Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nak, Hidup Ini seperti Bermain Bola!

25 Februari 2023   22:25 Diperbarui: 25 Februari 2023   22:31 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mataku berbinar-binar kala itu. Menatap kotak yang nampak cembung namun bercahaya.

Sore itu Ayah ada di rumah. Menemaniku bersama Ibu. Aku sungguh merindukan momentum hangat ini. Ayah dan Ibu selalu menyempatkan waktu luang untuk kami bercengkrama di depan televisi. Menyaksikan penuh cemas kemana arah bola akan menggelinding.

Suara komentator bola nyaris akan terngiang-ngiang sampai sebelum tidur. Teriakan "JEBRET!" atau "Gol!!!!" menjadi lantunuan yang kami rindukan.

Ibu masih sibuk menyajikan makanan ringan di dapur. Pisang goreng dan bakwan menjadi menu andalan. Rasanya tak akan lengkap jika makanan penuh kolestrol itu tak melengkapi kebersamaan kami.

Aku masih terlalu kecil untuk mengartikan semuanya. Sesekali aku bertanya kepada Ayah, seperti "Mengapa terjadi pelanggaran?" atau "Apa itu offside?" dan "Kapan wasit harus mengeluarkan kartu kuning?" 

Ayah menjawab tanpa memalingkan pandangannya dari televisi. Dahinya mengerut. Tak jarang sumpah serapah ia lontarkan yang membuatku sangat kesal.

Aku sontak berteriak memanggil Ibu. "Ibu!!!! Ayah ngomongnya kasar!!!!"

Bukannya memarahi Ayah, Ibu malah membalasnya dengan tawa. Aku semakin tak mengerti dengan sikap kedua orang tuaku. Membiarkan diriku terkontaminasi dengan bahasa-bahasa yang mudah saja aku praktikkan di sekolah.

Ibu datang membawa sepiring gorengan panas yang masih terlihat asapnya bertebaran di atas. Bergegas duduk di sampingku dan mengikuti tingkah Ayah. Terpaku penuh harap dan kecemasan yang menyelimuti. Namun, aku masih belum mengerti secara spesifik bagaimana seluk beluk permainan sepak bola. Padahal aku sering melihat anak laki-laki seusiaku bermain bola di lapangan komplek. Namun nampaknya itu tidak membuatku semakin paham. Yang aku pahami permainan bola tidak akan terhenti meski diguyur hujan. Mereka malah terlihat lebih semangat saat turun hujan.

Mungkin dadu memang sedang berpihak pada kami. Ayah dan Ibu bersorak sampai mengangkat kedua tangannya saat pinalti gagal memasuki gawang Timnas Indonesia. Tak mau kalah saing, aku mengikuti perilaku mereka, sama hebohnya.

Peluit wasit berbunyi. Tanda pertandingan selesai. Aku kebingungan karena yang kulihat skor berakhir seri. Lalu, siapa yang menjadi juara?

"Ayah, siapa yang menang? Indonesia menang?" tanyaku polos.

"Belum sayang, masih seri. Jadi ada penambahan waktu lagi," jawab Ayah.

Aku mengangguk tanda mengerti. Meski sebenarnya masih ada seribu pertanyaan yang harus dijawab oleh Ayah, google andalanku yang tak perlu mengeluarkan kuota untuk bertanya.

Ibu menyuapiku pisang goreng. Aku langsung menelannya tanpa kunyahan, karena rasanya masih terlalu panas untuk lidahku. Ayah juga mulai mencomot bakwan yang terlihat lebih menggoda dibandingkan pisang goreng.

Tanda tanya seperti berputar dalam pikiranku. Rasa penasaranku semakin bertambah, entah sudah sampai pangkat berapa. "Ayah, mengapa Ayah dan Ibu selalu mengajakku menonton bola? Bukannya sepak bola adalah permainan untuk anak laki-laki?" tanyaku lagi.

Ibu langsung memotong pertanyaanku, bersaut, "Sepak bola bisa dimainkan laki-laki atau perempuan. Tidak ada batasan untuk melakukan olahraga sepak bola sayang."

Ayah menelan makanannya. Lalu merubah posisi duduknya, menghadap padaku. Aku tahu betul bahwa Ayah akan memberiku dongeng-dongeng terbaiknya. Aku siap mendengarkannya, seperti biasa.

"Nak, hidup ini seperti bermain bola."

Kali ini, dongeng Ayah nampak tak mengasyikan. Biasanya bermula dengan kata 'pada suatu hari' atau awalan yang lebih menarik. Tapi kini malah memberi pernyataan yang tak bisa ku cerna apa maknanya.

Ibu menyuapiku lagi, namun aku menangkisnya. Tanda menolak. Sebagai bentuk kekecewaan atas jawaban Ayah.

Melihat responku terhadap Ibu, Ayah kembali melanjutkan dongengnya. "Dalam permainan sepak bola kita dapat belajar tentang kehidupan. Bahwa kita tak bisa sendirian dalam mencapai tujuan. Perlu adanya dukungan dari sekeliling. Perlu ada kerjasama tim yang solid. Itu adalah ciri bahwa manusia adalah makhluk sosial."

Tak sampai disitu saja, Ibu tak kalah antusiasnya menceritakan tentang sepak bola. "Tidak hanya itu. Dari sepak bola kita dapat melihat bahwa hidup akan menggiring kita ke kanan, ke kiri, ke depan bahkan kembali ke belakang. Bola itu bundar. Itulah kehidupan. Kita tidak bisa memprediksi bagaimana bola itu akan menggelinding di lapangan. Kita tidak akan pernah tahu kemana arahnya dan siapa yang akan menendangnya," tambah Ibu.

Belum sempat memberi respons, Ibu dan Ayah beradu untuk mendapatkan argumen terbaik di mata aku sebagai anaknya. Atau mungkin saja mereka sengaja berbicara bergantian agar aku tak mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan tambahan yang mungkin saja membuat mereka kesal.

Ayah memegang kedua pundakku. Menatap mataku penuh dalam. Penuh arti. "Tapi hidup tidak akan mudah sayang. Ada wasit yang mengawasi kita. Jika kita bersalah, kita akan mendapat teguran bahkan sanksi. Pelanggaran yang kita buat di lapangan menandakan bahwa dalam kehidupan ini kita masih saja melakukan kesalahan. Meski kamu berhasil membobol gawang lawan, meski peluit wasit sudah ditiup, bukan berarti permainan berakhir. Akan ada permainan-permainan lainnya."

Aku menghela nafas. Mendengarnya saja membuat kepalaku migrain. Sepertinya aku memutuskan untuk menjadi anak kecil saja. Sudah cukup merasa puas melihat teman-temanku bermain bola di bawah rintiknya hujan. Teori orang dewasa membuatku mual mendengarnya.

Tapi ada satu pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Mengapa dalam hidup ini akan terus menghadapi pertandingan? Bukankah kita dapat memutuskan untuk tidak perlu capek-capek mengikuti pertandingan? Jika kemenangan memang tujuan hidup, lantas untuk apa ada pertandingan lagi usai memboyong piala? Jika terus seperti itu, maka kapan ada waktu rehatnya?

"Ayah?"

"Iya Nak?"

"Capek dong Yah kalau kita harus main bola terus. Kapan istirahatnya? Kata kakak kalau kita terlalu capek nanti bakal jadi stress," imbuhku.

Ayah tertawa kceil. Begitu juga Ibu.

Tak mau didahului Ayah, Ibu langsung memelukku dari belakang dan berkata, "Maka dari itu kita menonton bola sayang. Kamu akan menumpahkan segalanya saat menonton bola. Rasa capek, takut, kesal, marah, sedih, kecewa semua bersatu saat kita menonton bola."

Aku semakin tidak mengerti. Hanya termangu mendengarnya. Lalu kembali meminta Ibu menyuapiku. Lalu berfikir apakah Ayah dan Ibu menginginkan aku menjadi pemain sepak bola wanita pertama di Indonesia. Aku tidak mau, cita-citaku menjadi astronot!

***

Percakapan sore itu meninggalkan sejuta pertanyaan yang mengiringi perjalanan kehidupanku. Hari demi hari aku semakin dibuat tidak mengerti dengan kehidupan ini. Mulanya, aku berpikir bahwa orang jahat bin kejam hanya akan terjadi dalam sinetron saja. Namun ternyata semuanya nampak terlihat begitu jelas, bahkan tak malu-malu mereka menunjukkannya.

