Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menghapus Stereotipe "Dosen Pembimbing Killer"

29 Maret 2024   10:00 Diperbarui: 30 Maret 2024   03:16 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa dan dosen pembimbingnya. (Dok.Pribadi/Siska Fajarrany)

Jika memang kebetulan seperti, mungkin memang sebuah keberuntungan. Tapi tidak berlaku bagi dospem yang cukup prefeksionis atau rajin merevisi. Daripada membuang-buang waktu hanya berakhir memperlambat penyelesaian tugas akhir, lebih baik catatan revisi sebelumnya dikerjakan sesuai arahan dari dosen pembimbing.

Kedekatan mahasiswa dengan dosen pembimbingnya. (Dok.Pribadi/Siska Fajarrany)
Kedekatan mahasiswa dengan dosen pembimbingnya. (Dok.Pribadi/Siska Fajarrany)

Tidak hanya dari sisi mahasiswa saja, dosen juga harus memberikan ruang komunikasi yang efektif kepada mahasiswa. Biasanya, saya memang secara khusus membuat jadwal bimbingan. Atau mengabari ketika tidak bisa dihubungi karena sedang ada kepentingan lain.

Dosen pembimbing juga jangan sungkan atau malu jika mengutarakan kejujuran bahwa kurang memahami materi. Misalnya terkait dengan metode penelitian yang menggunakan pengujian statistika. Utarakan saja bahwa dalam perhitungan statistika tidak terlalu banyak tahu karena dasarnya juga bukan ahli statistika. Dospem bisa mengarahkan mahasiswanya untuk berkonsultasi dengan dosen stastik yang memang pakar dibidangnya atau bahkan berkonsultasi dengan ahli statistik.

Kembali membahas stereotipe dosen killer memang perlu adanya kesamaan definisi. Perlu adanya kesamaan indikator-indikator yang membuat dosen dianggap killer. Apakah melakukan kekerasan secara fisik, verbal, atau psikologis? Atau hanya sekadar sulit memberikan nilai bagus juga dikategorikan sebagai dosen killer?

Padahalkan banyak sekali faktor yang membuat dosen enggan memberikan nilai bagus. Bukan dengan dalih kesempurnaan hanya milik Tuhan atau standar-standar yang dipatok terlalu tinggi. Justru mungkin karena memang mahasiswanya yang enggan menyelaraskan dengan rules yang dibuat oleh dosen.

Untuk menghentikan sterotipe dosen killer, pihak kampus dapat mengeluar SOP bimbingan. Tidak hanya rules yang harus dipatuhi oleh dosen dalam memberikan bimbingan. Mahasiswa juga harus ada rulesnya terkait dengan etika menyelesaikan tugas akhir pada saat proses bimbingan.

SOP ini sebagai dasar agak tidak terjadi tuduh menuduh. Tidak saling menyalahkan mengapa lamban menyelesaikan tugas akhir dan berdampak pada tingkat kelulusan mahasiswa yang menurun setiap semesternya. Yang rugi tidak hanya mahasiswa, tetapi kampus juga dirugikan karena tingkat kelulusan mahasiswa sebagai salah satu indikator peningkatan akreditasi.

Dosen pembimbing juga tidak asal dalam memberikan bimbingan kepada mahasiswa. Menjadi tugas membimbing ini sama pentingnya dengan tri dharma lainnya. Dengan begitu, dospem akan menjadikan tugas membimbing sebagai prirotitas, kewajiban, bahkan tanggungjawab.

Begitupula mahasiswa yang tidak ciut ketika mendengar rumor dosen pembimbing killer. Kalah sebelum berperang tidak akan menumbuhkan karakter positif. Tidak menaikkan juga value dalam diri. 

Salah satu dosen senior saat penulis menempuh kuliah pernah berpesan, "Dosen dan mahasiswa sama-sama makan nasi. Jangan takut. Segalak-galaknya dosen pembimbing, ia juga pernah jadi mahasiswa. Ia punya sisi kemanusiaan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun