Jemari rasanya begitu gatal jika tidak memainkan gadget. Ada waktu kosong sedikit saja, langsung menggapai ponsel untuk sekadar menggulir menu home di media sosial. Tidak perlu ada tujuan, hanya sekadar mengisi kekosongan saja.
Nampaknya, ponsel dan media sosial tidak hanya sekadar mengisi waktu luang saja. Ibaratnya, manusia tidak bisa hidup tanpa ponsel. Segala aktivitas kini sudah terangkum lewat ponsel pintar. Mulai dari urusan pekerjaan, komunikasi dengan kerabat, melakukan transaksi jual beli, hingga mencari hiburan.
Mencoba merefleksi diri dengan memulai mengingat apa saja aktivitas yang dilakukan dari bangun tidur sampai kembali terlelap di malam hari. Hampir semua aktivitas ditemani dengan ponsel pintar dalam genggaman.
Misalnya saja alarm di pagi hari yang berdering lewat ponsel. Tentu membantu penggunanya untuk memulai hari dengan perencanaan yang sudah dibuat. Sebuah gambaran nyata bahwa ponsel menjadi barang pertama yang dicari dan menemani. Bahkan adapula yang memilih asyik dengan ponselnya setelah bangun tidur.
Lebih uniknya lagi, perkumpulan sekelompok orang di sebuah kafe pun tetap tak bisa jauh dari ponsel. Pertemuan untuk mengeluarkan segala kerinduan atau hanya sekadar berbincang hal-hal ringan saja, tetap ditemani ponsel di tengah-tengah pertemuan itu. Mulai dari sibuk memotret kebersamaan untuk diabadikan pada media sosial. Bahkan sibuk sendiri dengan ponsel masing-masing dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Seolah-olah, raga mereka bersama, tetapi memiliki dunianya masing-masing.
Sering muncul pertanyaan random tentang, "Lebih baik ketinggalan dompet atau ponsel?" Mungkin dulu, orang-orang akan menjawab tidak bisa hidup tanpa dompet karena uang, tanda pengenal, dan kartu penting lainnya terdapat di sana. Tetapi kini orang-orang tidak bisa tanpa ponselnya. Lebih panik tidak membawa ponsel dibandingkan dompet.
Tentu jawaban itu berdasarkan alasan yang jelas. Terlebih, ponsel memang memuat banyak hal yang begitu praktis dan membantu menjalani kehidupan. Uang elektronik dapat diakses lewat ponsel, menghubungi seseorang pun bisa melalui ponsel, menemani saat gabut, dan kebutuhan lainnya yang ada pada ponsel. Jelas, ponsel memang sulit lepas dari kehidupan serba digital ini.
Kemajuan teknologi memang sulit diprediksi. Sulit juga dibantah meski memiliki prinsip keras untuk tidak terbawa perkembangan. Nyatanya, kemajuan teknologi menjadi keharusan bagi setiap orang di era digital. Sulit untuk menghindar meski sudah berupaya tutup mata dan telinga.
Selalu ada sisi positif dan negatif dari setiap perubahan dan perkembangan. Digitalisasi memang memberikan dampak positif yang banyak. Namun jika tidak ada kontrol diri, yang terjadi adalah sebuah kebiasaan buruk yang baru. Seperti menghabiskan waktu dengan bermain gadget tanpa tujuan yang jelas. Hanya sekadar berselancar pada media sosial.
Informasi yang terdapat pada media sosial pun sulit untuk difilter oleh penggunanya. Butuh kemampuan literasi digital yang memadai agar bijak dalam penggunaan gadget dan media sosial. Jika tidak, yang terjadi adalah mudahnya termakan informasi bohong dan berujung mudah terprovokasi.
Tak dapat dipungkiri bahwa berselancar di media sosial memang membawa hiburan seru yang terkadang membuat candu. Sulit untuk berhenti scrolling media sosial saking asiknya dan terhibur dari konten-konten yang muncul di beranda. Tersenyum tipis, tertawa keras, bahkan sampai terbahak-bahak. Tak hanya berhenti di situ saja, turut meramaikan dengan memberi komentar, memposting ulang, dan membagikan kepada teman dengan tujuan berbagi kebahagiaan.
Tanpa sadar, pengguna bisa saja terkenal brain rot atau istilah lainnya adalah pembusukan otak. Terdengar menyeramkan bukan? Dari istilah namanya saja sudah membuat seram dan khawatir memikirkannya.
Penerbit Universitas Oxford (OUP) Inggris menobatkan brain rot sebagai Kata Terpilih Tahun 2024. Istilah yang menggambarkan pembusukan otak itu didefinisikan sebagai kemerosotan kondisi mental dan intelektual seseorang akibat konsumsi berlebihan konten daring yang berkualitas rendah atau remeh.
Istilah brain rot memang baru ramai menjadi perbincangan satu tahun terakhir, tetapi ternyata sudah ada sejak tahun 1854 oleh Henry David Thoreau dalam bukunya, Walde.
Istilah brain rot begitu relevan dengan kondisi saat ini yang serba digital. Semua orang tidak bisa lepas dari ponselnya. Semua orang tidak bisa lepas dari scrolling media sosial. Semua orang juga dapat mengakses konten receh tanpa batas setiap saat.
Jujur saja, penulis pun merasa menjadi salah satu pengguna media sosial yang terhibur dengan konten-konten receh di media sosial. Hanya menonton video pendek dengan durasi 15 detik saja, sudah merasa terhibur dengan mudah. Saking lucunya, penulis merasa semakin hari, kadar humor semakin menurun. Sederhananya, "Semakin tua jadi semakin receh."
Meski mendapatkan perasaan senang karena terhibur, ternyata ada bayang-bayang brain rot yang tanpa sadar mencoba menguasai. Tidak memang usia dan gender karena kini semua orang memiliki ponsel dan bermain media sosial
Tanda-tanda terpapar brain rot bisa dilihat dari tingkat antusias seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Apakah lebih tertarik berinteraksi secara langsung atau justru hanya lewat ponsel saja.
Lebih asyik memainkan ponsel disaat berkumpul dengan keluarga dan teman pun menjadi salah satu tanda terpapar brain rot. Begitu sulit untuk melepaskan gadget dari genggaman. Meskipun dalam keadaan penting yang tidak memerlukan kehadiran gadget.
Tanpa sadar, sering sekali mengecek ponsel. Hanya sekadar memerika notifkasi ponsel atau bahkan menggunakannya tanpa tujuan yang jelas. Tidak sedang ingin mencari sesuatu, mengabari seseorang, ataupun keperluan lainnya.
Secara fisik dapat terlihat dari mata yang lelah dengan kantung mata menghitam. Kepapa juga sering pusing karena berlebihan memainkan gadget. Kesulitan tidur di malam hari dan merasa tidak pernah benar-benar merasa tidur nyenyak yang berkualitas.
Gejala-gelaja brain rot bisa mendatangkan efek samping yang tentunya mengganggu kehidupan sehari-hari. Mulai dari rasa cemas, kergantungan pada gadget, sulit konsentrasi, sakit kepala, mata merah, kantung mata gelap, emosi tidak stabil, mudah lelah, insomnia, bahkan meningkatkan stres.
Untuk mengatasi brain rot, bisa dimulai dengan membatasi penggunaan gadget yang berlebihan. Perlu kesadaran penuh untuk dapat memulai aksi ini. Mulai meninggalkan kebiasaan ini dengan perlahan. Khususnya penggunaan gadget yang tidak ada tujuannya. Lebih baik dialihkan dengan kegiatan lain yang tidak memerlukan kehadiran gadget.
Ciptakan suasana nyaman dan menyenangkan ketika berinteraksi dengan orang lain secara langsung. Suasana ini bisa membangkitkan antusias untuk berkomunikasi dengan seseorang secara langsung daripada lewat ponsel. Dengan begitu, tidak ada lagi agenda pertemuan yang diisi dengan kesibukan masing-masing pada layar ponsel. Berganti dengan canda tawa kebersamaan yang menjadi hiburan pelepas penat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H