Kabar duka menyelimuti para pembaca setia penyair legendaris Indonesia, Joko Pinurbo. Pak/Mas Jokpin sapaan khasnya, telah berpulang tapi tidak dengan syairnya. Syairnya akan selalu berada dalam keabadian.
Lahir di tanah Sunda Jawa Barat, yaitu Sukabumi pada tahun 1962. Tepatnya pada tanggal 11 Mei 1962. Belum sempat merayakan hari kelahirannya di tahun ini, ia harus berpulang kepada Yang Maha Esa pada 27 April 2024 di usia 61 tahun.
Bagi para pembaca setia puisi-puisi karya Jokpin pasti sudah mengetahui bahwasanya ia memang kerap mengelukan area paru-parunya yang terasa sakit. Alhasil, Joko Pinurbo tak lagi merasakan kesakitan itu usai dilarikan ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 06.30 WIB.
Penggemar berat puisi pasti pernah membaca puisi-puisi Joko Pinurbo. Kepiawaiannya dalam merangkai kata demi kata selalu berhasil memikat hati dan pikiran.
Ya, tidak hanya hati yang terpikat. Justru puisi-puisinya selalu menempel dalam pikiran. Seolah pembaca diajak untuk berdiskusi usai membaca puisi-puisi Jokpin.
Namanya terus melambung di dunia sastra Indonesia meski silih berganti banyak penyair baru yang lebih milenial. Namun tetap saja, syair-syair Joko Pinurbo tak lekang oleh waktu. Tak pernah bisa tergerus zaman.Â
Baik itu puisi-puisi barunya sampai puisi-puisi lamanya, tetap saja selalu menyentuh para pembacanya. Sepertinya ia selalu 'berhasil' dalam menuliskan puisi. Dengan tema apapun.
Penghargaan bergengsi di dunia kepenulisan berhasil ia raih. Tak mengundang banyak pertanyaan dari banyak orang. Joko Pinurbo memang sangat layak mendapatkan penghargaan-penghargaan itu.
Deretan penghargaan yang Joko Pinurbo raih adalah Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014). Sudah dipastikan bahwa syair-syairnya diakui di dunia.Â
Penghargaan yang ia raih tak lengkap jika tidak membagikan pengalamannya dalam menulis. Jokpin sering diundang ke berbagai pertemuan dan festival sastra. Karya-karyanya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing. Mulai dari bahasa Inggris, Jerman, Rusia dan Mandarin.Â
Kita juga masih sering menemukan para pembaca puisi yang membawakan karya-karya Joko Pinurbo. Sejumlah puisinya juga sering dibuat dalam bentuk musikalilasi puisi di berbagai acara ataupun perlombaan.
Sebagai penikmat karya para penyair, penulis menjadi salah satu pembaca yang ikut menikmati karya-karya Joko Pinurbo. Meski tidak mendapatkan kesempatan untuk bertegur sapa secara langsung, tetapi kerap kali mengikuti perbincangannya dalam berbagai acara yang ditayangkan di YouTube.
Kebetulan sekali, akhir-akhir ini penulis sedang kecanduan membaca buku kumpulan puisi sang penyair Joko Pinurbo. Sebuah buku berjudul Perjamuan Khong Guan yang saat pertama kali melihat covernya saja sudah bikin jatuh cinta.
Sepertinya semua orang tahun kue kaleng Khong Guan yang kerap menghiasi meja ruang tamu pada saat perayaan Lebaran. Ada dua kemungkinan, entah isinya memang asli kue Khong Guan atau hanya kamuflase belaka. Bisa saja isinya berupa kerupuk, opak, rengginang, peyek,, atau emping.
Namun Joko Pinurbo Sang Penyair Jenius justru malah memberikan pandangan lain. Bagaimana jika isi kaleng Khong Guan adalah ponsel, kartu ATM, tiket, obat, jimat, atau bahkan kepingan rindu yang sudah membatu.
Joko Pinurbo memang benar-benar penyair yang ajaib. Ia memberikan pandangan berbeda dalam melihat sesuatu. Bermodal kue kaleng saja bisa ia jadikan berpuluh-puluh puisi.Â
Mata ini otomatis salah fokus pada buku berwarna merah yang berjajar di antara tumpukan buku. Warna merahnya sungguh mengkilat. Membuat mata langsung tertuju padanya.
Covernya yang dibuat khas seperti kue kaleng Khong Guan benar-benar menarik perhatian. Pembeli atau calon pembaca mungkin akan bertanya-tanya. Apakah itu buku tentang sejarah Khong Guan atau jawaban di mana sosok ayah yang selalu dipertanyakan oleh banyak orang?
Melihat nama penulis yang tercantum pada cover sudah bikin senyum kegirangan. Nama penyair Joko Pinurbo yang tidak pernah gagal dalam menuliskan syair-syair puisi. Tidak ada alasan untuk menolak membeli atau membaca buku Perjamuan Khong Guan.
Penulis adalah tipe pembaca buku puisi yang berulang-ulang. Dalam artian saya tidak pernah menargetkan harus membereskan membaca buku puisi kapan. Dibiarkan dibaca berulang-ulang see sebagai teman di sore hari sambil menyantap secangkir kopi di teras rumah.
Termasuk dalam membaca buku Perjamuan Khong Guan. Sudah saya baca secara berulang. Tetap saja tak pernah merasa bosan. Justru setiap dibaca lagi malah mendapatkan pandangan atau pesan lain dari puisi tersebut. Seolah memiliki banyak makna yang tersimpan.
Buku Perjamuan Khong Guan terbagi menjadi empat bagian yang berisi kumpulan puisi Joko Pinurbo. Bagian pertama diberi judul Kaleng Satu dengan jumlah 19 puisi. Bagian kedua diberi judul Kaleng Dua dengan total 18 puisi. Lalu bagian ketiga dengan judul Kaleng Tiga dengan 21 puisi. Terakhir diberi judul Kaleng Empat dengan 22 puisi.
Dengan harga 68 ribu saja, pembaca sudah bisa menikmati kumpulan puisi karya Joko Pinurbo. Meski bukunya tipis, tetapi ternyata banyak sekali puisi-puisi indah karya Joko Pinurbo. Apalagi dilengkapi dengan tahun puisi ditulis pada setiap akhir puisi. Semakin terasa lengkap untuk menikmati karya sang penyair.
KALENG SATU
Pada bagian Kaleng Satu, terdapat puisi-puisi Joko Pinurbo tentang berbagai hal kehidupan yang sering dialami oleh kebanyakan orang. Seperti wawancara kerja, hari pertama sekolah, pergi ke pesta, bekerja, dan aktivitas lainnya.
Meski terlihat sepele, aktivitas itu adalah aktivitas penting yang dialami oleh kebanyakan orang. Dikemas dengan pilihan diksi sederhana. Terkesan sedang bercerita dengan pembacanya, tetapi dengan makna yang mewah.
Misalnya saja salah satu puisi yang paling saya sukai pada bagian ini terdapat pada halaman 30. Dengan judul Menunggu Kamar Kosong di Rumah Sakit.
Menunggu itu
sakit.
Sakit itu
mahal dan rumit.
(2018)
Hanya dengan dua kalimat sederhana saja sudah bisa mewakili perasaan seseorang yang sedang menunggu. Menunggu sesuatu yang kosong tanpa adanya harapan apa-apa. Di mana fase menunggu tanpa kepastian adalah hal yang menyakitkan, tetapi sangat mahal karena tidak semua orang mampu bertahan dalam fase menunggu.
Puisi yang paling terkenal dari Jokpin juga terdapat pada bagian Kaleng Satu ini. Tepatnya pada halaman 32 dengan judul Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya.
Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa ialah nomorMu.
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kausapa.
(2018)
Sindiran? Jelas puisi ini teruntuk para pembaca yang asyik 24 jam dengan dunia di ponselnya. Sibuk menundukkan kepala pada layar ponsel sampai lupa diri untuk bersyukur atas kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan.
KALENG DUA
Bagian kedua diisi dengan kumpulan puisi tentang berbagai harapan manusia yang tidak bisa tergapai. Gejala sosial yang kerap terjadi juga turut dihadirkan.
Misalnya saja puisi yang diberi judul Patah Hati di halaman 56. Siapa yang ingin patah hati? Semua orang di dunia ini pasti tidak mau merasakan patah hati.
Joko Pinurbo menuliskan keadaan patah hati menjadi sebuah fase yang harus dihadapi dengan kehati-hatian. Terdapat pada baitnya yang pertama. Berbunyi, "Hati-hati dengan hati."
Hati menjadi yang utama dalam bermain perasaan. Kerap kali orang berkata jangan bermain-main dengan hati. Sekalinya patah hati kau akan lupa diri.
Joko Pinurbo terlihat ingin mempertegas nasihat lama itu. Ia sematkan pada baik terakhir pada halaman 57.
Waktu itu kau habis cekcok dengan ponsel kesayanganmu.
Kau kecewa dan marah kepada dirimu sendiri:
"Kembalikan kewarasanku!"
(2019)
Ya begitulah, di zaman serba mudah ini kerap kali kita terluka patah hati hanya lewat ponsel saja. Melihat informasi yang belum tentu keasliannya pada media sosial, tetapi sudah kebakaran jenggot. Sakit hati membaca komentar netizen. Sampai patah hati melihat perselingkuhan atau hal-hal tidak mengenakan.
Dan terkadang, patah hati bikin lupa diri. Sampai kehilangan akal sehat. Kehilangan kewarasan. Padahal yang merugi adalah diri sendiri.
KALENG TIGA
Bagian yang ketiga ini paling berbeda dengan bagian yang lain. Fokus pada satu tokoh utama yang namanya selalu tersemat dalam judul puisi.
Namanya Minnah. Entah siapa sosok perempuan itu. Tidak ada ilustrasi atau gambaran yang membantu imajinasi pembaca dalam memaknai puisi-puisi di Kaleng Tiga.
Misalnya saja puisi favorit saya pada Kaleng Tiga adalah Rumah Minnah pada halaman 76.
Dalam puisi tersebut, Minnah dibesarkan di dalam rumah yang dipenuhi tumpukan buku. Mungkin Jokpin ingin menggambarkan sosok yang sangat gemar sekali membaca buku. Sehingga membuat buku sebagai rumahnya sendiri untuk pulang atau lari dari berbagai tekanan hidup.
Yang paling menyentuh adalah syair terakhirnya yang terngiang dalam ingatan.
Menurut Minnah,
hidup adalah
pustaka cinta
yang tak akan habis dibaca
(2019)
Romantisasi pada kehidupan. Hanya kalimat itu yang bisa saya simpulkan pada bait terakhir dari puisi ini. Sama seperti membaca buku, tidak akan pernah habisnya bagi yang gemar membaca. Begitu pula dalam menjalani hidup. Harus terus belajar dan belajar. Tak ada habisnya jika memang memiliki semangat hidup.
KALENG EMPAT
Bagian terakhir tidak lagi memakai nama Minnah. Justru Khong Guan disematkan dalam setiap puisi bagian keempat ini.
Bertema tentang semua anggota keluarga. Ibu, Ayah, dan anak. Termasuk menceritakan atau menjawab banyak pertanyaan terkait keberadaan sang Ayah pada kemasan kaleng Khong Guan.
Puisi favorit saya pada Kaleng Empat adalah puisi pada halaman 116 dengan judul Hujan Khong Guan.
Menceritakan seorang bocah yang menyimpan kaleng Khong Guan di luar saat turun hujan. Terdengar suara jatuhnya air hujan pada kaleng itu.
Pamungkas dari puisi Joko Pinurbo yang memikat hati selalu terdapat pada lirik terakhir.
Sesungguhnya ia hanya takut menjadi dewasa
Sebab ketika dewasa ia akan menafsirkan hujan sebagai berkah atau bencana
Padahal ia ingin hujan tetaplah hujan
(2019)
Puisi yang multitafsir. Bisa dilihat dari sisi sang bocah yang masih berpikir lugu tentang arti hujan. Hujan yang selalu membawa rasa senang.
Berbeda jika kita melihat dari sisi orang dewasa. Yang memang hujan tidak lagi menjadi sebuah kebahagiaan. Bisa saja malah membawa bencana dalam kehidupan.
Artikel atau review ini saya buat untuk mengajak para pembaca mengenang sosok Joko Pinurbo. Sebagai pengingat pula bahwa aksara sang penyair tidak ikut mati meski raganya sudah tidak ada di bumi.
Tanah air berduka kehilangan sosok penyair Joko Pinurbo yang cenderung satire dalam setiap puisinya, tetapi terkadang dipadukan dengan sifat jenaka. Maka dari itu, sejenak kita kirimkan doa terbaik untuknya agar dapat berpulang pada keabadian dengan sebaik-baiknya. Dan biarkan puisinya abadi melalui kita yang tak henti menikmatinya pada setiap zaman.
Selamat jalan Mas Jokpin. Hiduplah dalam keabadianmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H