Masalah anak stunting tidak bisa dianggap enteng karena permasalahan ini berdampak pada masa depan bangsa. Anak dengan kondisi stunting cenderung memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, sehingga diperlukan penelaahan dan pendekatan gizi kesehatan masyarakat secara komprehensif untuk dapat secara efektif merancang program yang berbasis evidence dan berfokus pada pencegahan (Ketua Umum IndoHCF Dr. Supriyantoro, 2020).
      Dalam laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 15.6% selama hampir satu dekade terakhir, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 21,6% (2022). Walaupun begitu data ini masih tergolong lebih tinggi daripada target yang ditetapkan tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2023 sebesar 14%.
      Dari hasil Studi status gizi Indonesia (SSGI) yang dilaksanakan tahun 2019 prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27,6%. Sedangkan di Provinsi Bali sebesar 14,4% dan jika melihat persentase stunting di provinsi Bali tahun 2020 sebesar 6,1%, dapat dilihat persentase tiap kabupatennya, seperti di kabupaten Jembrana (2,3%), Tabanan (8,0%), Badung (6,1), Gianyar (4,8), Klungkung (7,3%), Bangli (6,3%), Karangasem (10,8%), Buleleng (7,2%), dan Denpasar (1,5%). Persentase stunting di provinsi Bali mengalami penurunan bila dibandingkan hasil Riskesdas 2018 dan studi status gizi indonesia (SSGI) 2019 (Provinsi Bali, 2020). Terlihat variabel persentase yang berbeda tiap daerah menggambarkan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor lokal yang memengaruhi masalah ini.
      Banyak faktor kompleks yang mempengaruhi tingginya data anak stunting di Indonesia, pemicunya bisa dari faktor internal seperti keadaan gizi ibu dan anak sampi faktor eksternal seperti pola asuh dan lingkungan, faktor spesifik juga mempengaruhi seperti hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan seperti kurang gizi dan anemia (Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, 2023). Dengan ini pemeritah sadar bahwa banyak faktor dinamis yang perlu dianalis sebelum membuat rancangan program pencgahan stunting.Â
Diantara 5 juta kelahiran bayi setiap tahun, sebanyak 1,2 juta bayi lahir dengan kondisi stunting, hal ini terjadi selama berada dalam kandungan jika Ibu hamil megalami kekuarangann gizi ata malnutrisi. Bayi-bayi yang lahir dan terindikasi stunting dengan gizi kurang yang diukur melalui ukuran panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan berat badannya tidak sampai 2,5 kilogram. Selain itu angka stuting dipengaruhi dari bayi yang terlahir normal akan tetapi tumbuh dengan kekurangan asupan ASI dengan baik dan asupan makanannya tidak cukup gizi sehingga menjadi stunting (Kepala BKKBN, Dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG, 2021).
      Stunting pada anak di negara berkembang dapat disebabkan karena faktor lingkungan seperti keluarga. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak salah satunya adalah pendapatan orang tua. Pendapatan orang tua yang layak akan mampu menopang tumbuh kembang anak dengan mampu menyediakan semua kebutuhan anak dari primer higga sekunder. Sebaliknya jika pendapatan orang tua tidak layak maka terancamnya ketidakpenuhan kebutuhan anak, kebutuhan utamanya adalah pangan bergizi. Kebutuhan pangan yang tidak mencukupi serta kurang akan kualitas akan sangat memungkinkan anak mengalami resiko stunting (Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, 2019). Disnilah peran penting pemeritah dalam menjamin pemenuhan pangan yang begizi secara merata sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2012.
      Faktor pendapatan orang tua akan berpengaruh terhadap faktor pola asuh orang tua pula, keluarga adalah aktor utama untuk pemenuhan gizi sesuai standart kesehatan yang ditetapkan. Penting untuk para orang tua sadar akan  pentingnya pencegahan stunting untuk melahirkan anak dengan tumbuh kembang optimal untuk menjadi penerus bangsa. (Kepala BKKBN, Dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG, 2023).
      Faktor lainnya adalah usia pernikahan, faktor ini ikut berperan dalam persoalan stunting di Indonesia. Sebelumnya indonesia menetapkan usia menikah yang ideal pada UU No. 23 tahun 2002 untuk laki-laki seminimalnya berusia 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun. Namun usia ini masih tergolong anak-anak atau remaja dan dinilai terlalu dini sehingga terjadi perubahan oleh BKKBN dalam UU No. 34 Tahun 2014 menjadi usia ideal menikah untuk laki- laki antara usia 25-30 tahun dan perempuan antara usia 20-25 tahun.Â
Ketidakcukupan usia menikah akan beresiko karena belum cukupnya kesiapan pada remaja dalam aspek pengetahuan, mental, finansial dan reproduksi. Contohnya adalah kurangnya perhatian akan kondisi calon ibu, kehamilan pada remaja sendiri sudah memiliki banyak resiko terhadap tubuh ibu dari kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah, pendarahan saat persalinan termasuk resiko anak stunting.Â
Usia menikah dini pula meningkatkan kematian ibu dan bayi (Kementrian kesehatan RI, 2017). Maka demikian, pemberian interversi pemahaman pencegahan anak stunting lebih tepat ketika seseorang sudah siap dengan kehamilannya, baik secara usia maupun finansial. Kehamilan pada calon ibu yang sudah dewasa merupakan ssaran yang tepat, para ibu dengan usia ini sudah dapat memahami urgensi pemenuhan gizi pada calon anak.
      Faktor kondisi anak dan lingkungannya juga perlu diperhatikan. Anak yang mengalami infeksi penyakit berulang seperti diare disebabkan oleh sistem imunitas tubuh yang tidak bekerja secara maksimal jika imunitas tidak berfungsi dengan baik maka kemungkinan anak mengalami stunting menjadi tinggi. maka dari itu perlu diperhatikan sanitasi lingkungan sekitar anak, meliputi ketersdian air bersih untuk keperluar rumah tangga dan kebersihan diri, kualitas air minum, kepemilikan jamban yang sehat, sarana pembuangan air limbah yang jelas akan tidak terkontaminasi denagan air bersih, serta kepemilikan tempat sampah untuk menampung sampah-sampah di satu tempat dan tidak berserakan. Semua hal yang disebutkan penting untuk diperhatikan keluarga untuk menjaga imunitas anak menjadi resisten terhadap resiko penyakit.