Lewat film Perayaan Mati Rasa, Dwi Sasono menggambarkan sosok Ayah yang begitu menyayangi keluarganya. Selalu romantis kepada istrinya, dan berusaha hadir dalam setiap momentum anak-anaknya dengan cara apapun. Walau hanya mengabadikan lewat kamera yang ia bawa saat di laut. Gambaran ini justru bertolak belakang dengan perasaan yang Ian rasakan. Justru Ayahnya selalu berusaha ada dan begitu bangga kepada anak-anaknya, termasuk Ian.
Iqbaal Ramadhan juga cukup berhasil menampilkan pergulatan emosional yang dirasakan Ian. Adegan menangis dalam hening menjadi adegan paling menakjubkan dari sepanjang perjalanan kariernya di dunia film. Tidak ada lagi embel-embel Dilan yang melekat pada dirinya. Meski di beberapa adegan tidak terlalu sempurna.
Ada beberapa adegan yang terasa terlalu panjang yang membuat penonton menunda emosinya untuk keluar begitu dahsyat. Padahal jika adegan pamungkas cepat disampaikan, sepertinya penonton akan jauh lebih pecah mengeluarkan air matanya. Apalagi perihal label musik yang memanfaatkan tragedi keluarga Ian. Terasa terlalu kaku penyampaiannya dan tiba-tiba muncul ke permukaan tanpa tingkat emosi yang maksimal.
Pada intinya, yang membuat film ini berhasil membuat haru adalah jalan ceritanya. Siapa yang tidak menangis kalau berbicara tentang kematian orang tua? Semua anak sepertinya akan terenyuh dan tersayat dengan kehilangan yang mendadak ini. Apalagi ketika akan belum merasa mendapatkan pencapaian apa-apa. Yang tersisa hanyalah penyesalan-penyesalan.
Sebenarnya film ini adalah film keluarga yang menyentuh. Bagaimana sosok Ayah yang berjuang untuk keluarganya. Bagaimana seorang Istri selalu menunggu kepulangan suaminya. Bagaimana seorang kakak laki-laki tertekan dengan keadaan untuk harus selalu menjadi panutan bagi adiknya. Dan bagaimana seorang adik yang harus selalu mengikuti arahan dari kakaknya.
Film Perayaan Mati Rasa mengajak penonton untuk menghargai momen-momen berharga bersama orang-orang terkasih, karena sejatinya akan tiba waktunya untuk berpisah, dan itu bisa datang kapan saja. Komunikasi terbuka tentang perasaan masing-masing anggota keluarga menjadi PR penting dalam setiap keluarga. Sampai akhirnya penonton diajak untuk melihat perjalanan Ian dalam merayakan mati rasa yang ia rasakan dengan penuh keikhlasan.
"Melepaskan adalah bentuk paling tulus dalam mencintai." Ya, kata-kata Ian itu menjadi pengingat bahwa dengan melepaskan kepergian seseorang yang sangat penting dalam hidup ini menjadi bentuk cinta paling tulus. Tidak merelakan hanya membawa bumerang yang bisa pecah kapan saja. Termasuk menyakiti orang-orang di sekitar.
Dengan durasi 2 jam 5 menit, film Perayaan Mati Rasa berhasil menyampaikan pesan tentang perjalanan menyembuhkan luka. Yang paling penulis sukai adalah pesan tentang tidak apa-apa menjadi seseorang yang tidak sempurna, memiliki banyak kekurangan. Karena terkadang, tidak ada satu orang pun yang menuntut untuk selalu sempurna. Justru isi kepala sendiri yang menuntut kesempurnaan.Â
Mungkin dengan menonton film Perayaan Mati Rasa, penonton juga turut merayakan mati rasa yang selama ini dirasakan.Â