Perbincangan basa-basi itu mulai luntur ketika kami saling mengabarkan keadaan masing-masing. Tepatnya menceritakan kegiatan dan pekerjaan masing-masing.
Sampai akhirnya ia menceritakan dua orang temannya di kantor yang begitu kontras berbeda.
"Umur mereka udah kepala 3. Sudah S2 juga keduanya. Tapi bedanya, yang satu masih kaya anak kuliahan yang penuh ambisi. Sedangkan satunya lagi udah ngerasain pahit manis kehidupan. Jadinya lebih flat aja," katanya.
Aku berseru, "Gua persis ada di fase yang kaya temen lu itu. Yang berasa flat aja. Emangnya salah ya?"
Suaranya tak terdengar. Seperti sedang memilih dan memilah kata agar tak menyinggung perasaan.
"Enggak salah kok. Selagi masih punya api. Sedikit aja meski cuma setitik api, setidaknya buat nyeimbangin kurva kehidupan. Biar gak selalu di bawah," jelasnya.
Ya, inilah Aca. Adik tingkat di organisasi yang tak terlihat lebih muda satu tahun dibandingkan aku. Pemikirannya dewasa dan kami sering bertukar pendapat tentang kehidupan.
"Lu ngerasa gak sih kalau makin ke sini makin introvert? Jatohnya ansos gak sih? Wajar gak sih ada di fase ini?" tanyaku lagi yang mulai menceritakan kekhawatiranku.
"Hmm, gua juga gitu kok. Lama kelamaan makin tertutup aja. Kayanya emang gituh gak sih fasenya?"
Aku mengangguk meski ia tak bisa melihat gerakan kepalaku itu.
"Entahlah. Jadi apatis aja sama sekeliling. Bahkan sama orang terdekat sekalipun,"Â ungkapku.