Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bayang-Bayang Brain Rot di Kehidupan Serba Digital

4 Januari 2025   07:00 Diperbarui: 4 Januari 2025   08:27 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi brain rot. (Sumber: freepik.com via kompas.com)

Informasi yang terdapat pada media sosial pun sulit untuk difilter oleh penggunanya. Butuh kemampuan literasi digital yang memadai agar bijak dalam penggunaan gadget dan media sosial. Jika tidak, yang terjadi adalah mudahnya termakan informasi bohong dan berujung mudah terprovokasi.

Scrolling media sosial. (Sumber: kompas.com)
Scrolling media sosial. (Sumber: kompas.com)

Tak dapat dipungkiri bahwa berselancar di media sosial memang membawa hiburan seru yang terkadang membuat candu. Sulit untuk berhenti scrolling media sosial saking asiknya dan terhibur dari konten-konten yang muncul di beranda. Tersenyum tipis, tertawa keras, bahkan sampai terbahak-bahak. Tak hanya berhenti di situ saja, turut meramaikan dengan memberi komentar, memposting ulang, dan membagikan kepada teman dengan tujuan berbagi kebahagiaan.

Tanpa sadar, pengguna bisa saja terkenal brain rot atau istilah lainnya adalah pembusukan otak. Terdengar menyeramkan bukan? Dari istilah namanya saja sudah membuat seram dan khawatir memikirkannya.

Penerbit Universitas Oxford (OUP) Inggris menobatkan brain rot sebagai Kata Terpilih Tahun 2024. Istilah yang menggambarkan pembusukan otak itu didefinisikan sebagai kemerosotan kondisi mental dan intelektual seseorang akibat konsumsi berlebihan konten daring yang berkualitas rendah atau remeh.

Istilah brain rot memang baru ramai menjadi perbincangan satu tahun terakhir, tetapi ternyata sudah ada sejak tahun 1854 oleh Henry David Thoreau dalam bukunya, Walde.

Istilah brain rot begitu relevan dengan kondisi saat ini yang serba digital. Semua orang tidak bisa lepas dari ponselnya. Semua orang tidak bisa lepas dari scrolling media sosial. Semua orang juga dapat mengakses konten receh tanpa batas setiap saat.

Jujur saja, penulis pun merasa menjadi salah satu pengguna media sosial yang terhibur dengan konten-konten receh di media sosial. Hanya menonton video pendek dengan durasi 15 detik saja, sudah merasa terhibur dengan mudah. Saking lucunya, penulis merasa semakin hari, kadar humor semakin menurun. Sederhananya, "Semakin tua jadi semakin receh."

Meski mendapatkan perasaan senang karena terhibur, ternyata ada bayang-bayang brain rot yang tanpa sadar mencoba menguasai. Tidak memang usia dan gender karena kini semua orang memiliki ponsel dan bermain media sosial

Ilustrasi brain rot. (Sumber: freepik.com via kompas.com) 
Ilustrasi brain rot. (Sumber: freepik.com via kompas.com) 

Tanda-tanda terpapar brain rot bisa dilihat dari tingkat antusias seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Apakah lebih tertarik berinteraksi secara langsung atau justru hanya lewat ponsel saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun