan, semakin baik hasilnya bagi masyarakat. Jika Indonesia terus memperkuat reformasi dengan prinsip-prinsip Weber, birokrasi dan sistem hukum di Indonesia bisa menjadi lebih baik dalam melayani masyarakat dan menegakkan keadilan secara merata.
Judul jurnal : Hubungan Hukum Dan Moralitas Menurut H.L.A Hart Â
Penulis : Petrus CKL. Bello
Identitas : Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013
Pokok-Pokok Pemikiran HLA Hart
- Hukum Sebagai Aturan Primer dan Sekunder: HLA Hart mendefinisikan hukum sebagai sistem aturan yang terdiri dari dua jenis: aturan primer dan aturan sekunder. Aturan primer menetapkan kewajiban dasar, seperti larangan atau kewajiban bagi warga negara. Aturan sekunder mengatur bagaimana aturan primer diterapkan, diubah, atau diputuskan dalam kasus pelanggaran, melalui aturan pengakuan (validitas hukum), aturan perubahan (pembaruan hukum), dan aturan pemutusan (keputusan pengadilan)
- Pemisahan Hukum dan Moralitas:Â Hart menolak pandangan bahwa hukum harus selalu berlandaskan moralitas. Menurutnya, meskipun hukum dan moralitas dapat memiliki keterkaitan, keduanya tidak mutlak saling bergantung. Dengan adanya pemisahan ini, hukum tetap bisa dikritik atau dinilai tanpa harus mengacu pada moralitas, yang memungkinkan hukum berkembang lebih obyektif dan terbuka terhadap kritik
- Validitas Hukum Terlepas dari Moralitas: Hart menegaskan bahwa validitas hukum ditentukan oleh aturan-aturan yang berlaku dalam suatu sistem, bukan oleh moralitas. Hukum yang sah adalah hukum yang sesuai prosedur formal, meskipun mungkin bertentangan dengan moralitas. Ini memungkinkan kritik hukum tanpa harus mengaburkan batasan antara apa yang dianggap benar secara moral dan apa yang sah secara hukum
Relevansi Pemikiran HLA Hart Saat Ini
Di zaman sekarang, masyarakat semakin beragam dalam pandangan moral dan kepercayaan. Dengan pemisahan antara hukum dan moralitas, hukum bisa diterapkan secara lebih adil dan merata tanpa memihak pada nilai moral atau agama tertentu. Misalnya, hukum lalu lintas atau peraturan perpajakan berlaku untuk semua orang tanpa mempertimbangkan latar belakang moral atau agama mereka. Pemikiran Hart ini relevan karena membantu hukum menjadi aturan yang netral, yang bisa diterapkan untuk semua orang di masyarakat yang beragam.
Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia Berdasarkan Pemikiran HLA Hart
Di Indonesia, hukum dibuat untuk berlaku secara umum, meskipun masyarakatnya memiliki beragam pandangan moral dan budaya. Misalnya, undang-undang pidana di Indonesia berlaku untuk semua orang, tanpa melihat latar belakang agama atau moralitas individu. Pendekatan ini sesuai dengan pemikiran Hart, yang menekankan bahwa hukum harus diterapkan berdasarkan aturan formal yang disepakati secara bersama, bukan berdasarkan moralitas tertentu.
Namun, Indonesia juga menghadapi tantangan, karena kadang moralitas atau pandangan keagamaan masih mempengaruhi penegakan hukum. Dalam hal ini, pemikiran Hart bisa membantu agar hukum di Indonesia lebih netral dan berfokus pada aturan yang berlaku secara formal. Dengan begitu, hukum bisa memberikan kepastian dan keadilan yang sama untuk semua orang, tanpa memihak pandangan moral atau agama tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H