Menghadapi semester akhir, mahasiswa mulai dihantui dengan penyusunan tugas akhir. Tugas Akhir atau TA adalah mata kuliah terakhir dengan nilai SKS paling besar dan penentu lulus atau tidaknya mahasiswa untuk mendapatkan gelar.Â
Penamaan TA di beberapa kampus memiliki perbedaan. Lebih sering disebut dengan sebutan skripsi untuk program studi S1. Sedangkan TA lebih dikenal di kalangan mahasiswa D3.
Semakin berkembangnya pendidikan, merubah pola persyaratan yang harus ditempuh oleh mahasiswa agar bisa lulus. Mayoritas kampus di Indonesia masih menerapkan penyusunan skripsi sebagai persyaratan kelulusan mahasiswanya. Namun ada pula yang hanya sekadar membuat riset sederhana, membuat laporan, atau bahkan membuat produk atau karya yang bermanfaat.
Apapun bentuk tugas akhirnya, mahasiswa tingkat akhir akan diberikan dosen pembimbing yang menjadi pengarah, pembimbing, sekaligus yang memiliki andil untuk memberikan nilai. Pemilihan dospem di berbagai kampus beragam. Ada yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memilih dospemnya. Adapula yang dipilihkan langsung oleh pihak kampus.
Bagi kampus yang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk memilih dospemnya, bukan berarti akan seratus persen dikabulkan. Banyak faktor yang mempengaruhi permohonan mahasiswa terkait dospem akan di acc atau tidak. Mulai dari banyak jumlah dosen dan mahasiswa, serta judul yang diajukan apakah sesuai dengan bidang ilmu dospem yang diajukan atau tidak.
Bagaimanapun sistem pembagian dospem di kampus, mahasiswa harus mengerjakan tugas akhirnya dengan sungguh-sungguh. Sekalipun mendapatkan dospem yang terkanal super baik saat mengajar dan selalu memberikan nilai A.
Sering terjadi ketakutan-ketakutan sebelum memulai penyusunan tugas akhir. Jangankan saat memulai penyusunan tugas akhir, mahasiswa kerap sungkan menemui dospemnya hanya untuk mengkonfirmasi bahwa dirinya selama satu semester meminta bimbingan dalam penyusunan tugas akhir.
Ketakutan ini muncul dari stereotipe yang berkembang di kalangan mahasiswa bahwa dosen pembimbing itu killer. Cenderung galak, perkataannya kasar, bikin sakit hati, selalu merasa benar, dan begitu profeksionis. Mahasiswa tidak pernah benar. Sedangkan dosen pembimbing selalu benar.
Stereotipe dosen pembimbing killer berkembang dari cerita kakak tingkat yang berbagi kisahnya saat mengerjakan tugas akhir. Menceritakan betapa sulitnya untuk bisa meluluhkan hati dosen pembimbing.
Padahal, jika mahasiswa mau sejenak saja untuk merenungkan bahwa standar seseorang dianggap galak, tegas, atau bahkan killer itu berbeda-beda. Misalnya saja, kita melihat parenting orang tua teman kita yang terlihat kasar. Padahal menurut teman kita itu adalah hal yang biasa dan wajar karena bentuk rasa sayang sebagai orang tua.
Semua tergantung pada sudut pandang memandangnya. Termasuk perihal memberikan label dosen pembimbing itu selalu killer.Â
Jika mahasiswa mau sejenak untuk merenungkan hal ini, maka ia tidak akan mudah terpengaruh dan menelan matang-matang rumor yang beredar.
Salah satu artikel yang penulis temukan di media online terkait dosen killer memberikan gambaran bahwa setiap mahasiswa memiliki standar atau pengertian dosen berlabel killer.
Dikutip dalam detik.com, salah satu mahasiswa tingkat akhir di UPN Veteran Jogja, Dymas Albert (22), memiliki pandangan jika dosen killer adalah dosen yang saklek dan perfeksionis dalam berbagai aspek. Cenderung sulit menerima hal baru yang bersifat pengembangan metode baru dari suatu keilmuan. Ia juga menambahkan bahwa dosen killer cenderung tidak mau memberikan transparansi nilai ketika ia menanyakan mengapa mendapatkan nilai C.Â
Dymas juga memberikan pengalaman tidak mengenakan ketika mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan secara verbal pada saat seminar hasil penelitiannya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh detik.com, penulis menggarisbawahi bahwa faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa memberikan label killer pada dosen adalah karena dosen tersebut cenderung tidak mau menerima pendapat mahasiswa. Merasa selalu benar yang seolah-olah tidak boleh ada yang lebih pintar darinya. Apalagi sampai dilawan pendapatnya oleh mahasiswa. Yang terparah adalah sampai dosen tersebut memberikan umpatan yang membuat mahasiswa sakit hati.
Sejenak kembali ke akhir tahun 2023, bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) melarang dosen-dosennya berwatak killer demi menjaga kesehatan mental mahasiswanya. Menanggapi ini, ternyata UGM terlihat tidak main-main atau sekadar gertakan semata. UGM tengah membahas prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) untuk mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan nyaman.Â
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof Wening Udasmoro dikutip dari Kompas.com, Jumat (3/11/2023) ingin menghilangkan bentuk-bentuk kekerasan. Baik secara verbal, fisik, maupun psikologis. Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh civitas akademika. Alasan itulah yang membuat tidak diperkenankan adanya unsur kekerasan dalam lingkungan kampus.
Penulis yang sehari-harinya berprofesi sebagai dosen sepakat dengan langkah yang diambil oleh UGM. Kampus harus menjamin mutu pelayanan prima kepada mahasiswa. Termasuk para tenaga pendidik yang secara langsung berinteraksi dengan mahasiswa.
Adanya SOP yang sedang dirancang ini sebagai dasar untuk memberikan pelayanan prima kepada mahasiswa. Definisi dosen killer diuraikan secara terperinci. Dengan begitu, dosen bisa mengetahui batasan-batasan ketegasan dalam mendidik mahasiswa. Begitupula mahasiswa menjadi tahu label dosen killer yang pantas tersemat itu kriterianya apa saja.
Seringkali pada saat membimbing, dosen bukan merasa selalu benar. Justru malah bertemu dengan mahasiswa ngeyel yang enggan menerima masukan dari dosen pembimbing.
Memang faktanya penelitian dilakukan oleh mahasiswa. Sekalipun ada kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah dari hasil tugas akhir, nama dosen pembimbing hanya tersemat sebagai penulis kedua. Namun perlu diingat bahwa adanya tanda tangan dosen dalam lembar pengesahan adalah bentuk tanggung jawab dalam profesinya sebagai pendidik.
Selama dua tahun mendapatkan mandat menjadi dosen pembimbing dengan jumlah hampir 20 mahasiswa dari program studi manajemen, saya berusaha menciptakan kesan baik pada saat bimbingan. Di mulai dari pertemuan pertama yang mengumpulkan seluruh mahasiswa bimbingan saya.
Pada pertemuan pertama, saya menjelaskan dasar-dasar melakukan penelitian ilmiah. Termasuk sistematika penulisannya, sampai rules untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
Sering kali, mahasiswa enggan melakukan pendekatan dengan dosen pembimbingnya karena sang dosen pun tidak membuka kesempatan. Menurut saya, dosen pembimbing perlu membuka kesempatan mahasiswa untuk mengenal karakter satu sama lain. Dengan begitu, mahasiswa bisa menyesuaikan dengan karakter dosen dalam memimbing tugas akhir.
Hal tersebut meminimalisir konflik yang mungkin terjadi ke depannya. Misalnya terkait jam bimbingan. Apakah fleksibel atau pada saat jam kerja saat. Dengan saling terbuka, kedua belah pihak akan merasa nyaman dalam proses bimbingan tugas akhir ini.
Pada saat proses bimbingan berlangsung, terkadang mahasiswa datang dengan tangan kosong. Tidak menyiapkan apa-apa selain draft print out yang dibawa.
Alhasil, ketika diberi pertanyaan dari mana asal muasal data dalam draft, mahasiswa malah kebingungan sendiri. Seakan-akan mengandalkan penjelasan dari dosen pembimbing saja. Tidak mau untuk mencari tahu sendiri lalu mendiskusikannya dengan dosen pembimbing.
Keliru jika mahasiswa berpikir bahwa dosen pembimbing akan memberikan persetujuan untuk melanjutkan proses penelitian atau bahkan sampai mendatangani lembar pengesahan dari banyaknya jumlah revisi. Prinsip seperti ini membuat mahasiswa mudah memberikan draft yang catatan sebelumnya harus direvisi dari dosen juga tidak benahi.
Mungkin mahasiswa berharap mendapatkan keberuntungan tidak akan diperiksa oleh dosen pembimbingnya. Berharp dospem berprasangka baik sudah dibenahi hasil revisi kemarin sehingga langsung memberikan acc.Â
Jika memang kebetulan seperti, mungkin memang sebuah keberuntungan. Tapi tidak berlaku bagi dospem yang cukup prefeksionis atau rajin merevisi. Daripada membuang-buang waktu hanya berakhir memperlambat penyelesaian tugas akhir, lebih baik catatan revisi sebelumnya dikerjakan sesuai arahan dari dosen pembimbing.
Tidak hanya dari sisi mahasiswa saja, dosen juga harus memberikan ruang komunikasi yang efektif kepada mahasiswa. Biasanya, saya memang secara khusus membuat jadwal bimbingan. Atau mengabari ketika tidak bisa dihubungi karena sedang ada kepentingan lain.
Dosen pembimbing juga jangan sungkan atau malu jika mengutarakan kejujuran bahwa kurang memahami materi. Misalnya terkait dengan metode penelitian yang menggunakan pengujian statistika. Utarakan saja bahwa dalam perhitungan statistika tidak terlalu banyak tahu karena dasarnya juga bukan ahli statistika. Dospem bisa mengarahkan mahasiswanya untuk berkonsultasi dengan dosen stastik yang memang pakar dibidangnya atau bahkan berkonsultasi dengan ahli statistik.
Kembali membahas stereotipe dosen killer memang perlu adanya kesamaan definisi. Perlu adanya kesamaan indikator-indikator yang membuat dosen dianggap killer. Apakah melakukan kekerasan secara fisik, verbal, atau psikologis? Atau hanya sekadar sulit memberikan nilai bagus juga dikategorikan sebagai dosen killer?
Padahalkan banyak sekali faktor yang membuat dosen enggan memberikan nilai bagus. Bukan dengan dalih kesempurnaan hanya milik Tuhan atau standar-standar yang dipatok terlalu tinggi. Justru mungkin karena memang mahasiswanya yang enggan menyelaraskan dengan rules yang dibuat oleh dosen.
Untuk menghentikan sterotipe dosen killer, pihak kampus dapat mengeluar SOP bimbingan. Tidak hanya rules yang harus dipatuhi oleh dosen dalam memberikan bimbingan. Mahasiswa juga harus ada rulesnya terkait dengan etika menyelesaikan tugas akhir pada saat proses bimbingan.
SOP ini sebagai dasar agak tidak terjadi tuduh menuduh. Tidak saling menyalahkan mengapa lamban menyelesaikan tugas akhir dan berdampak pada tingkat kelulusan mahasiswa yang menurun setiap semesternya. Yang rugi tidak hanya mahasiswa, tetapi kampus juga dirugikan karena tingkat kelulusan mahasiswa sebagai salah satu indikator peningkatan akreditasi.
Dosen pembimbing juga tidak asal dalam memberikan bimbingan kepada mahasiswa. Menjadi tugas membimbing ini sama pentingnya dengan tri dharma lainnya. Dengan begitu, dospem akan menjadikan tugas membimbing sebagai prirotitas, kewajiban, bahkan tanggungjawab.
Begitupula mahasiswa yang tidak ciut ketika mendengar rumor dosen pembimbing killer. Kalah sebelum berperang tidak akan menumbuhkan karakter positif. Tidak menaikkan juga value dalam diri.Â
Salah satu dosen senior saat penulis menempuh kuliah pernah berpesan, "Dosen dan mahasiswa sama-sama makan nasi. Jangan takut. Segalak-galaknya dosen pembimbing, ia juga pernah jadi mahasiswa. Ia punya sisi kemanusiaan."
Terkadang, prinsip negatif yang lebih awal tertanam malah membuat proses bimbinganmu semakin sulit. Sejak awal mengecap dosen pembimbing killer tanpa mau memahami dan mengenal lebih dekat sang dosen pembimbing.
Memangnya nyaman diberi label dosen killer di tengah-tengah usaha untuk memberikan yang terbaik pada mahasiswa? Sepertinya sungguh menyakitkan ketika dospem meminta mahasiswa merevisi agar mengarahkan pada penelitian yang baik dan benar, tapi malah dicap dengan sebutan killer.
Sudah saatnya kampus, dosen, dan mahasiswa bersinergi untuk menciptakan keberlangsungan proses berkehidupan di kampus dengan penuh kenyamanan. Tanpa adanya kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis. Saling memahami, menghargai, dan mendukung demi tercapainya tujuan bersama.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H