Bagian kedua diisi dengan kumpulan puisi tentang berbagai harapan manusia yang tidak bisa tergapai. Gejala sosial yang kerap terjadi juga turut dihadirkan.
Misalnya saja puisi yang diberi judul Patah Hati di halaman 56. Siapa yang ingin patah hati? Semua orang di dunia ini pasti tidak mau merasakan patah hati.
Joko Pinurbo menuliskan keadaan patah hati menjadi sebuah fase yang harus dihadapi dengan kehati-hatian. Terdapat pada baitnya yang pertama. Berbunyi, "Hati-hati dengan hati."
Hati menjadi yang utama dalam bermain perasaan. Kerap kali orang berkata jangan bermain-main dengan hati. Sekalinya patah hati kau akan lupa diri.
Joko Pinurbo terlihat ingin mempertegas nasihat lama itu. Ia sematkan pada baik terakhir pada halaman 57.
Waktu itu kau habis cekcok dengan ponsel kesayanganmu.
Kau kecewa dan marah kepada dirimu sendiri:
"Kembalikan kewarasanku!"
(2019)
Ya begitulah, di zaman serba mudah ini kerap kali kita terluka patah hati hanya lewat ponsel saja. Melihat informasi yang belum tentu keasliannya pada media sosial, tetapi sudah kebakaran jenggot. Sakit hati membaca komentar netizen. Sampai patah hati melihat perselingkuhan atau hal-hal tidak mengenakan.
Dan terkadang, patah hati bikin lupa diri. Sampai kehilangan akal sehat. Kehilangan kewarasan. Padahal yang merugi adalah diri sendiri.
KALENG TIGA
Bagian yang ketiga ini paling berbeda dengan bagian yang lain. Fokus pada satu tokoh utama yang namanya selalu tersemat dalam judul puisi.
Namanya Minnah. Entah siapa sosok perempuan itu. Tidak ada ilustrasi atau gambaran yang membantu imajinasi pembaca dalam memaknai puisi-puisi di Kaleng Tiga.
Misalnya saja puisi favorit saya pada Kaleng Tiga adalah Rumah Minnah pada halaman 76.