Sahabatku Aca memang terlihat dingin tapi sebenarnya menaruh kepedulian hebat. "Belum," jawabannya singkat.
"Ganggu gak? Boleh telfon?" balasku lagi.
Aku tak berharap ia akan mengiyakan. Karena biasanya kami hanya berbalas pesan saja. Urusan telfon hanya perkara organisasi saat kuliah. Itupun saat terdesak saja.
Justru bukan notifikasi pesan yang terlihat pada layar. Malah telfon darinya yang nampak.
Segera ku angkat. Sembari menyapa, "Hallo!"
"Kenapa lu? Tumben nyuruh gua nelfon," tanyanya dengan suara khas Betawinya yang kental.
"Enggak, gabut aja. Tumben lu belum tidur. Kenapa?" tanyaku lagi.
"Sama. Gua juga gabut. Gak bisa tidur,"Â paparnya tepat pada jarum jam panjang berada di angka 12. Dengan jarum jam pendek di angka 2.
Masih dengan mode basa-basi. Mengingat kami sudah lama tak saling sapa. "Kalau gabut, suka ngapain?"
Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, "Rebahan paling. Main game atau baca buku sampai bosen."
Ternyata kami masih memiliki kesamaan. Sama-sama memiliki aktivitas yang terlihat itu-itu saja.