Langsung ku ubah pada mode video call. "Pencet VC-nya."
Matanya terbelalak ketika melihat aku terbaring di ranjang rumah sakit. Lengkap dengan infusan dan alat bantu pernapasan.
"Lu sakit? Di rawat? Tau gituh udah gua suruh tidur dari tadi! Malah curhat panjang lebar ini itu," katanya dengan nada tinggi.
Aku hanya tertawa muka paniknya. Persis seperti tujuh tahun lalu saat kami bertemu di Ormawa.
"Sakit apa? Abis nelen obat nyamuk merek apa?" tanyanya kesal.
"Gila lu! Lu pikir gua sebego itu!" jawabku kesal.
"Iya maaf deh. Biasanya kalau galau gak ada yang nemenin, lu bisa lupa diri haha!"Â Tawanya lebih kencang lagi.
"Berisik! Lu dari dulu kagak berhentinya ngatain ya!"Â
Telfon itu berakhir setelah ia menyuruhku untuk istirahat. Tanpa terasa adzan subuh segera berkumandang. Sudah saatnya bersiap ditemui oleh suster yang mengecek infusan. Temanku Aca juga harus bersiap-siap bekerja.
Cerita ini memang tidak menarik bagimu. Namun sangat berarti untukku. Saat berada di posisi terendah, ternyata masih ada teman di masa lalu yang mau meluangkan waktunya untuk menjadi pendengar yang baik.
Begitu sulit memiliki pendengar yang baik di usia-usia yang sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sibuk pamer pencapaian, sibuk dengan urusan keluarga barunya, sampai sibuk mementingkan diri sendiri tanpa memberikan rasa iba kepada sekeliling.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!