Termasuk dalam membaca buku Perjamuan Khong Guan. Sudah saya baca secara berulang. Tetap saja tak pernah merasa bosan. Justru setiap dibaca lagi malah mendapatkan pandangan atau pesan lain dari puisi tersebut. Seolah memiliki banyak makna yang tersimpan.
Buku Perjamuan Khong Guan terbagi menjadi empat bagian yang berisi kumpulan puisi Joko Pinurbo. Bagian pertama diberi judul Kaleng Satu dengan jumlah 19 puisi. Bagian kedua diberi judul Kaleng Dua dengan total 18 puisi. Lalu bagian ketiga dengan judul Kaleng Tiga dengan 21 puisi. Terakhir diberi judul Kaleng Empat dengan 22 puisi.
Dengan harga 68 ribu saja, pembaca sudah bisa menikmati kumpulan puisi karya Joko Pinurbo. Meski bukunya tipis, tetapi ternyata banyak sekali puisi-puisi indah karya Joko Pinurbo. Apalagi dilengkapi dengan tahun puisi ditulis pada setiap akhir puisi. Semakin terasa lengkap untuk menikmati karya sang penyair.
KALENG SATU
Pada bagian Kaleng Satu, terdapat puisi-puisi Joko Pinurbo tentang berbagai hal kehidupan yang sering dialami oleh kebanyakan orang. Seperti wawancara kerja, hari pertama sekolah, pergi ke pesta, bekerja, dan aktivitas lainnya.
Meski terlihat sepele, aktivitas itu adalah aktivitas penting yang dialami oleh kebanyakan orang. Dikemas dengan pilihan diksi sederhana. Terkesan sedang bercerita dengan pembacanya, tetapi dengan makna yang mewah.
Misalnya saja salah satu puisi yang paling saya sukai pada bagian ini terdapat pada halaman 30. Dengan judul Menunggu Kamar Kosong di Rumah Sakit.
Menunggu itu
sakit.
Sakit itu
mahal dan rumit.
(2018)
Hanya dengan dua kalimat sederhana saja sudah bisa mewakili perasaan seseorang yang sedang menunggu. Menunggu sesuatu yang kosong tanpa adanya harapan apa-apa. Di mana fase menunggu tanpa kepastian adalah hal yang menyakitkan, tetapi sangat mahal karena tidak semua orang mampu bertahan dalam fase menunggu.
Puisi yang paling terkenal dari Jokpin juga terdapat pada bagian Kaleng Satu ini. Tepatnya pada halaman 32 dengan judul Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya.
Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa ialah nomorMu.
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kausapa.
(2018)
Sindiran? Jelas puisi ini teruntuk para pembaca yang asyik 24 jam dengan dunia di ponselnya. Sibuk menundukkan kepala pada layar ponsel sampai lupa diri untuk bersyukur atas kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan.