Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Sepatu yang Hilang

16 April 2024   07:00 Diperbarui: 16 April 2024   07:07 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepasang sepatu. (Sumber: (AFP/GIUSEPPE CACACE via kompas.com)

Suara alarm membangunkan tidurku. Napas yang tidak beraturan. Keringat dingin yang membanjiri.

Sepanjang malam, mimpi buruk terus menghantuiku. Mengusik ketenangan tidur malamku.

Entah ada maksud apa dari mimpi itu. Namun, sudah dua malam mimpi buruk tak kunjung mau permisi.

Setelah peristiwa dua hari lalu itu, mimpi buruk seolah ingin memberi jawaban. Ada pesan yang ingin disampaikan. Namun, aku tidak pernah mampu untuk membacanya. Entah memang kesulitan, atau mungkin karena sedang tak bisa berpikir jernih.

Sebelum beraktivitas di pagi hari, biarkan aku mengontrol diri. Khususnya mengontrol napas ini yang sedari tadi begitu berat berhembus. Dibarengi dengan hati yang semakin tak karuan.

Seburuk apapun keadaan hati, tetap saja waktu terus berputar. Membuat badanku tak bisa sekadar berleha-leha. Mengingat banyak yang harus dikerjakan. Sekaligus demi mengabaikan semrawutnya masalah kehidupan ini.

Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke luar. Tujuannya jelas untuk mencari udara segar. Berharap suasana hati membaik. Berharap akan ada secercah jawaban untuk dapat menaikkan mood.

Tak ada yang berbeda. Sama saja dengan hari-hari biasanya. Jalanan yang masih sepi. Beberapa kendaraan berlalu lalang. Tukang bubur yang menantikan pelanggannya. Udara dingin yang menusuk kulit.

Baru beberapa meter berjalan, mata ini tertuju pada sebuah toko sepatu. Entah sejak kapan toko sepatu itu berdiri di sana. Aku tak ingat pasti. Sepertinya kemarin sore toko itu belum ada. Lantas mengapa pagi ini toko sepatu itu sudah kokoh berdiri?

Menarik. Sebuah istilah yang menggambarkan toko sepatu itu. Ornamen kayu yang menghiasi. Lampu yang menggantung nampak redup tapi terlihat unik.

Senyum sumringah seorang kakek yang berdiri tepat di depan toko sepatu itu. Berharap pelanggan pertamanya sudi untuk mengunjungi toko sepatunya.

Tak ada alasan untuk tidak berkunjung. Kaki ini seperti terhipnotis untuk berjalan ke arahnya. Begitu ringan dalam melangkah. Seperti ada magnet yang menarik.

"Selamat datang di toko sepatu ajaib. Toko sepatu ajaib siap menemukan sepatu terbaikmu!" sambut sang kakek dengan ramah.

"Toko sepatu ajaib?" tanyaku dalam hati.

Tanpa sepatah kata, aku mengikuti langkah kakek itu yang masuk ke toko sepatu. Padahal sebenarnya, ada banyak pertanyaan tentang toko sepatu ajaib ini. 

Tak seperti toko sepatu pada umumnya. Yang menjajakan banyak sepasang sepatu. Toko sepatu ajaib ini justru hanya memiliki satu etalase. Terdiri dari beberapa sepasang sepatu saja.

Aku kebingungan melihatnya. "Apa mungkin karena toko sepatu ini masih baru sehingga stoknya masih sedikit?" pikirku dalam hati.

Kakek itu mengeluarkan dua pasang sepatu yang indah dari etalase itu. Memperlihatkan detail sepatunya kepadaku dengan penuh antusias.

Perlahan, ku telusuri setiap jahitan sepatu itu. Termasuk lem yang digunakan untuk merekatnya detail sepatu. Nyaris sempurna. Baru pertama kali aku melihat sepatu yang indah dan menakjubkan. Terlihat sederhana, tetap nampak kemilaunya.

"Silahkan dicoba! Saya rasa, desain sepatunya cocok denganmu. Nomor sepatunya juga sudah sesuai dengan ukuran kakimu. Nomor tiga puluh tujuh ya?" 

Benar-benar ajaib. Toko sepatu ini bisa mengetahui selera pembeli. Sampai mengetahui nomor sepatu calon pembelinya. Tanpa harus menanyakan terlebih dahulu.

Aku mencoba sepasang sepatu itu. Sayangnya, sepatunya kesempitan. Kakek itu menyadarinya. Wajahku berekspresi tidak nyaman menggunakan sepatu itu 

"Sayang sekali tidak cukup. Padahal sepatu ini sangat cocok denganmu. Namun, apa yang bisa diperbuat? Kenyamanan adalah yang paling utama," kata kakek itu dengan raut wajah yang kecewa.

Tak menyerah sampai di situ saja, kakek itu bergegas menyuruhku untuk mencoba sepasang sepatu yang lainnya. 

"Coba sepatu yang ini. Semoga cocok denganmu!"

Aku sudah terlanjur terhipnotis pada toko sepatu ini. Tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulut, aku langsung mengikuti permintaan si kakek itu.

Sayangnya, sepatu ini malah kebesaran. Padahal sepatu ini nampak sempurna. 

"Oh tidak! Sayang sekali. Sepatunya kebesaran."

Ku lepaskan sepasang sepatu itu. Berharap sang kakek akan menawarkan sepatu lainnya yang luar biasa.

"Tidak ada sepatu yang cocok denganmu di sini. Kau harus mencarinya sendiri."

Aku tertegun mendengar jawaban kakek tua itu. "Toko sepatu macam apa ini? Kok tidak menyediakan size sepatu yang cocok untuk pembelinya?" pikirku lagi dalan hati.

Kakek itu terlihat bisa membaca isi pikiranku. Ia tersenyum sembari berkata, "Begitulah dalam perjalanan pencarian. Tidak mudah dan tidak ada yang instan. Kau perlu menemukan sepasang sepatu yang tepat. Yang membuatmu nyaman untuk melangkah."

Aku menelan ludah dalam-dalam. Ucapan kakek itu terlihat menjurus pada satu permasalahan yang dua hari lalu menampar kehidupanku.

"Jika ingin beriringan, maka kau harus memberikan size yang pas. Tidak berlebih, dan juga tidak kurang. Sepatu yang kebesaran tak akan membuatnya nyaman. Sepatu yang kekecilan juga tak akan membuatnya nyaman," ucap kakek itu penuh makna.

"Carilah sepasang sepatumu yang hilang. Biarkan kakimu beriringan. Bukan digiring, bukan menggiring."

Seketika ucapan pamungkas kakek itu membuyarkan tidur lelapku. Perlahan, mata yang terkatup ini terbuka. Melihat sekeliling yang nampak seperti kamar tidurku. 

Aku bergegas mencari ponsel. Berharap menemukan sepasang sepatu itu. Berharap sepasang sepatu itu mengabari. Menantikan pesan singkatnya, "Selamat pagi. Sarapan bareng yuk!"

Sayangnya, tak ada apa-apa. Sepasang sepatu itu sudah hilang. Memilih menyudahi semuanya. Meninggalkanku sendirian dalam ruang kesepian.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun