Mendengar nama Wregas Bhanuteja tentu akan teringat pada film Penyalin Cahaya yang tayang pada 2021 silam. Eksistensinya di dunia film mulai dilirik publik usai berhasil menyutradarai film tersebut.Â
Kemampuannya dalam memoles film membuat proyek film Penyalin Cahaya mendapatkan ruang tersendiri bagi penonton. Film yang mengangkat isu kekerasan seksual dengan unsur seni di dalamnya memberikan kesan yang mendalam.
Sebagai pekerja seni, tentunya kesuksesan Penyalin Cahaya menjadi semangat tambahan untuk menciptakan suguhan bagi pecinta film Indonesia.Â
Tahun ini, tepatnya pada 02 November 2023, lewat Budi Pekerti, Wregas kembali menghiasi tontonan di bioskop. Keberhasilan dari film sebelumnya, menghipnotis antusias pada film barunya.Â
Beban yang sangat besar bagi Wregas untuk mampu memenuhi harapan atau ekspektasi dari penonton. Mengingat Penyalin Cahaya sudah begitu mendalam dan membekas, maka tantangan pula untuk membuat film Budi Pekerti menjadi film terbaik tahun ini.
Sepertinya harapan dari penonton semakin bertambah usai kabar terkait penayangan Budi Pekerti lebih dahulu hadir di Toronto International Film Festival (TIFF) pada September 2023 lalu.Â
Menariknya lagi, Budi Pekerti juga mendapatkan nominasi terbanyak di acara penghargaan besar, Festival Film Indonesia (FFI) 2023. Mulai dari nominasi film panjang terbaik, sutradara terbaik, penulis skenario asli terbaik, pengarah sinematografi terbaik, pengarah artistik terbaik, penata efek visual terbaik, penyunting gambar terbaik, penata suara terbaik, penata musik terbaik, pencipta lagu terbaik, penata busana terbaik, penata rias terbaik, pemeran utama pria terbaik, pemeran utama perempuan terbaik, pemeran pendukung pria terbaik, dan pemeran pendukung perempuan terbaik.
Usai menonton film Budi pekerti, sepertinya sederet nominasi FFI 2023 akan diborong pialanya oleh seluruh peran yang terlibat dalam produksi film tersebut.
Film Budi Pekerti mengisahkan seorang guru bernama Prani (Sha Ine Febriyanti) yang tinggal di Yogyakarta. Ibu Prani menjadi guru BK di sekolah swasta. Seperti gambaran umum profesi guru di negara ini, Prani hidup dalam kesederhanaan dan serba pas-pasan.Â
Terlebih lagi saat itu digambarkan masih dalam keadaan pandemi. Covid-19 tidak hanya mengganggu ekonomi keluarganya, kesehatan suaminya juga terkena imbas. Didit (Dwi Sasono) mengidap bipolar usai bisnisnya bangkrut akibat pandemi.
Sebagai seorang istri, Prani terlihat mengganti peran Didit sebagai kepala keluarga. Apalagi pasien yang mengidap bipolar sering berubah-berubah kondisi atau fase emosinya. Prani berusaha untuk menjaga dan memberi kenyamanan pada suaminya, termasuk tidak menceritakan kesulitan dan masalah yang dia hadapi.
Prani dan Didit memiliki 2 orang anak. Anak pertama adalah Tita yang diperankan Prilly Latunconsina. Tita adalah seorang musisi sekaligus aktivis. Tita kerap menuliskan lagu sebagai bentuk perlawanannya. Namun usai terkena dampak pandemi, Tita sebagai anak sulung mencoba peruntungan dengan menjual baju secara online.
Sedangkan anak kedua dari pasangan Prani dan Didit adalah Muklas yang diperankan Angga Yunanda. Dalam menjalani kehidupan, Tita dan Muklas nampak berbeda.Â
Muklas adalah konten kreator yang khusus memberikan edukasi tentang animal dan sesekali menyelipkan isu kesehatan mental. Keaktifan Muklas di media sosial tidak kaleng-kaleng, karena ia sudah memiliki ratusan followers dalam akun media sosialnya.Â
Meski begitu, nampaknya apa yang terlihat dalam layar ponsel tidak merefleksikan keadaan ekonomi keluarganya yang sebenarnya. Meski sering mendapatkan endorse dari beberapa produk, imbas dari pandemi dan biaya pengobatan bapaknya sangat besar sehingga mengganggu secara keseluruhan perekonomian mereka.
Singkatnya, konflik mulai terjadi saat Prani menegur salah satu pembeli putu yang menyerobot antrean. Sebagai guru BK yang menjunjung tinggi dan mengajarkan budi pekerti untuk siswa-siswanya, Prani mencoba menegur pembeli tersebut. Namun si pembeli tidak terima dan berakhir dengan adu cekcok.
Ponsel yang 24 jam tidak lepas dari tangan manusia memiliki peranan utama dalam menambah masalah baru di keluarga Prani.Â
Saat pertengkaran terjadi, banyak sekali kamera ponsel yang menyoroti peristiwa tersebut. Sampai akhirnya, virallah potongan video tersebut yang hanya berdurasi 20 detik.Â
Sepotong video tersebut menambah bencana baru. Tanpa mencari kebenaran, jari-jari netizen begitu saktinya men-judge bahwa Ibu Prani adalah orang yang tidak berbudi pekerti.
Topik yang diangkat dalam Budi Pekerti begitu relate dengan fenomena yang kerap terjadi saat ini. Film ini bagai tamparan keras bagi kita selaku pengguna media sosial yang masih begitu dangkal dalam menyimpulkan sesuatu hanya dari satu potongan video saja. Padahal, netizen yang tidak terlibat langsung di tempat kejadian tidak memiliki hak untuk menilai salah atau benarnya seseorang.
Dalam film Budi Pekerti, meski Prani sudah memberi klarifikasi, pihak si penyerobot antrean juga ikut memberi klarifikasi dengan memutarbalikkan fakta. Bahkan cerdasnya ia melampirkan rekaman CCTV yang memperkuat argumennya. Sedang Prani tidak memiliki bukti atau saksi yang bersedia memperkuat kebenarannya.
Dalam waktu yang sangat singkat saja, jari-jemari netizen memperburuk keadaan keluarga Prani. Tidak hanya pekerjaan Prani yang terancam, bahkan Tita dan Muklas turut terkena imbasnya. Terutama Muklas yang selama ini paling dikenal oleh masyarakat luas.Â
Pujian yang selama ini sering ia dapatkan dari konten yang ia suguhkan berubah menjadi cacian dan umpatan. Muklas melakukan berbagai cara untuk kembali memperbaiki citra keluarganya.Â
Begitu pula dengan Tita yang sama kerasnya dalam melakukan berbagai upaya. Namun tetap saja, yang menang itu bukanlah orang jujur dan benar, tetapi yang paling banyak mendapatkan dukungan dari netizen.
Menonton film Budi Pekerti rasanya seperti naik roller coaster. Penonton akan dibuat naik turun secara emosi. Belum selesai satu masalah, malah muncul masalah baru. Masalah sepele yang sebenarnya bisa berlalu begitu saja, tetapi menjadi bom besar yang siap meledak kapan saja hanya karena kengerian ketikan netizen.Â
Saking gabutnya, ada saja netizen yang memparodikan, membuat lagu, sampai gerakan joget jedag-jedug dari peristiwa Prani. Entah mungkin saking kreatifnya, atau hanya sekadar cari sensasi dengan memanfaatkan situasi.
Selain netizen, media online juga sering memanfaatkan situasi tanpa mau mencari tahu kebenaran. Yang terpenting adalah apa yang diinginkan oleh pembaca agar rating naik dan tidak kalah up to date dari media online yang lain.
Latar Yogyakarta adalah pilihan yang tepat dalam film ini. Unsur Yogyakarta yang kental memberikan nyawa lokal yang otentik. Wregas begitu apik dan teliti dalam merencanakan dan mengeksekusi film Budi Pekerti.Â
Hal-hal detail begitu mendapatkan perhatian dan sepertinya tidak kurang dari pengawasan kejelian sang sutradara. Penggunaan bahasa Jawa oleh para tokoh mengalir dengan natural yang didukung logat medok khas orang Jawa.
Sinematografi yang ditampilkan seperti menyatu dengan segala unsur film ini. Penonton akan dimanjakan dengan keindahan dan ketradisionalan Yogyakarta dengan dukungan latar lagu yang menambah momen Prani semakin pelik.Â
Pemilihan warna pada apa yang melekat di tubuh tokoh-tokohnya menyelipkan arti tersendiri. Menariknya lagi, visual seolah bercerita sendiri tanpa perlu bumbu tambahan dialog. Kecerdasan Wregas dalam menciptakan karya ini begitu tercermin ‘pas’ di hati penonton.
Akhir cerita dari film Budi Pekerti adalah penyelesaian masalah yang paling realistis. Di mana pilihan penyelesaian yang diputuskan langsung oleh Bu Prani adalah pilihan yang paling minim merugikan orang banyak. Meski keputusan tersebut akan merubah 180 derajat kehidupan Prani dan keluarganya.
Film Budi Pekerti sepertinya akan menyentuh penonton yang mempunyai pengalaman dengan profesi pengajar. Tidak hanya guru saja, tetapi siapa saja yang punya memori baik pada guru favoritnya sewaktu zaman sekolah. Atau mungkin penonton yang dibesarkan dari latar orang tua sebagai guru.
Prani menggambarkan profesi guru yang begitu mulia. Meski profesinya kurang memenuhi kebutuhannya, ia tetap melakukan berbagai upaya, semampu dan sebisanya demi mendidik siswanya.Â
Prani juga digambarkan sebagai guru yang mau belajar dan melek teknologi. Terutama pada saat pandemi, pembelajaran di kelas terpaksa harus dialihkan dengan belajar di rumah saja. PR yang berat bari guru BP untuk menjaga semangat siswa dalam belajar di rumah termasuk membentuk budi pekerti mereka lewat layar PC saja.
Meski Prani digambarkan sebagai guru proporsional, bukan berati ia sempurna dalam menjalankan profesinya. Refleksi yang ia berikan untuk menangani siswa-siswa bermasalah ternyata memberikan efek pada salah satu muridnya.Â
Gambaran ini menjadi pengingat bahwa tidak semua niat baik akan berakhir sesuai dengan apa yang diharapkan. Karena ternyata netizen menganggap bahwa refleksi yang diberikan itu terlalu berat dan bisa memberikan trauma berkepanjangan.
Mungkin ada penonton yang kurang setuju dengan refleksi yang diberikan Prani ataupun tidak sreg dengan akhir ceritanya, tetapi tetap saja film ini bagaikan paket komplit dan berhak berada di jajaran teratas dalam rekomendasi film tahun ini.Â
Apalagi melihat akting Angga Yunanda yang lepas dari citranya sebagai aktor tampan. Angga begitu menyita perhatian dengan gayanya yang nyentrik sebagai konten kreator mas-mas Jawa.
Meski tidak bergenre thriller ataupun horor, film Budi Pekerti memberikan ketegangan yang berbeda dan membekas. Penonton diajak untuk berpikir terkait kegiatan ketikan jari-jarinya di media sosial.Â
Semoga usai menonton dan membaca review film Budi Pekerti ini, kita bisa lebih bijak dan mempunyai budi pekerti dalam berselancar di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H