Aku bertemu berbagai bentuk dan macam manusia. Dengan berbagai topeng yang beragam.

Setelah itu aku baru mengerti percakapan 13 tahun yang lalu. Ayah dan Ibu bukan menginginkanku menjadi atlet sepak bola, apalagi atlet sepak bola wanita pertama. Karena tentu saja atlet sepak bola wanita sudah sangat banyak. Ayah dan Ibu menggambarkan kehidupan yang harus ditempuh orang dewasa.

Seperti analogi dari Ayah, bahwa hidup yang aku lalui seperti sedang bermain bola. Bola yang bundar akan membawaku kemana saja. Mengejarnya. Entah arahnya akan kemana. Mungkin jika dewi fortuna sedang memihak, aku akan dapat dengan mudah maju menuju gawang sebagai tujuan hidup. Tapi bisa jadi akan kembali mundur. Saat kaki orang lain menendang bolanya ke belakang.

Dunia memang terlihat adil. Dimana wasit akan memberikan kita kartu bak rapot kehidupan saat kita melakukan pelanggaran. Tapi wasit juga tidak sempurna. Ia bukan Tuhan. Yang bisa saja salah dalam melihat atau intuisinya meleset. Lebih pedasnya lagi ia bisa saja ada dalam pengaruh bahkan tekanan pihak eksternal. Apakah masih bisa dikatakan adil?

Namun hidup akan terus melaju. Tak mengenal aku lelah atau tidak. Tak mengenal aku puas atau tidak. Pertandingan demi pertandingan tentang kehidupan harus dilewati. Aku menatap gawang dengan penuh keyakinan. "Jangan terus menunduk pada tanah. Langit berhak melihat wajahmu! Sesekali tenggakkanlah kepalamu. Tatap sombong langitmu. Sebagai tambahan keyakinan bahwa kamu akan memenangkan pertandingan!" gumanku menguatkan diri.

Aku juga baru memahami pernyataan Ibu. Mulanya terdengar begitu konyol bahwa hanya dengan menonton sepak bola saja, orang dewasa dapat rehat sejenak atas segala penatnya. Aku mencobanya. Dan ternyata memang benar, bahkan aku akan menambahkan teori baru.

Tidak hanya sebagai pelepas penat, sepak bola menjadi media pemersatu. Aku sering menyaksikan berbagai golongan saling beradu dalam forum bahkan di belakang panggung. Namun semuanya terpatahkan saat layar kecil menayangkan siaran sepak bola di sebuh warung kopi pinggir jalan. Singkatnya bagi warga sunda 'Udud, kopi jeung Persib' menjadi media pemersatu. Atau secara nasionalnya 'Rokok, kopi dan Timnas' yang menyatukan semua kalangan.

Mini riset sudah kulakukan. Berkali-kali kulimpahkan segala penat yang mengendap hanya dengan menonton bola. Hasilnya begitu memberi energi positif, semua beban dalam hidup akan terasa ringan. Meski hanya bersifat sementara.

Sederhanya seperti ini. Aku bisa berteriak saat lawan berhasil menyetak gol. Aku juga ketakutan saat lawan sudah berada di kotak pinalti, bersiap menendang bola ke gawang. Aku juga marah saat pemain favoritku di-tackle bahkan nyaris cedera hanya karena lawan yang bermain kasar. Aku menggerutu saat wasit seolah-olah buta tak melihat pelanggaran. Aku berbahagia jika tim favoritku menjadi juara. Bahkan sebaliknya, aku bersedih bahkan menangis saat tim favoritku harus menerima kekalahan. Semua bentuk emosi ada saat aku menonton sepak bola. Sebuah emosi yang tidak bisa dikeluarkan orang dewasa. Sebuah bentuk emosi yang jika dikeluarkan oleh orang dewasa terkesan bodoh dan cengeng.

Padahal menjadi dewasa itu rumit. Maka rasa sedih, kecewa, kesal, marah dan bentuk luapan emosi apapun itu berhak ia perlihatkan. Tak perlu ditutupi topeng agar tampak bahagia. Ah, menonton bola memang semenyenangkan itu! (Siska Fajarrany)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun